Sabtu, 27 April 24

Crumb Rubber Dicabut dari DNI, Tak Cermat Jadi Kiamat

Crumb Rubber Dicabut dari DNI, Tak Cermat Jadi Kiamat

Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Entah apa yang ada di benak Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menyatakan niatnya
mencabut crumb rubber dari daftar negatif investasi (DNI). Kalau hasrat menteri yang juga
Ketua Umum Partai Golkar ini sukses, maka sebentar lagi bakal banjir invastasi asing ke industri
karet remah ke dalam negeri.

Saya mencoba berselancar di dunia maya mencari motivasi yang melatarbelakangi niat
Airlangga. Sayangnya, tidak ditemukan alasan lain kecuali meningkatkan investasi. Pak menteri
sama sekali tidak menyebut kapasitas industri karet kita atau daya serapnya seperti apa.
Termasuk juga tidak menyinggung harga karet alam yang terus terjun beberapa tahun terakhir,
sehingga membuat nasib petani kian terpuruk saja.

Bahwa kita butuh investasi untuk menggulirkan roda perekonomian dan menggenjot
pertumbuhan, sudah pasti iya. Tapi itu mestinya tidak serta-merta kita jadi grasa-grusu apalagi
sampai ugal-ugalan mengundang asing masuk. Soal industri crumb rubber alias karet remah,
misalnya. Jenis investasi industri ini tidak canggih-canggih amat. Teknologi yang dibutuhkan
terbilang sederhana. Begitu juga modal yang diperlukan terbilang kelas ecek-ecek saja.

Inilah yang menjelaskan mengapa dari 157 perusahaan crumb rubber yang ada, 96 di antaranya
adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) alias milik swasta nasional. Sedangkan sisanya
yang 61 perusahaan adalah penanaman modal asing (PMA) dan atau terafiliasi asing. Tapi
kendati jumlah mereka lebih sedikit, kontribusi ekspornya mencapai 63,1%. Sedangkan
perusahaan lokal yang 96 unit harus puas dengan 36,9% sisanya.

Data lainnya menyebutkan, total kapasitas terpasang industri crumb rubber nasional saat ini
mencapai 5,6 juta ton. Sayangnya, ketersediaan karet alam sebagai bahan baku hanya 3,6 juta
ton. Industri kita masih kekurangan pasok karet 2 juta ton. Itu sebabnya utilisasi pabrik-pabrik
itu hanya berkisar 60% alias tidak efisien.

Nyaris sukses
Entah disadari atau tidak, rencana pencabutan industri karet remah dari DNI bakal memuluskan
grand strategy asing untuk menguasai industri karet nasional. China, khususnya, sangat agresif
ekspansi ke negara produsen karet untuk mengamankan rantai pasokan bagi industrinya. Asal
tahu saja, konsumsi karet China sudah mencapai 4,5 juta ton, jauh melampaui Amerika Serikat
yang selama ini dianggap konsumen terbesar, yaitu 1,2 juta ton.

Strategi asing untuk melakukan penetrasi besar-besaran nyaris sukses saat Paket Kebijakan
Ekonomi ke-10 digulirkan, 11 Februari 2016 silam. Lewat Paket Kebijakan Ekonomi ke-10 itu,
Pemerintah menganulir Perpres nomor 39/2014 tentang DNI yang di antaranya masih
mencantumkan crumb rubber. Namun, untungnya beleid tadi tidak lahir sendiri. Dia membawa

‘adik kembar’ berupa Perpres nomor 44/2016 dan Permen Perindustrian nomor 09/M-
IND/PER/3/2017.

Intinya, berdasarkan dua ketentuan itu pembukaan industri ini kepada asing disertai sejumlah
catatan. Di antaranya harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri yang
mampu memasok sekurangnya 20% dari kebutuhan, dan 80% bahan baku sisanya harus
dipenuhi melalui kemitraan. Syarat lainnya, dari 80% kemitraan tadi, sedikitnya 20% di
antaranya harus dalam bentuk inti-plasma.

Sungguh ciamik semangat yang ada dalam Perpres 44/2016. Nuansa melindungi industri lokal
nyaris tak tercium di sini. Yang ada justru program penambahan produksi karet alam lewat
penambahan lahan perkebunan. Spirit lain yang ditonjolkan adalah, adanya upaya mengangkat
petani lokal dalam produksi dan kemitraan, yang ujung-ujungnya diharapkan kesejahteraannya
pun bakal naik.

Perpres 44/2016 ini akhirnya menjadi palang pintu yang menghalangi asing menyerbu. Tapi
asing tidak kekurangan akal. Maka dilancarkanlah jurus lain, yaitu mengakuisisi perusahaan
milik PMDN dan PMA oleh investor dari China dan Thailand.

