Azka Aufary Ramli: FOKUSMAKER Harus Jaga Marwah Universitas sebagai Miniatur Parlemen dalam Wajah Intelektual Bangsa

Azka Aufary Ramli: FOKUSMAKER Harus Jaga Marwah Universitas sebagai Miniatur Parlemen dalam Wajah Intelektual Bangsa
Dewan Penasihat BAKORNAS FOKUSMAKER Azka Aufary Ramli (kiri) (Foto Dok. Istimewa)

Obsessionnews.com —Dalam dinamika kebangsaan yang terus berkembang, peran universitas sebagai pusat pembentukan karakter dan ruang dialektika demokrasi semakin krusial. Dewan Penasihat BAKORNAS FOKUSMAKER, Azka Aufary Ramli, menegaskan kembali pentingnya menjaga marwah kampus sebagai “miniatur parlemen Indonesia” yang mencerminkan wajah intelektual bangsa.

“Universitas bukan sekadar tempat menimba ilmu, tetapi ruang dialektika tempat mahasiswa ditempa menjadi pemimpin masa depan. Di sinilah aspirasi, nalar kritis, dan kepekaan sosial digodok dalam bingkai keilmuan dan etika,”tegas Azka dalam diskusi terbatas bersama kader FOKUSMAKER di Jakarta, akhir Juli 2025.

Menurut Azka, universitas pada hakikatnya adalah refleksi parlemen dalam skala akademik. Di dalamnya, mahasiswa didorong untuk berpikir kritis, berdialog secara sehat, menyampaikan argumen berdasarkan data, serta membangun solusi kolektif. Hal ini selaras dengan prinsip deliberatif dalam demokrasi, di mana keputusan lahir dari pertukaran pikiran, bukan dari tekanan maupun kompromi sesaat.

“Jika gedung DPR menjadi tempat keputusan politik bangsa diambil, maka kampus adalah ladangnya kaderisasi tempat benih-benih pemimpin digembleng dengan gagasan, integritas, dan keberanian moral,”tambahnya.

Azka mengingatkan bahwa sistem demokrasi akan kehilangan ruhnya bila generasi intelektualnya kehilangan keberanian untuk berpikir berbeda. Dalam konteks ini, kebebasan akademik dan otonomi mahasiswa harus dijaga sebagai pondasi utama terciptanya demokrasi substantif.

Sebagai bagian dari organisasi kemahasiswaan independen, FOKUSMAKER memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga wajah universitas dari infiltrasi pragmatisme politik yang dangkal dan kecenderungan antiintelektualisme. Bagi Azka, peran mahasiswa tidak boleh direduksi hanya menjadi pelengkap acara atau obyek mobilisasi elite, melainkan harus tampil sebagai penentu arah dan penjaga marwah kampus.

“FOKUSMAKER tidak boleh sekadar menjadi penonton. Ia harus jadi pilar moral yang terus mengingatkan: kampus adalah benteng intelektual, bukan panggung politik transaksional,”ujar Azka.

Ia juga menekankan pentingnya membangun kultur organisasi mahasiswa yang sehat yakni terbuka terhadap perbedaan pandangan, disiplin dalam berpikir, serta menjunjung etika akademik.

Di tengah era disrupsi informasi, transformasi digital, serta iklim politik yang fluktuatif, Azka melihat bahwa generasi muda bangsa harus dibekali dengan kepemimpinan visioner dan kesadaran kebangsaan. Universitas berperan vital dalam menggembleng generasi ini—bukan hanya melalui teori, tetapi melalui praktik-praktik kebebasan berekspresi yang terarah dan bertanggung jawab.

“Tantangan bangsa ke depan tidak akan bisa dijawab oleh pemimpin instan. Diperlukan proses kaderisasi yang panjang dan sistematis. Dan itu hanya bisa dibangun jika ruang-ruang kampus dijaga kemurniannya,”tegasnya lagi.

Azka turut menyoroti gejala komodifikasi politik kampus, di mana mahasiswa sering dijadikan alat untuk kepentingan jangka pendek elite kekuasaan. Fenomena ini, menurutnya, harus dilawan dengan cara membangkitkan kembali budaya berpikir kritis dan semangat independensi gerakan mahasiswa.

Ia menyampaikan bahwa bukan tugas mahasiswa untuk memuja kekuasaan, tetapi untuk mengkaji dan mengkritisi kebijakan publik dengan dasar keilmuan dan kepedulian sosial.

“Mahasiswa bukan perpanjangan tangan kekuasaan, melainkan nalar kritis bangsa. Jika ruang itu hilang, maka hilanglah ruh reformasi,”ucap Azka.

Azka juga mengaitkan pentingnya menjaga integritas kampus dengan visi jangka panjang bangsa, yakni Indonesia Emas 2045. Ia berpendapat bahwa bonus demografi hanya akan membawa manfaat jika kualitas generasi mudanya unggul secara intelektual, spiritual, dan moral yang semuanya dibentuk dalam atmosfer kampus yang sehat.

“Civitas akademika, dosen, rektorat, dan organisasi mahasiswa harus menyadari bahwa mereka sedang membentuk pilar masa depan bangsa. Apa yang terjadi hari ini di kampus, akan menentukan wajah Indonesia dua dekade ke depan,”tutupnya.

Dengan pesan yang kuat, Azka Aufary Ramli mengajak seluruh elemen kampus untuk menjaga marwah universitas sebagai pilar intelektual bangsa, bukan sekadar tempat kuliah atau ajang eksistensi semu. Universitas harus terus menjadi miniatur parlemen yang ideal, tempat ide-ide besar lahir dan diuji, demi menghadirkan generasi baru yang mampu memimpin Indonesia dengan akal, etika, dan empati.

“Kampus adalah titik mula. Dari sanalah masa depan dibentuk. Kita jaga agar cahaya intelektual itu tidak padam.”ucap Azka mengakhiri harapannya. (Ali)