Sarung Kotak Sang Jenderal Besar

Di kalangan kuli tinta, nama Jenderal Besar Abdul Haris Nasution memiliki tempat istimewa. Bukan soal ia sosok yang ramah dan mudah didekati, lelaki kelahiran Mandailing Natal, 3 Desember 1918 ini juga unik karena keshalihannya. Pak Nas dinilai ‘terlampau’ shalih karena kedekatannya (taqarrub) kepada Allah ‘Azza waJalla yang sulit disamai oleh orang lain. “Pada banyak kesempatan wawancara bersama para wartawan, Pak Nas seringkali meminta undur diri ketika mendengar adzan. Beliau rupanya sosok yang gemar shalat di awal waktu,” ungkap Sahrudi, Pemimpin Redaksi Men’s Obsession yang beberapa kali mewawancarai Pak Nas saat masih menjadi wartawan Harian Bali Post.
Baca juga:Sabar di Pukulan PertamaAH Nasution: Tuhan Maha Besar! Tuhan Masih Melindungi SayaJenderal Besar TNI DR AH Nasution “Sang Penyelamat NKRI”Mengenang 101 Tahun Jenderal Besar A.H. Nasution Sikap Pak Nas inibukan ‘kaleng-kaleng’ yang hanya mencari sensasi di depan para wartawan agar diberitakan. Pak Nas adalah Pak Nas yang jujur bersikap kepada siapapun. Bahkan di hadapan Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia. Ketika rapat dengan Bung Karno dan tiba waktu shalat, Pak Nas selalu minta izin undur diri untuk mendirikan shalat terlebih dahulu. “Iya, bapak memang punya sifat itu. Karena dipanggil Tuhan itu nomor satu daripada dipanggil manusia, kan begitu. Ayah punya prinsip begitu,” terang Yanti Nasution, putri sulungnya. Bagi Pak Nas, shalat seperti benang yang menghubungkan dirinya dengan Allah. Jika terputus benang itu, maka hilanglah kesempatannya untuk meraih kemudahan dalam beraktivitas. Pak Nas selalu menghadirkan Allah dalam setiap kesempatan, apalagi ketika ‘panggilan’ Tuhan itu tiba. Ia meyakini bahwa Allah adalah Maha Pemberi Solusi yang kepada-Nya Pak Nas selalu menggantungkan harapan. Halaman selanjutnya Seperti umumnya Muslim di Tanah Air, Pak Nas juga senangmengenakan sarung saat menunaikan shalat. Tentu kondisi ini berbeda ketika ia bertugas, dimana Pak Nas shalatmengenakan pakaian dinas. Di rumah,saatsantai,Pak Nas paling senangmengenakan sarung. Ia memiliki beberapa sarung yang umumnya bermotif kotak-kotak. Sarung-sarung Pak Nas hingga saat ini masih berada di kediamannya yang kini menjadi Museum Jenderal Besar AH. Nasution di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Di kamar tidur yang juga dihiasi diorama peristiwa G30S, sarung-sarung Pak Nas berada di sebuah tempat khusus. Sementara di meja bundar dekat dengan tempat tidur terdapat kotak kayu tempat menyimpan Al-Quran. Ada satu sobekan cukup besar di atas meja bundar itu bekas tembakan pasukan yang menyerang kediaman Pak Nas di malam kelam, 30 September 1965. “Hingga sekarang ada sarung bapak yang sering saya gunakan untuk shalat. Ini mengingatkan saya kepada bapak yang selalu mengajarkan pentingnya shalat kepada kami keluarganya,” kenang Yanti. Kedekatan Pak Nas dengan keluarga, termasuk cucu dan cicitnya,serta ajarannya tentang Islam memang sangat lekat. Tak heran jika Pak Nas juga menjadi inspirator, sehingga beberapa cicitnya menjadi hafizh Al-Quran. Yanti mengatakan, enam cucunya (cicit Pak Nas) rata-rata sudah hafal Al-Quran, mereka sekolah di Madinah Arab Saudi. Anak ketiga Yanti menikah dengan cucu Jenderal Sudirman. Halaman selanjutnya Yanti menyimpan kisah lucu tentang praktik keislaman Pak Nas. Kisahnya, Pak Nas yang memiliki wudhu kerap merengut jika Ibu Johanna tak sengaja menyentuh kulitnya. Bagi penganut mazhab Imam Syafi’i yang