Jumat, 26 April 24

Setelah Covid-19 Berlalu, Apakah Jabat Tangan Tetap Dilarang?

Setelah Covid-19 Berlalu, Apakah Jabat Tangan Tetap Dilarang?
* Jabat tangan

Sesudah pandemi virus corona (Covid-19) berlalu, apakah kita akan kembali masih berjabat tangan seperti sedia kala?

Jabat tangan mungkin salah satu kebiasaan manusia yang sulit untuk ditinggalkan sesudah pandemi ini. Namun ada alternatif untuk itu, menurut tulisan James Jeffrey berikut ini.

Jabat tangan bisa jadi dilakukan saat berpisah oleh dua orang yang tak akan berjumpa lagi, tapi bisa juga penanda kesepakatan bisnis miliaran dolar dua orang pebisnis raksasa.

Banyak kisah tentang asal-usulnya. Jabat tangan bisa jadi bermula di Yunani Kuno sebagai penanda perdamaian dua orang, yang memperlihatkan tak ada senjata di tangan mereka.

Kelompok Kristen Quaker dianggap memopulerkan jabat tangan karena ini dipandang lebih egaliter daripada membungkuk.

Cristine Legare, profesor psikologi di University of Texas at Austin, Amerika Serikat, menyatakan jabat tangan merupakan “sikap tubuh yang memperlihatkan keterhubungan antar manusia”.

Dengan sejarah ribuan tahun, mungkin terlalu sulit jabat tangan itu dihentikan begitu saja. “Kini kita banyak yang memakai salam dengan siku sebagai alternatif. Ini memperlihatkan betapa pentingnya sentuhan. Kita tak ingin kehilangan sentuhan fisik,” kata Prof Legare.

Dorongan biologis untuk menyentuh dan disentuh juga ditemukan pada hewan. Tahun 1960, psikolog Amerika Harry Harlow memperlihatkan ini pada monyet rhesus.

Contoh lain juga ada pada simpanse yang biasanya saling menyentuh telapak tangan, berpelukan dan terkadang berciuman sebagai bentuk salam.

Jerapah menggunakan leher mereka untuk “necking” di mana jerapah jantan melibatkan leher satu sama lain.

Berbagai bentuk salam antarmanusia yang ada di dunia, ada yang memang dipakai untuk menghindar dari sentuhan yang bisa menularkan penyakit.

Banyak budaya yang menangkupkan tangan, diiringi tubuh yang membungkuk seperti misalnya salam Namaste dalam agama Hindu.

Di Samoa ada “menaikkan alis” sembari tersenyum lebar kepada orang yang kita beri salam. Di beberapa negara Arab, tangan di atas dada merupakan bentuk salam hormat.

Ada juga salam shaka dari Hawaii yang dipopulerkan oleh para peselancar Amerika, dilakukan dengan cara menekuk tiga jari tengah degan jempol dan kelingking teracung.

Transfer bakteri
Di paruh pertama abad ke-20, banyak psikolog yang percaya bahwa memperlihatkan afeksi kepada anak-anak dipandang sebagai sikap sentimental tanpa ada kegunaan nyata. Bahkan mereka memperingkatkan hal itu berisiko menyebarkan penyakit dan menambah masalah psikologis bagi orang dewasa.

Dalam buku Don’t Look, Don’t Touch, ahli perilaku Val Curtis dari London School of Hygiene and Tropical Medicine mengatakan salah satu alasan kenapa jabat tangan dan ciuman masih bertahan karena orang saling percaya sekalipun ada risiko penularan. Maka sejarah praktek ini muncul dan hilang tergantung situasi kesehatan masyarakat.

Tahun 1920-an, artikel di American Journal of Nursing mengingatkan tangan merupakan alat transfer bakteri. Ia menyarankan agar orang Amerika mengadopsi kebiasaan China untuk menyatakan salam dengan mengguncang tangan di depan dada.

Di tahun 2015 ada upaya mengurangi jabat tangan. Di rumah sakit UCLA sempat ada pemberlakuan zona bebas jabat tangan di unit perawatan intensif (ICU).

