Kemenkeu dan ATR/BPN Bongkar Pajak Sugar Group Companies Demi Kepastian Hukum dan Keadilan

Obsessionnews.com - Oleh: Zuli Hendriyanto Syahrin
Dugaan pengemplangan pajak Sugar Group Companies (SGC), menurut pandangan saya bukan hanya urusan administratif. Ini adalah cerminan rapuhnya sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Karena itu, Kementerian Keuangan dan Kementerian ATR/BPN harus bertindak nyata dan transparan.
Di bawah Kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto, langkah ini penting untuk kepastian hukum dan keadilan bagi Bangsa. Hal ini sejalan dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 4 ayat (1) yang mewajibkan wajib pajak membayar pajak. Selain itu, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjadi landasan hukum hak atas tanah, didukung oleh PP No.18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Negara tak boleh diam. Keheningan hanya akan merusak iklim investasi, menghancurkan kepercayaan publik, dan mengikis keadilan sosial, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945 tentang pajak dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum.
Di Mana Kementerian Saat Masyarakat Menanti Keadilan?
Mengapa kasus dugaan pengemplangan pajak SGC, yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah, seolah tak bergerak? Apakah ini kelalaian birokrasi, atau ada kekuatan tersembunyi yang membungkam penegakan hukum? Ini jelas bertentangan dengan prinsip Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum.
Masyarakat menuntut fakta konkret. Info lambatnya respons terhadap permintaan data kepada Ditjen Pajak terkait SGC, memperkuat persepsi adanya penghambatan proses hukum. Ini bukan hanya kerugian finansial, tapi juga krisis kepercayaan mendalam.
Kementerian Keuangan Sang Penjaga Anggaran yang Tumpul?
Sebagai garda terdepan pengumpul penerimaan negara sesuai dengan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Kementerian Keuangan melalui Ditjen Pajak seharusnya berada di garis depan menuntaskan kasus ini.
Potensi kerugian negara dari SGC diduga mencapai Rp10 triliun hingga Rp15 triliun. Kewenangan pemeriksaan pajak sudah jelas diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 34 UU KUP, diperkuat oleh UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mengatur sanksi bagi pengemplang pajak (Pasal 8 ayat (3) UU HPP untuk sanksi administrasi dan Pasal 39 UU KUP untuk sanksi pidana.
Apakah ada ketidakberanian atau kesulitan akses data? Kerahasiaan data wajib pajak sering dijadikan tameng. Namun, dalam kasus dugaan pelanggaran besar yang merugikan publik, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama, sesuai Pasal 13A UU KUP yang memungkinkan pemberian data untuk kepentingan negara, serta prinsip akuntabilitas dalam UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan PMK Nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Negara tidak boleh berkompromi terhadap potensi kebocoran penerimaan besar ini, mengingat Pasal 39 dan Pasal 43 UU KUP yang mengatur sanksi pidana.
Kementerian Keuangan harus segera menyajikan data audit dan temuan konkret, seperti:
Analisis real-time sistem big data Ditjen Pajak mendeteksi anomali rasio pajak SGC jauh di bawah rata-rata industri gula nasional 1,5%-2% sejak 2020 hingga 2025, serta temuan under-reporting pendapatan dari penjualan produk samping. Ini dibuktikan dengan perbandingan laporan keuangan SGC 2024 dengan data penjualan komoditas global.
Temuan audit trail sistem akuntansi SGC menunjukkan transaksi intercompany loan dengan bunga sangat rendah ke entitas terafiliasi di luar negeri untuk menggeser laba kena pajak, dan nilai persediaan barang jadi tidak konsisten. Ini diperkuat surat temuan audit dari BPK terkait ketidakwajaran laporan keuangan SGC tahun buku 2022.
Hasil matching data e-Faktur dengan laporan transaksi perbankan menunjukkan perbedaan nilai penjualan signifikan antara yang dilaporkan ke Ditjen Pajak dan yang sebenarnya diterima, atau deteksi faktur pembelian dari supplier fiktif. Ini diverifikasi dengan data transaksi rekening koran SGC dari PPATK yang menunjukkan aliran dana mencurigakan 2023 hingga 2025.
