Sabar di Pukulan Pertama

SATU sifat yang sudah bukan rahasia umum dari sosok Pak Nas adalah tingkat kesabarannya yang luar biasa tinggi. Peristiwa demi peristiwa yang menantang rasa kesabaran dalam hidupnya mampu ia lewati dengan tenang. Tak ada marah, apalagi dendam. Bukan hanya atas fitnah dan perlakuan tidak adil yang diterimanya hingga akhir hayat, tapi juga terhadap peristiwa yang paling membuat hatinya tertusuk yakni ketika putri tercintanya, Ade Irma Suryani, gugur sebagai perisai dirinya akibat peluru yang dihamburkan pasukan Cakrabirawa saat ingin menangkapnya pada peristiwa yang kemudian dikenal sebagai gerakan 30 September/PKI tahun 1965. Baca juga:AH Nasution: Tuhan Maha Besar! Tuhan Masih Melindungi SayaJenderal Besar TNI DR AH Nasution “Sang Penyelamat NKRI”Mengenang 101 Tahun Jenderal Besar A.H. Nasution
Air mata yang mengalir saat sang putri dikebumikan adalah tanda kasih sayang seorang ayah kepada darah daging tercintanya. Sekali lagi, bukan dendam apalagi kemarahan. Karena ia sadar, Sang Khalik telah mengambil kembali titipan yang diberikan kepadanya. Selebihnya Pak Nas melukiskan perasaannya dengan sebaris kalimat yang ia tuliskan di batu nisan. "Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu”. Ya, Ade Irma menjadi perisai saat Pak Nas menjadi target utama dalam peristiwa G30S PKI. Alih-alih menembak Pak Nas, peluru pasukan Cakrabirawa justru merenggut nyawa Ade Irma bersama Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean. “Buat papa itu berat sekali. Cuma papa kan orang yang beragama, beliau tahu jika sudah diminta Allah, ya dikembalikan. Begitu saja,” kenang putri sulung Pak Nas, Hendrianti Sahara Nasution atau akrab disapa Yanti Nasution. Pak Nas yang dikenal taat dan memiliki pengetahuan agama sangat baik menyadari bahwa Allah tengah mengujinya. Ia bersabar. Bahkan sikap ini dimantapkannya ketika ia pertama kali melihat tubuh si bungsu terkulai lemah karena kehabisan darah yang terus keluar saat ditembus peluru. “Sabar itu ada pada pukulan pertama”. Sepotong hadits yang diingat Pak Nas ini makin menguatkan sikapnya. Ia harus bersabar. Semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Halaman selanjutnya Sikap Pak Nas tersebut direkam betul oleh Yanti. Bahkan tak hanya Pak Nas, sang mama pun memiliki sikap yang sama. “Keduanya punya prinsip. Ibu saya juga bilang, kalau nangis ya kita nangis saja di kamar mandi, nggak usah dikasih lihat. Orang hanya bisa bilang apa, tapi kita harus tetap tegar dan sabar,” jelas Yanti. Wafatnya Ade Irma menimbulkan tekad kuat. Tak ada istilah down atau meratap. Sebaliknya, untuk mengenang Ade Irma, Pak Nas dan istri membuat Yayasan Kasih Ade untuk menolong orang banyak melalui program beasiswa dan lain-lain. Melalui cara itu pula Pak Nas dan istri mendidik Yanti untuk memiliki karakter kuat dan senang membantu orang lain.