Di Indonesia dan banyak negara Muslim, jabat tangan antar jenis kelamin juga sering dihindari karena alasan agama.

Sekalipun begitu, jabat tangan menjadi kebiasaan yang nyaris universal di abad ke-20 sebagai simbol salam yang profesional.

Beberapa kajian ilmiah menyatakan jabat tangan mengaktifkan sebagian otak yang sama dengan yang diaktifkan oleh makan enak, minum, bahkan seks.

Nasib jabat tangan?
Bulan April lalu, Dr Anthony Fauci, anggota tim satgas penanganan virus corona Gedung Putih menyatakan, “menurut saya, kita tak akan berjabat tangan lagi”.

Hal ini, menurutnya, tidak hanya mencegah penyebaran virus corona, tapi juga bisa menekan angka penyakit lain, seperti influenza.

Panduan jaga jarak juga mungkin akan lama diberlakukan, khususnya bagi kelompok rentan seperti orang tua dan orang berpenyakit seperti penyakit paru, obesitas dan diabetes.

Ini akan menciptakan “distopia fiksi ilmiah” di mana masyarakat terbelah dua: antara mereka yang bisa bersentuhan dan mereka yang tetap harus terisolasi, kata Dr Stuart Wolf dari Dell Medical.

Ia menambahkan, hal ini akan membawa konsekuensi psikologis yang besar. “Kita sudah menempatkan orang muda dalam posisi utama di masyarakat. Pembatasan artifisial seperti itu akan berdampak besar terhadap orang-orang”.

Dorongan untuk bersalaman itu sudah mendalam pada diri kita. Ini jadi alasan mengapa Presiden AS diperkirakan bisa bersalaman dengan sekitar 65.000 orang per tahun.

Banyak pilihan untuk salam nirkontak. Membungkuk, misalnya, sudah dipraktikkan di banyak tempat dan dianggap menyumbang kematian akibat Covid-19 lebih sedikit di Thailand. Juga ada melambai, tersenyum dan berbagai cara lain.

Namun, menurut Prof Legare, ironi dari Covid-19 adalah: saat orang dihadapkan dengan keadaan yang penuh tekanan justru manusia butuh sentuhan sesama.

“Kita merespon orang yang berduka atau terkena musibah dengan pelukan, atau duduk di sisi orang tersebut sambil menyentuh bahunya”.

Sentuhan dengan kepalan atau siku tidak bisa menggantikan keterhubungan manusia.

Pelukan
Karena profesinya berkaitan dengan kesehatan masyarakat, termasuk penyakit menular, Deliana Garcia telah mulai meninggalkan jabat tangan. Namun kebiasaannya tetap sulit diubah. “Saya fanatik terhadap pelukan,” katanya.

Terutama ini dia lakukan terhadap ibunya yang berusia 85 tahun. “Kami sangat dekat, dan saya selalu ingin berjalan ke arahnya, mencium mukanya sambil bilang saya sayang padanya”.

Dorongan kuat ini bertentangan dengan kekhawatirannya soal penularan. Maka mereka berdua sekarang seperti “menari dengan canggung”, kata Deliana.

“Bahkan ketika ia mendekat, saya jadi serba salah. Gimana kalau saya bikin dia sakit?” tambahnya.

Sekalipun sulit membayangkan masa depan tanpa jabat tangan atau sentuhan, lebih sulit membayangkan jika yang terjadi sebaliknya. Profesor psikologi dari Princeton University Elke Weber menyatakan bahwa menghindar jabat tangan tidak merupakan reaksi berlebihan.

“Menyintas dan mencoba tetap hidup adalah dorongan dasar manusia. Pilihannya adalah kembali seperti sedia kala dan mengabaikan fakta bahwa orang tua, orang obesitas dan orang berpenyakit bawaan akan meninggal dunia hingga kita menciptakan kekebalan kelompok – yang akan memakan waktu lama”. (*/BBC)

Sumber: BBC Magazine

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.