Hasil uji coba giling tebu acak di pabrik SGC menunjukkan rendemen gula aktual rata-rata 0,5% lebih tinggi dari yang dilaporkan, berimplikasi pada under-declaration volume produksi. Ini didukung data pengawasan silo gula nasional oleh Badan Pangan Nasional yang menunjukkan stok SGC melebihi laporan resmi 2025.
Info ini harus diumumkan untuk membuktikan atau menepis tuduhan, sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik. Sikap pasif Kementerian Keuangan, tanpa respons cepat dan konkret terhadap anomali data, hanya akan memperparah dugaan adanya regulatory capture atau intervensi kepentingan yang merugikan keuangan negara dan keadilan ekonomi.
Kementerian ATR/BPN Penjaga Tanah Rakyat yang Tidak Melihat Fakta?
Peran Kementerian ATR/BPN sangat penting karena dugaan pengemplangan ini terkait erat dengan penggunaan dan kepemilikan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang masif. Aturannya jelas di PP No.18 Tahun 2021 dan Permen ATR/BPN No.18 Tahun 2021, serta UU No.2 Tahun 2012 tentang batasan luas HGU.
Bagaimana mungkin kementerian ini tidak punya data akurat dan terintegrasi mengenai luasan lahan yang dikelola SGC, perizinan, dan potensi pungutan ke negara? Padahal, Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mewajibkan pendaftaran HGU untuk kepastian hukum, dan Permen ATR/BPN No.17 Tahun 2020 mengatur penataan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian.
Ketiadaan data komprehensif ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam tata kelola pertanahan dan potensi celah besar untuk praktik curang. Ini bertentangan dengan Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang menekankan pendataan akurat.
Dugaan pelanggaran HGU atau pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukan harus ditindak tegas, karena ini bukan hanya soal pajak, tapi juga kedaulatan negara atas tanahnya sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 6 UUPA 1960 yang mengamanatkan fungsi sosial hak atas tanah.
Kementerian ATR/BPN wajib segera merilis fakta-fakta berupa data spasial dan administratif HGU SGC yang terperinci, meliputi:
Analisis GIS menunjukkan 15% dari total HGU SGC berada di luar peruntukan, seperti kawasan lindung atau area resapan air, atau HGU tumpang tindih dengan klaim wilayah adat yang telah disertifikasi. Ini didukung citra satelit resolusi tinggi dari Lapan 2025.
Laporan resmi BIG mencatat deviasi pengukuran HGU SGC 5-10% dari luasan sertifikat, atau adanya area yang dikuasai secara fisik tetapi tidak terdaftar dalam HGU. Ini dibuktikan laporan hasil triangulasi GPS dan Total Station yang tidak sesuai dengan batas HGU terdaftar 2024.
Beberapa Izin Lingkungan SGC sudah kadaluarsa sejak awal 2023 atau tidak mencakup seluruh area operasional, atau pelanggaran serius AMDAL seperti pembuangan limbah tanpa pengolahan memadai, diatur UU No. 32 Tahun 2009. Ini diperkuat hasil uji laboratorium independen sampel air sungai sekitar pabrik SGC 2025 yang menunjukkan pencemaran melebihi baku mutu lingkungan, sesuai PP No. 22 Tahun 2021.
Audit sosial independen menunjukkan SGC tidak merealisasikan pembangunan fasilitas publik atau program kemitraan yang dijanjikan dalam kesepakatan HGU sejak 2020, atau puluhan laporan konflik agraria dari masyarakat sekitar belum terselesaikan hingga 2025, sesuai kewajiban TJSL perusahaan yang diatur UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Data-data ini sangat penting untuk memberikan gambaran jelas mengenai kepatuhan SGC terhadap regulasi lahan. Keengganan Kementerian ATR/BPN dalam menyediakan data HGU yang transparan dan terverifikasi secara real-time secara tidak langsung mendukung dugaan penyalahgunaan lahan dan penghindaran kewajiban pajak, mengindikasikan adanya celah sistemik dalam pengawasan aset negara yang vital.