taat, bersentuhan kulit dengan istri dapat membatalkan wudhunya. Sebaliknya, Ibu Johanna hanya tersenyum geli melihat sikap Pak Nas. Pak Nas juga sering mengingatkan istrinya untuk mengenakan kerudung (hijab/jilbab). Namun karena Ibu Johanna berasal dari lingkungan keluarga Belanda dan Jawa yang kuat memegang kepercayaannya (kejawen), istri Pak Nas belum tergerak mengenakan kerudung bahkan hingga ia meninggal dunia. “Ibu Johana itu masuk Islam setelah nikah dengan bapak. Ibu memang Islam tapi nggak masuk (terlalu dalam) ke situ. Ketika bapak melihat orang banyak pakai kudung, bapak pun meminta ibu pakai. Tapi ibu belum ingin pakai kerudung,” kata Yanti. Hingga suatu ketika Ibu Johana pernah mengatakan kepadanya, kalau ia sudah akan meninggal, baru ia akan pakai kerudung. Meski pada akhirnya hingga ia wafat, tetap belum mengenakan kerudung. Malah ia juga pernah mengatakan, “Begini saja ya, nanti kalau sudah ada batu nisan saya baru tulis di batu nisan, Haji Yohana Sunarti Nasution.Biar ayah kamu nggak lihat mama pakai kerudung, tapi mama sudah laksanakan semua yang insya Allah diminta oleh Allah.” Sikap Johana itu, menurut Yanti, bukan tanpa alasan. Johana yang pernah menunaikan ibadah haji, pernah menyampaikan alasan itu kepadanya. Antara lain Johana mengatakan bahwa setiap orang harus bisa berbuat baik, dan ia merasa sudah melakukannya. Dalam keseharian Johana, Yanti pun menyaksikannya. Johana sosok Muslimah taat. Ia rajin berkegiatan sosial juga shalatsunnahnya. “Ibu saya kan sosial iya, sholatDhuha iya, semua sholat dia laksanakan. Seperti itu. Nomor satu bagaimana mencontohkan orang dalam perbuatan. Karena banyak orang bolak-balik pergi haji tapi pulang dari sana jadi seperti begitu. Atau terus-terusan umrah untuk jalan-jalan. Daripada begitu mending umrahin orang karena banyak yang belum umrah. Jadi itu juga dilakukan ibu saya,” tutur Yanti. Suatu saat, imbuh Yanti, Ibu Johana memiliki uang untuk berangkat haji. Namun ketika itu pembantu Ibu Johana mengatakan jika di rumahnya belum punya kasur.Maka uang untuk ibadah haji itu pun diberikan Johana kepada pembantunya untuk membeli kasur, untuk keluarga pembantunya. “Jadi ibu saya itu, bagaimana orang dalam perbuatannya itu loh. Nah ini yang menonjol dari keislaman ibu saya. Baginya, yang penting kan perbuatan kita dulu dan apa yang kita lakukan. Begitu kedua orangtua saya itu, begitu modelnya,” kisah Yanti. Halaman selanjutnyaPak Nas, ‘Sang Imam’ Tentara Nasional Indonesia Ketergantungan Pak Nas kepada Allah ‘Azza waJalla berlaku pada setiap aktivitas. Tak heran jika Pak Nas selalu shalatIstikharah sebelum mengambil suatu keputusan. Dalam salah satu wawancara yang dimuat dalam buku “Islam Di Mata Para Jenderal” (Bandung: Mizan, 1997) beliau mengemukakan, “Sebagai seorang Muslim kita diperintahkan untuk melaksanakan ajaran Islam di mana pun kita berada. Kita harus merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dunia maupun akhirat. Dalam menghadapi masalah, misalnya, kalau agama kita kuat maka semuanya bisa dibereskan.” Menariknya, sewaktu menjadi pimpinan tertinggi TNI Angkatan Darat beliau disebut sebagai jenderal “tukang sembahyang”. Sebutan ini muncul menguatkan pandangan umum ketika Pak Nas akhirnya menyusun buku “Pedoman Agama Islam Untuk TNI”. Dalam surat keputusan KSAD dinyatakan, “Mewajibkan kepada setiap anggota AD yang beragama Islam memahami isi buku tersebut di atas dan mengamalkannya.” Jadi tak heran jika dalam setiap kesatuan TNI, Pak Nas diangkat menjadi “imam