

Pengantar
Urusan pertanian mencakup subsektor tanaman pangan dan holtikultura, perikanan, peternakan dan perkebunan. Beragam program dicanangkan.
Tulisan ini lebih terfokus pada penyerapan anggaran alokasi APBD DKI Jakarta, diikuti penilaian kritis realitas objektif bidang perikanan. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sangat tak peduli, terlebih kehidupan keluarga nelayan. Mari kita ikuti data, fakta dan angka di bawah ini.
Alokasi APBD dan Realisasi
Untuk urusan pertanian Pemprov DKI pada tahun 2013 di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi, anggaran dialokasikan di dalam APBD sebesar Rp 39.269.000.000,00 (Rp 38 miliar). Kemampuan penyerapan anggaran tersebut sebesar Rp 35.752.889.000,00 (Rp 36 miliar) atau 91,05%. Angka capaian penyerapan anggaran ini relatif tinggi tetapi masih di bawah target capaian 100% dan tergolong buruk.
Pada tahun 2014 dialokasikan APBD urusan pertanian sebesar Rp 100.681.029.333,00 (Rp101 miliar) dengan total penyerapan sebesar Rp 75.537.880.016,00 (Rp75 miliar) atau 73,04%. Angka 73,04 % ini menunjukkan kondisi kinerja Pemprov DKI yang dipimpin Gubernur Ahok lebih buruk ketimbang Jokowi.
Pada tahun 2015, masih di bawah kepemimpinan Ahok, anggaran dialokasikan APBD urusan pertanian sebesar Rp 61.551.964.686,00 (Rp 62 miliar) dengan total penyerapan sebesar Rp 37.911.412.531,00 (Rp. 38 miliar) atau 63,22%. Angka 63,23% ini menunjukkan kondisi kinerja Pemprov DKI semakin buruk ketimbang tahun 2014. Kondisi kinerja Ahok tahun ini tergolong lebih buruk.
Rata-rata kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran APBD urusan pertanian ini tiap tahun sekitar sekitar 72% atau tergolong lebih buruk.
Kondisi Kaum Tani
Hasil sensus Badan Pusat Statiistik (BPS) menunjukkan jumlah rumah tangga (RT) usaha pertanian tahun 2013 sebesar 12.287 RT. Subsektor hortikultura, perikanan, dan peternakan memiliki jumlah usaha pertanian terbanyak: masing-masing 5.018 RT, 4.456 RT, dan 3.637 RT. Perkebunan paling sedikit memiliki usaha pertanian, yaitu hanya 98 RT.
Usaha pertanian tahun 2013 mengalami penurunan 40.296 RT dari 52.583 RT (2003) menjadi 12.287 RT (2013). Rata-rata penurunan 7,66% per tahun. Secara absolut penurunan terbesar terjadi pada peternakan dan terendah pada kehutanan, yaitu masing-masing turun 16.096 RT dan 568 RT. Perkebunan mengalami penurunan paling besar 10 tahun terakhir (97,29 %). Jasa pertanian tingkat penurunan terendah ( 57,87%).
Petani DKI bergeser ke sektor lain seperti pengolahan (sekunder) sampai jasa. Satu bukti nilai tukar petani (NTP) tidak pernah bagus. Padahal NTP adalah indeks kesejahteraan petani dengan cara membandingkan kemampuan beli petani terhadap harga jual produk pertanian. Jika NTP buruk, kesejahteraan petani juga buruk. Kesejahteraan rendah menyebabkan petani di DKI mengalami kemiskinan. Karena jumlah petani menurun, jumlah lahan sawah juga turun.
Jika pertanian menurun, seharusnya sektor manufaktur membaik. Namun, faktanya, manufaktur juga mengalami hal serupa. Alih profesi petani lantaran tingkat kemiskinan terus mendera. Ini sangat berbahaya!!!
Kebijakan Pulau Palsu
Lebih tragis lagi Ahok memaksakan pembangunan pulau-pulau palsu/reklamasi di pantai utara Jakarta. Menurut pakar Institut Pertanian Bogor (IPB), kebijakan itu hanya untuk kepentingan bisnis pengembang. Akibatnya, menurut Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke, Jakarta, ada sekitar 16 ribu nelayan akan kehilangan mata pencaharian. Jika setiap nelayan punya anggota keluarga 5 orang rata-rata, maka kelompok petani DKI terkena dampak negatif dari kebijakan Ahok ini adalah sekitar 80.000 jiwa. Belum lagi usaha terkait dengan pasca penangkapan ikan, rakyat DKI terkena dampak negatif semakin banyak. Pembangunan pulau-pulau palsu itu mengurangi drastis wilayah penangkapan ikan.

Akibatnya, pengangguran dan pemiskinan massal terjadi pada sektor perikanan ini. Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN) membatalkan kebijakan Ahok tentang pembangunan pulau-pulau palsu tersebut. DPRD DKI dan juga pemerintah dikoordinir Menko Kemaritiman menegaskan pembangunan tersebut melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, Ahok tidak peduli dan terus memaksakan pembangunan tersebut.
Kesimpulan
Sungguh Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok tak peduli atas kehidupan kaum petani, termasuk nelayan. Tidak ada kebijakan strategis Pemprov DKI yang bisa melindungi apalagi mengembangkan eksistensi kaum petani. Bahkan Ahok bertahan dengan kebijakan sepihak pembangunan pulau-pulau palsu di utara Jakarta yang berdampak negatif berupa hilangnya mata pencaharian sekitar 16 ribu nelayan. Jumlah warga tetkena dampak diperkirakan 80.000 jiwa minimal.
Dari sisi ini jelas Ahok tidak memihak rakyat miskin seperti kaum petani. Adalah wajar jika rakyat miskin kaum petani ini menginginkan gubernur baru, karena Ahok sangat tak peduli atas nasib mereka. (*)