Solusi Konkret: Membongkar Gurita Pajak, Menegakkan Keadilan
Untuk menuntaskan dugaan kasus pajak SGC dan memulihkan kepercayaan publik, langkah-langkah solutif harus segera diambil:
1. Audit Forensik Menyeluruh dan Terbuka
Kementerian Keuangan harus segera membentuk tim audit forensik independen yang melibatkan ahli pajak, akuntan publik tersertifikasi, dan penegak hukum yang berintegritas. Ini sesuai kewenangan pemeriksaan dalam Pasal 29 UU KUP dan PP No.50 Tahun 2022.
Audit ini tidak hanya fokus pada pembukuan, tetapi juga verifikasi lapangan terhadap luasan HGU, volume produksi, dan data transaksi SGC secara menyeluruh. Hal ini didukung oleh UU No.36 Tahun 2008 tentang PPh, UU No.42 Tahun 2009 tentang PPN, UU No.12 Tahun 1985 tentang PBB yang relevan dengan HGU, dan PMK Nomor 145/PMK.03/2012.
2. Integrasi Data Lintas Kementerian yang Teruji dan Terverifikasi
Ini adalah keharusan mutlak. Kementerian Keuangan dan Kementerian ATR/BPN harus membangun sistem informasi geospasial dan data keuangan terintegrasi. Sistem ini memungkinkan pemantauan real-time terhadap kepemilikan lahan, perizinan, dan kewajiban pajak perusahaan besar, terutama di sektor ekstraktif dan perkebunan.
Inisiatif ini selaras dengan semangat Perpres No.39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia, yang bertujuan mewujudkan data akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta didukung oleh PP No.76 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik Transaksi Perpajakan.
3. Tindak Tegas Pelanggaran HGU dan Pencabutan Izin Secara Progresif
Jika terbukti ada pelanggaran terhadap ketentuan HGU atau pemanfaatan lahan tidak sesuai, Kementerian ATR/BPN harus bertindak tegas, termasuk mencabut izin HGU atau memberikan sanksi administratif berat.
Ini sesuai dengan Pasal 47 PP No.18 Tahun 2021 tentang sanksi dan pencabutan hak atas tanah, serta Permen ATR/BPN No.7 Tahun 2017 dan Permen ATR/BPN No.16 Tahun 2021 tentang Penanganan Konflik Pertanahan. Ini akan menjadi sinyal kuat bahwa negara serius menjaga kedaulatan tanah dan tidak akan mentolerir praktik merugikan.
4. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu dan Pemulihan Aset
Jika hasil audit dan investigasi menunjukkan indikasi pidana pengemplangan pajak, aparat penegak hukum (Kejaksaan Agung, KPK dan Polri) harus segera bertindak proaktif. Ini sesuai kewenangan dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dan UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Tidak boleh ada intervensi politik atau ekonomi, sejalan dengan prinsip independensi peradilan dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Para pihak yang terlibat, baik dari SGC maupun oknum birokrat yang terbukti membantu, harus diseret ke pengadilan. Ini termasuk potensi pelanggaran UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diubah dengan UU No.20 Tahun 2001), yang mengatur penyalahgunaan wewenang dan kerugian keuangan negara, serta Pasal406 KUHP terkait penggelapan dan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal jika ada pelanggaran terkait investasi.
Bergerak dan Tuntaskan
Kasus dugaan pengemplangan SGC adalah ujian nyata bagi komitmen negara terhadap kepastian hukum dan keadilan, sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kegagalan menuntaskan kasus ini bukan hanya kerugian finansial, melainkan juga erosi kepercayaan publik yang jauh lebih mahal harganya.
Kementerian Keuangan dan Kementerian ATR/BPN memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun entitas, sekuat apa pun, yang kebal hukum di Republik ini. Dengan dukungan penuh dari Bapak Presiden Prabowo Subianto, saatnya negara menunjukkan taringnya, demi keadilan dan kepastian hukum. (Ali)