tentara”. Pak Nas pula yang membangun mushalla di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) di tahun 1950-an dan kemudian di Hankam pasca G-30-S/PKI. Sehingga muncul sebuah anekdot di kalangan TNI masa itu,“Kalau mau naik pangkat, rajinlah bersembahyang, dan diketahui oleh Jenderal Nasution”. Halaman selanjutnya Sikap taat Pak Nas juga berlaku dalam kunjungan ke manapun, termasuk kunjungan ke luar negeri. “Standing order” terkait dengan jadwal shalat wajib diperhatikan oleh protokol. Sewaktu Pak Nas melakukan kunjungan ke Australia menjadi tamu Angkatan Perang, misalnya, kolonel yang diperbantukan mendampingi beliau selalu melapor bila waktu shalat tiba. Ketika berada di Camberra, saat Pak Nas sedang mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Australia, tiba-tiba seorang Kolonel Australia datang melapor dengan hormatnya, mempersilakan Pak Nas untuk menunaikan shalat, sebab waktunya telah tiba. Padahal ketika ituPak Nas menjamak qasharshalatZhuhur dengan Ashar dalam satu waktu karena sedang musafir (sebagai orang yang bepergian). Pak Nas paham bahwa jama’ qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang boleh dilakukannya dalam kondisi tersebut. Bahkan saat berkunjung ke negara Komunis sekalipun.Protokol militer negara setempat harus menyesuaikan jadwal shalat dalam seluruh agenda kegiatan kunjungan Jenderal A.H. Nasution. Pada ceramah Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 1965 di AAU sebagaimana dimuat di Majalah PEHAI (Perdjalanan Hadji Indonesia) No 1 Tahun 1965, Pak Nas menceritakan pengalaman menarik saat kunjungan ke Moskow untuk membeli senjata yang saat itu bertepatan dengan hari Jumat. Halaman selanjutnya “Ketika perundingan dengan pihak Uni Soviet belum selesai, saya lihat arloji menunjukkan telah tiba saatnya untuk bersembahyang Jumat. Kepada sidang saya segera minta diri untuk bersembahyang. Seorang perwira Soviet mengantarkan saya pergi. Waktu dilihatnya saya membuka sepatu, ia pun membuka sepatunya. Ia terus mengikuti saya. Saya bersembahyang ia pun turut bersembahyang. Saya berdiri ia berdiri, saya rukuk ia rukuk. Saya sujud ia pun sujud demikian seterusnya. Sesudah salam saya tanya dia, apa yang dibacanya waktu mengikuti saya sembahyang? Ia menggelengkan kepala, tak suatu pun yang dibacanya. Habis ia bukan seorang Muslim. Jadi kenyataan ini menunjukkan bahwa dengan shalat kita dihormati dimana-mana. Hendaklah saudara-saudara senantiasa taat menunaikan kewajiban lima waktu sehari semalam. Jangan sekali-kali saudara-saudara merasa malu karena menunaikan sembahyang. Apalagi karena sembahyang sama halnya dengan corprapport yang biasa saudara-saudara lakukan terhadap komandan saudara. Bedanya shalat itu corprapport kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,” pesan Pak Nas kepada hadirin. Pak Nas mengingatkan dalam berbagai kesempatan ceramah dan khotbah bahwa seorang Muslim ketika berorganisasi dan bermasyarakat harus menunjukkan kepribadian sebagai seorang Muslim. Kepada seorang perwira tinggi TNI yang dia kenal baik dan baru naik pangkat menjadi bintang empat (jenderal penuh) Pak Nas selaku sesepuh TNI mengirim surat nasihat. “Semakin tinggi posisi, tiupan angin semakin kencang. Nasihat saya, ketika menghadapi persoalan yang sangat penting, diperlukan keputusan yang tepat. Untuk itu, agar tidak ragu-ragu dalam menetapkan keputusan, jangan lupa minta petunjuk Allah dengan shalatIstikharah lebih dahulu. Setelah itu, putuskan sesuatu sesuai dengan kata nurani. Dengan