Sabtu, 27 April 24

Hukum Islam dalam Negara Pancasila: Mengenang Busthanul Arifin

Hukum Islam dalam Negara Pancasila: Mengenang Busthanul Arifin
* Busthanul Arifin.

Oleh: M. Fuad Nasar,  Pengamat Sosial

 

“Setiap pertumbuhan dan perkembangan kemasyarakatan dan kenegaraan di Indonesia tidak mungkin dapat dipisahkan dari Islam dan kaum Muslim Indonesia.” Demikian diungkapkan oleh H. Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam Kata Pengantar buku Islam dan Pembangunan Politik Di Indonesia. Buku yang merangkai buah pikiran mantan Menteri Agama dan Menko Kesra itu diterbitkan tahun 1987.

Salah satu saham umat Islam dalam mengisi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia ialah pelembagaan hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional. Dalam kaitan ini, banyak  ahli yang menguasai hukum Islam, tetapi tidak memiliki kesempatan untuk memperjuangkannya dalam sistem hukum nasional. Sebaliknya, muslim yang memegang jabatan dan kekuasaan negara tidak semuanya mempunyai ghirah dan kesadaran untuk memperjuangkan hukum Islam. Pada sebagian umat Islam masih terjadi salah paham dalam memandang hukum Islam. Memperjuangkan hukum positif yang menyerap aspirasi hukum Islam dianggap menyalahi prinsip kesatuan hukum dalam negara yang berdasarkan Pancasila. Padahal, sebagian hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk di bidang perdata, masih banyak dipengaruhi oleh hukum yang berlaku di negeri Belanda, dan anehnya tidak ada yang mempersoalkan.

Sejatinya formalisasi dan positifikasi norma-norma dan sistem nilai hukum Islam ke dalam perundang-undangan negara adalah konstitusional di tengah keragaman bangsa. Konsep “negara kebangsaan” yang dikehendaki Soekarno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah satu nationale staat, tapi bukan berarti kebangsaan dan staat dalam arti yang sempit.

Bung Karno mengatakan, “Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita – pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.”

Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi menulis, “Pada waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang memakai kemudian semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariat Islam yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Quran dan Hadis, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.”

Hukum Islam secara kultural telah menjiwai kesadaran hukum bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebelum datangnya kolonialisme dan imperialisme Barat. Seperti dikatakan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya The Modern Trends of Islam bahwa Hukum Islamlah yang telah sukses menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Setelah kemerdekaan, secara politik kenegaraan hukum Islam masih harus diperjuangkan kedudukannya yang fundamental dan esensial dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam tulisan ini kita mengenang sosok dan kiprah Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH, satu di antara sedikit tokoh muslim Indonesia yang semasa hidupnya begitu gigih memperjuangkan aspirasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Busthanul adalah seorang pakar dan praktisi hukum Islam yang pernah menempati posisi strategis di Mahkamah Agung RI. Peran beliau tak dapat dilupakan, terutama dalam sejarah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama dan terwujudnya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil di Peradilan Agama.

Busthanul Arifin lahir di Payakumbuh Sumatera Barat tanggal 2 Juni 1929 dan meninggal dunia di Jakarta 22 April 2015. Ia adalah pendekar hukum yang patut dikenang dan diteladani perjuangannya dalam membumikan hukum Islam di negara Pancasila. Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Busthanul adalah aktifis organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta, dan Ketua Lembaga Dakwah pertama HMI Yogyakarta. Di Yogyakarta ia banyak belajar dari tokoh Muhammadiyah Prof. K.H. Farid Ma’ruf yang kemudian menjadi Menteri Urusan Haji.

Busthanul menjabat Hakim Agung selama 26 tahun dan terakhir sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama, sampai pensiun 1994. Ia kemudian diangkat sebagai Penasihat Menteri Agama Bidang Hukum semasa Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher. Sebagai ahli hukum, Busthanul produktif menulis.Karya tulisnya, antara lain: Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (1996). Pada tahun 1994 para sahabat dan muridnya menerbitkan buku kenangan atas kiprah dan jasa Busthanul yang melebihi panggilan tugas bagi pelembagaan hukum Islam dalam sejarah Indonesia kontemporer, yaitu Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH.