Sampai di sini niat Airlangga membuka industri crumb rubber bagi asing memang belum clear.
Kalau semata-mata ingin menggenjot investasi, ada yang lebih pas. Yaitu industri karet di sisi
hilir yang menghasilkan barang jadi. Jika ini dilakukan, maka daya serap industri hilir pasti bisa
didongkrak jadi lebih baik daripada 630.000 ton saat ini.

Kecilnya daya serap industri hilir karet disebabkan jumlah perusahaan yang ada memang belum
banyak. Ini disebabkan teknologi yang digunakan lebih canggih dibandingkan sekadar
memroduksi karet remah. Selain itu, tentu aja, modal yang dibutuhkan juga lebih besar. Mereka
antara lain memproduksi ban mobil, vulkanisir ban, sarung tangan, alas kaki, karpet, barang-
barang karet, dan benang karet.

‘Bagi tugas’
Kenapa Pemerintah tidak mengarahkan perhatian di sini? Dengan begitu ada semacam
‘pembagian tugas’ antara pelaku lokal dan investor asing. Buat remah karet yang teknologi dan
modalnya tidak tinggi, biarlah diurus produsen lokal. Sedangkan untuk industri hilir karet yang
teknologinya lebih canggih dan rakus kapital, jadi bagian investor asing.

Membuka industri crumb rubber yang saat ini sudah sesak dengan para pemain yang ada, hanya
akan membuat kian terjun utilisasi kapastitas. Artinya, tingkat inefisiensi makin tinggi. Biaya
produksi per unit cost bakal melonjak. Celakanya, kenaikan biaya tersebut tidak bisa serta-
merta dikompensasi dengan menaikkan harga ekspor. Pasalnya, harga ditentukan oleh pasar
internasional.

Sayangnya, sebagian besar birokrat kita sering menggampangkan persoalan. Mereka
beranggapan dengan membuka industr crumb rubber bagi asing seluas-luasnya, maka
pengusaha nasional akan dipaksa berkompetisi melawan asing. Di sinilah kelirunya para
birokrat kita. Tanpa bersaing dengan asing saja, produsen crumb rubber lokal sudah babak-
belur akibat rendahnya utilisasi kapasitas terpasang karena bahan baku yang amat terbatas.
Bisa dibayangkan kalau jumlah pemain ditambah, apalagi asing, tentu akan kian berdarah-
darah.

Birokrat kita juga mestinya paham, jika asing yang dominan sebagian besar nilai tambah
industri karet tadi akan direpatriasi ke negeri asalnya. Sedangkan tenaga kerja yang terserap
juga tidak akan banyak. Lha wong yang sekarang aja banyak yang idle karena kurangnya bahan
baku. Penerimaan perpajakan? Kita lihat saja tambahan apa yang bisa diperoleh dari industri
yang kapasitas terpasangnya makin melorot. Sedangkan devisa ekspor yang dibangga-
banggakan, sudah pasti wujudnya ada di negeri asing juga. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank
Indonesia (BI) hanya kebagian mencatat saja.

Sampai akhir 2017, total industri crumb rubber tercatat 3,629 juta ton. Dari jumlah itu, yang
diserap industri hilir karet hanya sekitar 630.000 ton. Sisanya yang 3,226 juta ton habis diekspor
dengan devisa yang dihasilkan sebesar US$5,2 miliar. Angka ini naik 61,2% ketimbang tahun
sebelumnya. US$5,2 miliar itu lumayan banyak, lho.

Mungkin pak Menteri berasumsi, kalau industri crumb rubber lebih banyak asingnya, maka
pembelian bahan olah karet (Bokar) petani bakal meningkat. Maaf ya, sama sekali tidak ada
jaminan ini terjadi. Yang ada, mungkin justru sebaliknya. Lonjakan biaya produksi akibat makin
banyaknya pemain, tidak serta-merta bisa dimasukkan ke harga ekspor.

Pada titik ini, pabrikan terpaksa akan menurunkan harga pembelian Bokar petani. Jika sekarang
komposisinya masih sekitar 85% dari FOB SIR, bukan mustahil pabrikan bakal menurunkan jadi
80% atau lebih rendah lagi.

Jadi, pak menteri, sebaiknya niat anda itu dikaji lagi dengan benar-benar cermat. Ngeri
membayangkan yang terjadi jika rencana tersebut melenggang. Pelaku lokal dipastikan
bergelimpangan. Bukan hanya itu, asumsi mendongkrak pendapatan petani juga cuma jadi ilusi.
Jangan karena kebijakan tak cermat malah jadi kiamat.

Lain halnya jika memang ini yang dikehendaki Pemerintah. Tapi, mosok iya sih Pemerintah mau
‘jahat’ kepada rakyatnya sendiri dengan cara seperti itu? (***)

Jakarta, 15 Maret 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.