Kamis, 2 Mei 24

#2019(Tidak)GantiPresiden

#2019(Tidak)GantiPresiden

Oleh: Rinaldi Munir, Dosen Teknik Informatika ITB

 

Tahun 2019 sudah dekat. Pada tahun 2019 nanti sejarah Pilpres 2014 akan kembali terulang. Bukan sejarah yang dikenang dengan baik, tetapi sejarah yang membuat bangsa ini terbelah dua akibat perbedaan dalam memilih Capres. Keterbelahan itu tidak langsung hilang setelah presiden baru telah dilantik, tetapi terus abadi hingga kini.

Kini, setahun sebelum Pemilu legislatif dan Pilpres tahun 2019 , suasana panas di jagad maya sudah mulai keluar aromanya. Jagad maya dipanaskan dengan kemunculan hashtag #2019GantiPresiden. Gerakan ini  muncul sebagai antitesa gerakan pendukung Jokowi yang mempopulerkan slogan Salam 2 Periode dan sudah pasti menginginkan Jokowi menjadi presiden untuk periode kedua. Menurut Bawaslu, kedua gerakan tersebut legal dan tidak bertentangan dengan demokrasi, jadi tidak ada yang perlu dilarang atau ditangkap. Di lapangan, terjadi perang kaos antara kedua pendukung. Pihak yang paling diuntungkan dari perbedaan kedua kubu ini tentu saja pengusaha kaos 🙂

ganti

Perang kaos antara penolak dan pendukung Jokowi

Sejauh ini Capres yang sudah pasti maju lagi adalah petahana Jokowi. Jokowi seolah-olah tiada punya lawan sebanding. Prabowo yang digadang-gadang untuk maju lagi belum mendeklarasikan dirinya menjadi Capres. Akankah Prabowo akan maju lagi? Semuanya masih misteri.

Gerakan #2019GantiPresiden berasal dari kelompok masyarakat yang tidak menginginkan Jokowi kembali menjadi presiden.  Meskipun siapa calon presiden pengganti juga belum diketahui namanya, tetapi gerakan ini cukup masif di dunia maya. Dari berita dan tulisan yang saya baca di internet, saya menyimpulkan  gerakan #2019GantiPresiden muncul karena beberapa faktor.

Faktor pertama adalah perasaan diperlakukan tidak adil. Pendukung hashtag #2019GantiPresiden sebagian besar adalah dari kelompok Islam. Mereka menilai di era Presiden Jokowi luar biasa sekali pelecehan terhadap agama (Islam) dan kriminalisasi pada ulama. Para pengkritik Jokowi yang melakukan ujaran kebencian atau penyebaran hoax di media sosial begitu cepat diproses secara hukum oleh polisi, tetapi sebaliknya para pendukung Jokowi yang melakukan pelecehan agama dan melakukan ujaran kebencian kepada ulama seperti tidak tersentuh hukum, misalnya pelecehan agama yang dilakukan oleh Ade Armando, Abu Janda, dan terakhir Sukmawati, dan lain-lain. Kasus-kasus pelecehan agama dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh mereka proses hukumnya berjalan sangat lamban dan tidak ada kabar kelanjutannya. Polisi dinilai menjadi alat kekuasaan untuk menangkap orang-orang yang berseberangan dengan Pemerintah.

Faktor kedua adalah  tentang janji. Mereka menilai Jokowi ingkar dengan janji-janjinya semasa kampanye, misalnya berjanji tidak akan mengimpor pangan, berjanji tidak akan menaikkan harga BBM, berjanji tidak bagi-bagi kursi, berjanji membeli lagi Indosat dan lain-lain (baca: Rekapitulasi Janji-janji Jokowi).  Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.

Saya rasa itulah dua faktor utama yang saya tangkap dari orang-orang yang tidak menginginkan Jokowi menjadi presiden lagi. Faktor tambahan seperti  isu hutang Pemerintah sebesar 4.000 T  mungkin untuk menambah kesan seram Pemerintahan Jokowi saja, dan saya pikir ini bukan kesalahan Jokowi semata tetapi juga warisan dari Pemerintahan sebelumnya.

Ada aksi tentu ada reaksi. Gerakan #2019GantiPresiden menimbulkan perlawanan dari kelompok pro Jokowi. Mereka juga membuat hashtag seperti #2019TetapPresidenJokowi, #2019KamiPuasLanjutkan, dan lain-lain. Kelompok pro Jokowi menilai Jokowi adalah presiden yang merakyat. Jokowi dinilai berhasil membangun banyak infrastruktur di berbagai daerah di tanah air, karena itu Jokowi pantas menjabat presiden untuk periode kedua.

Menurut saya, kedua gerakan yang berlawanan ini akan memanaskan jagad maya dan mungkin saja situasi bangsa secara fisik setahun ke depan. Saya tidak tahu apakah tahun 2019 akan ganti presiden atau tidak ganti presiden. Yang bisa saya prediksi adalah bangsa ini akan terbelah dua lagi karena berbeda pilihan. Sejarah mengulang dirinya sendiri.

Sumber: rinaldimunir.wordpress.com

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.