“Kalau kita bilang, kita sedih.Tapi toh nggak bisa menolong kan? Yang harus berbuat ya kita sendiri dan kalau kita bisa membantu orang lain atau kita lihat sekitar kita, masih banyak kok yang lebih susah dari kita, dan kita harus survive terus. Jadi saya diajarkan begitu, kita harus survive terus,” tegas Yanti. Kesabaran yang dimiliki Pak Nas, diyakini Yanti merupakan buah dari latar belakang agama yang kuat. Dari penuturan papanya, Yanti mengetahui bahwa sejak kecil Pak Nasbelajar agama secara ketat. Setelah beliau sekolah SD, siangnya belajar mengaji, di samping belajar tentang bagaimana tata cara dalam agama. Di sini Pak Nas juga belajar membaca Al-Quran dan sejarah, sehingga ia banyak mendengar cerita-cerita kepahlawanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dari sinilah Pak Nas belajar tentang sikap jiwa kepahlawanan, sehingga ingin mencontoh kepahlawanan dari sosok nabi yang sangat dikaguminya tersebut. Halaman selanjutnyaDialog Pilu Ade Irma Penyergapan pasukan Cakrabirawa yang berlangsung di kediaman Jenderal AH Nasution, menyisakan dialog pilu antara Ade Irma Suryani Nasution bersama sang ayah dan sang ibu, Johana Sunarti Nasution. Si bungsu kelahiran 19 Februari 1960 itu menjadi korban pada peristiwa yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S). Sempat dibawa ke RSPAD dan mendapatkan pertolongan, Ade Irma berpulang lima hari kemudian. [gallery link="file" columns="1" size="full" ids="299705"] Merujuk penelusuran detikcom, berikut fakta seputar peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 tengah malam. Ade Irma Suryani tengah digendong, Johanna Nasution sang Ibunda ketika tentara Cakrabirawa menyerbu rumahnya dan melepaskan rentetan tembakan. Saat itu Ade dipegang oleh ibunya dan masih tertidur tenang, lalu dipindahkan ke tangan adik iparnya karena berusaha melindungi A.H. Nasution. Sayangnya, adik A.H. Nasution ini membuka pintu kamar. Rentetan tembakan yang dilepaskan pasukan Cakrabirawa pun mengenai Ade Irma dan adik Nasution. Johanna mengambil alih menggendong tubuh Ade Irma yang bersimbah darah sambil mengantar A.H. Nasution untuk menyelamatkan diri melalui pintu belakang. Saat Johanna mengantarkan A.H. Nasution untuk pergi menyelamatkan diri dari incaran pasukan Cakrabirawa itulah sempat terjadi dialog mengharukan antara Ade Irma dan kedua orangtuanya. Padahal saat itu kondisi Ade Irma sangat lemah. "Papa.. Ade salah apa? kenapa Ade ditembak?" kata Ade ketika dia dalam gendongan ibunya dan A.H. Nasution sedang melewati tembok untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, terjadi pula percakapan antara Johanna dengan Ade Irma yang menyayat hati. "Ade, masih hidup?" tanya Johana yang menggendong Ade dalam pelukannya. "Hidup, Mama.." jawabnya. "Ade hidup terus?" sekali lagi Johana bertanya. "Hidup terus, Mama," kata Ade. "Ade masih kuat?" Johana khawatir pada putrinya yang sudah mulai melemahkan pelukan ke lehernya itu. "Masih, Ma.." jawab Ade sekali lagi. Dan yang terakhir setelah Ade Irma menjalani operasi dan menenangkan hati kakaknya yang sedih melihat kondisi dirinya. "Kakak jangan menangis, adik sehat." Ade juga sering bertanya kepada ibunya, "Kenapa ayah mau dibunuh, mama?" Halaman selanjutnya Ada tiga peluru bersarang di bagian punggung Ade Irma Suryani. Setelah para pasukan Cakrabirawa telah meninggalkan rumah A.H. Nasution, Ade Irma dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto untuk diberikan pertolongan. Setibanya Ade Irma di rumah sakit, ia masih dalam keadaan sadar tapi sudah sangat lemah. Dokter langsung menyarankan untuk melakukan operasi kepadanya. Ade Irma Suryani sempat menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta selama 5 hari. Pada 6 Oktober 1965 dinihari, Ade Irma berpulang ke haribaan Illahi. Dia dimakamkan di Jakarta pada 7 Oktober 1965. Ade Irma Suryani dimakamkan di Kompleks Wali Kota Jakarta Selatan dan terdapat pula sebuah Tugu Monumen untuk mengenangnya. Monumen itu terletak di depan Kantor Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan. Kepergian Ade Irma tak hanya duka bagi keluarga. Rakyat Indonesia pun turut meluapkan kesedihan mereka. A.H. Nasution tak kuasa menahan kesedihan ketika di depan nisan sang buah hati tercinta. Sebuah kalimat dia tulis di batu nisan Ade Irma. "Anak saya yang tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai ayahmu," begitu tulis Nasution. Tiap peringatan 1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila, akan ramai dengan para peziarah yang menaburkan bunga untuk mengenang aksi heroik Ade Irma Suryani. Nama Ade Irma Suryani diabadikan menjadi sebuah nama Jalan Ade Irma Suryani, salah satunya ialah di Pekanbaru, Riau. Tak hanya itu, namanya juga dijadikan sebuah nama Taman Kanak-Kanak (TK) hingga panti asuhan di beberapa wilayah Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk generasi penerus bangsa untuk mengingat kejamnya G30S di masa lampau. (Imam Fathurrohman)