Di luar karir sebagai penegak hukum, Busthanul memiliki latar belakang pengalaman sebagai Lektor Kepala mata kuliah Hukum Islam Universitas Diponegoro Semarang sejak berdiri 1957, pendiri dan Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unisila) Semarang yang pertama, Guru Besar Luar Biasa pada Fakultas Syariah dan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN). Ia juga pendiri dan Sekjen South East Asian Shari’ah Law Association (SEASA) atau Perhimpunan Ahli Hukum Islam Asia Tenggara.

“Hukum itu dapat disamakan dengan udara bagi hidup manusia.  Kalau udara tidak lancar dan tidak bersih, masyarakat akan merasakan tidak enak dan keresahan akan timbul.” ungkap Busthanul dalam uraian hikmah Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw  di Istana Negara Jakarta tahun 1992. Pidato Busthanul di depan Presiden Soeharto dan para pejabat negara yang disiarkan RRI dan TVRI mendapat perhatian khusus dari Mohammad Natsir. Pak Natsir menelpon Busthanul sebagai bentuk apresiasinya dan menyampaikan “Perfect!”.

Peradilan Agama secara historis telah ada di Indonesia sejak sebelum Belanda menjajah tanah air kita. Selama zaman penjajahan, Peradilan Agama mengalami pengebirian. Pengakuan dan campur tangan penguasa terhadap Peradilan Agama dimulai sejak 1882. Kalau kita mengenang kembali sejarah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama, pada waktu itu memerlukan upaya luar yang biasa karena penolakan dari pihak-pihak yang tidak setuju baik di parlemen maupun di luar parlemen begitu kuat saat itu.

Berkat kerjasama yang terjalin sangat baik antara Mahkamah Agung dengan Kementerian Agama, segala rintangan terhadap RUU Peradilan Agama akhirnya dapat dilewati. Dari berbagai sumber yang saya baca, Busthanul yang dekat dengan ulama dan tokoh-tokoh Islam, menjalankan peran sebagai “jembatan kerjasama” antara Mahkamah Agung dengan pemerintah khususnya Kementerian Agama.

Undang-Undang Peradilan Agama telah dirintis oleh Kementerian Agama semenjak 1961, namun baru tercapai di masa pemerintahan Orde Baru.  Busthanul ketika itu Ketua Tim Perancang RUU Peradilan Agama. Di leading sectorKementerian Agama, pelaku sejarah yang berperan aktif ketika itu di antaranya H. Muchtar Zarkasyi, SH, selaku Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama.

Setelah lahirnya UU-PA sebagai karya perjuangan umat Islam, terjadi perubahan fundamental dalam sistem Peradilan Agama di negara kita. Keputusan Peradilan Agama adalah final dan tidak perlu lagi dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sementara itu untuk memberi ketenangan psikologis bagi umat Islam, jabatan hakim, panitera dan juru sita pada Peradilan Agama hanya dapat diisi oleh muslim. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan, Mahkamah Agung dan Kementerian Agama sepakat mengenai posisi Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri, sejajar dengan peradilan lainnya, kendati Peradilan Agama waktu itu tetap berada di bawah pembinaan Kementerian Agama.

Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, mantan Menteri Agama, dalam autobiografinya mengemukakan, di banyak negara yang dalam undang-undang dasarnya tegas dinyatakan Islam sebagai agama negara, kedudukan mahkamah syariah tidak sekokoh dan seterhormat Peradilan Agama di Indonesia. Dalam bukunya Munawir secara khusus mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dua pakar hukum; Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH  dan Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, SH (Wakil Sekretaris Kabinet dan Guru Besar Fakultas Hukum UI) terkait dengan perjuangan membentuk Undang-Undang Peradilan Agama. Busthanul sejak awal terlibat langsung dalam proses penyusunan RUU-PA, sejak rancangan undang-undang masuk ke DPR. Ia sebagai Ketua Tim RUU selalu mendampingi Menteri Agama dan merupakan tangan kanan Menteri Agama sampai Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama diterima oleh DPR-RI.