cara ini, kita tidak akan terombang-ambing mengikuti perkembangan situasi.” Itulah Pak Nas. Sikapnya menjadi karakter yang tidak hanya shalih secara personal tapi juga sosial. Ia tak cuma menjadi sosok shalih yang ingin baik di hadapan Allah secara pribadi, tapi juga menjadi sosok mushlihdengan mengajak orang-orang di sekelilingnya agar sama-sama dipandang baik oleh Allah ‘Azza waJalla. Keshalihan Pak Nas dalam beribadah berimbas pada akhlaknya. Meski menyandang pangkat Jenderal Besar, namun Pak Nas merupakan sosok yang sederhana. Dalam hal makanan pun Pak Nas tak suka makan yang mewah, termasuk menghindari daging rendang. Mungkin karena pilihan menu makannya yang sehat, seperti lalap dan ikan, Pak Nas termasuk yang jarang sakit. Satu hal yang unik, menurut Yanti, Pak Nas tak menyukai musik yang umumnya orang suka. Pak Nas hanya menyukai murattal (bacaan) Al-Quran dan musik marchingband. Halaman selanjutnya Kesederhanaan Pak Nas juga tampak ketika ia seringkalimenjauhi hal-hal ‘njelimet’ dalam membuat keputusan. Ia sosok yang menjauhi konflik, sehingga Pak Nas tidak memiliki rasa dendam sedikit pun kepada individu dan institusi yang memperlakukannya secara tidak adil.Misalnya, meski pernah diasingkan oleh rezim Orde Baru selama bertahun-tahun, setiap Lebaran Idul Fitri Pak Nas selalu mengirim surat Selamat Hari Raya Idul Fitri dan permohonan maaf lahir batin kepada Presiden Soeharto dan keluarga.Meski kabarnya surat balasan yang dikirimkan tidak pernah ditandatangani oleh Pak Harto, kecuali satu kali di tahun 1996, surat balasan selamat lebaran dari Pak Nas ditandatangani oleh Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto. Sikap hidup Pak Nas yang konsisten dan lurus tulus, sesuai dengan pidato yang diucapkannya di halaman Mabes AD sewaktu melepas jenazah tujuh pahlawan revolusi yang gugur dalam tragedi G-30-S/PKI tahun 1965, “Kita semua difitnah, dan saudara-saudara telah dibunuh, kita diperlakukan demikian, tapi jangan kita dendam hati, iman kepada Allah subhanahu wata’ala, iman kepada-Nya meneguhkan kita. Dengan keimanan ini juga kami yakin bahwa yang benar akan tetap menang, dan yang tidak benar akan tetap hancur”. Sebagai sesepuh TNI yang ditakdirkan berusia lanjut, Pak Nas mengingatkan kepada generasi penerus agar memegang teguh Saptamarga, di antaranya, “Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, membela kebenaran, kejujuran dan keadilan”, sesuai dengan wasiat Panglima Besar Sudirman. “Seorang kepala kantor kecil sampai kepada kepala negara, tak ada yang luput dari tuntutan Allah kelak, atas kepemimpinannya. Boleh saja seorang di dunia ini mengelakkan pertanggungjawabannya, dengan macam-macam muslihat. Tapi, di Hari Kemudian takkan terelakkannya di depan Allah,” kata Pak Nas dalam kumpulan tulisannya yang dibukukan dengan judul Pembangunan Moral Inti Pembangunan Nasional (1995). Halaman selanjutnya Keyakinan Pak Nas akan kehadiran Allah dalam setiap embusan nafasnya, terbukti saat peristiwa kelam menghampirinya. Pak Nas yang merupakan target nomor wahid menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan G-30-S/PKI, bisa lolos dari maut dengan pertolongan Allah ‘Azza waJalla.Bagi Pak Nas, percobaan pembunuhan yang ditujukan kepadanya merupakan ujian atas ketakwaannya kepada Allah. Ujian seberapa besar ia meyakini kekuasaan Allah dan kesungguhannya meminta pertolongan dari-Nya, seperti makna yang terkandung dalam QS. Al-Baqarah ayat 214. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.(Sahrudi)