Sebelum lahirnya UU-PA, sekitar 1982 Busthanul mencetuskan konsep meluruskan persepsi tentang syariah. Menurutnya, konsep tersebut dimunculkan karena konstalasi pengertian syariah dan fiqih tidak lagi sebagaimana seharusnya, disebabkan faktor-faktor sejarah umat Islam dan untuk Indonesia ditambah dengan faktor rekayasa politik hukum kolonial selama berabad-abad. Pengertian syariah dan fiqih telah dikacaukan sehingga hukum Islam sebagaimana dipahami umat Islam dewasa ini tidak mungkin menata dan mengatur hidup manusia dalam dunia yang penuh dengan gerak dinamika. Kalau kerancuan pemahaman tentang syariah tidak diluruskan, Muslim Indonesia akan tetap hidup dalam dunia yang terbelah antara tuntutan keimanan dan tuntutan zaman yang selalu berubah. Persepsi yang tidak seragam mengenai syariah tidak menguntungkan umat Islam dan bangsa kita. Hukum Islam diharapkan menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan Hukum Nasional.

Guna mengaktualisasikan dan menemukan relevansi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, Busthanul menggariskan tiga langkah, yaitu: Pertama, merapikan jajaran hakim-hakim Pengadilan Agama dalam arti menjadikan hakim-hakim Peradilan Agama benar-benar menjadi hakim dalam arti yang sesungguhnya. Kedua, mengakrabkan umat Islam terutama ulama dan sarjana hukum Islam dengan yurisprudensi. Ketiga, mengadakan kompilasi hukum Islam.

Proyek Kompilasi Hukum Islam dibentuk berdasar atas SKB Ketua Mahkamah Agung H. Ali Said, SH dan Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA pada bulan Maret 1985. Ketua-nya dipercayakan kepada Busthanul Arifin yang juga Ketua Muda Mahkamah Agung. Pada 15 April 1985 di Gedung Mahkamah Agung, Busthanul memberi pengarahan pertama tentang gagasan kompilasi hukum Islam dan cara-cara bekerja yang akan diterapkan oleh segenap anggota panitia kompilasi hukum Islam.

Seiring dan sejalan dengan komitmen Menteri Agama Munawir Sjadzali dalam mengawal proyek Kompilasi Hukum Islam, kerja keras Busthanul dengan timnya menghasilkan rancangan kompilasi pada akhir 1987. Kompilasi Hukum Islam terdiri dari tiga buku, yaitu Buku I mengenai Hukum Perkawinan, Buku II mengenai Hukum Kewarisan,  dan Buku III mengenai Hukum Perwakafan. Busthanul Arifin waktu itu menyatakan, kompilasi hukum Islam yang memuat tiga buku tidak hanya mencerminkan reaktualisasi, tetapi bahkan reformasi hukum Islam.

Kemudian dengan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, sebagaimana telah diterima baik oleh para Alim Ulama Indonesia dalam Lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 – 5 Februari  1988, untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.

Predikat hakim yang jujur dan pejuang hukum Islam layak diberikan kepada Busthanul. Di hari tuanya Busthanul hidup dalam kesederhanaan, meski sekian lama pernah menduduki jabatan tinggi di Mahkamah Agung. “Hakim peradilan agama itu adalah hakim di mata hukum, dan ulama di mata masyarakat.” pesan beliau semasa hidupnya.

Dalam acara silaturahim Peringatan 130 Tahun Peradilan Agama di Indonesia pada tahun 2012, Busthanul dalam usia yang sudah lanjut dan udzur menyampaikan kesan dan pesan sebagai berikut, “Peradilan Agama harus tetap mengikatkan diri pada landasan syar’i dalam membuat putusannya. Ilmu hakim berbeda dengan ilmu hukum. Jika ilmu hukum hanya mengandalkan nalar, maka ilmu hakim harus menyeimbangkan ilmu nalar dan ilmu naluri atau hati nurani.”

Ketika menghadiri pemakaman jenazah almarhum Bapak Busthanul Arifin di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan hari Kamis pagi 23 April 2015, saya merasakan umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan seorang penegak hukum idealis, dan tidak mudah mencari pengganti orang sekaliber almarhum. Perjuangan membumikan hukum Islam dalam kerangka sistem hukum nasional kini menjadi tugas generasi penerus untuk melanjutkannya. ***

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.