Urusan Kratom, Bukan Sebatas Kepentingan Ekonomi-Politik

Urusan Kratom, Bukan Sebatas Kepentingan Ekonomi-Politik
Obsessionnews.com - Pada 2023 yang lalu BNN RI mendapat kontak dari otoritas Singapura. Puluhan ton komoditas kratom dari Indonesia harus ditahan dan dikembalikan. BNN menolak, akhirnya bahan ekspor tumbuhan yang memiliki nama latin mitragyna speciosa dimusnahkan oleh tetangga. Kisah itu dibeberkan Karo Humas dan Protokol BNN RI Brigjen Pol Sulistyo Pudjo Hartono kepada Obsessionnews.com  ketika ditemui di kantornya, Kamis (11/7). BNN konsisten mengklasifikasikan kratom sebagai narkotika golongan I. Baca juga: Efek yang Ditimbulkan Kratom 13 Kali Kekuatannya dari Morfin “BNN secara kelembagaan bagian dari eksekutif. Namun dalam melaksanakan tugas dan wewenang, kami berpijak pada amanat undang-undang,” kata Pudjo. Indonesia termasuk negara-negara lainnya di ASEAN menjadi wilayah penghasil kratom. Tanaman yang daunnya diyakini memiliki banyak khasiat namun mengandung senyawa mitragynine yang memiliki efek 13 kali lebih kuat dibanding morfin. Tumbuhan ini banyak ditemukan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa. “Kalau di Jawa namanya ketum,” kata Pudjo. Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina telah melarang peredaran kratom dan menggolongkannya sebagai narkotika. Sementara Indonesia nampak gamang, karena menilai adanya potensi ekonomi yang tinggi dari budidaya kratom. Indonesia, kata Pudjo, melalui Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika sejatinya telah memiliki landasan ilmiah untuk menyimpulkan kratom masuk dalam jenis narkotika golongan I. Komite diketuai Kemenkes dengan wakil BNN. Sementara anggotanya terdiri dari lembaga-lembaga lain seperti Kemensos, BPOM dan universitas. “Kajian sudah dilakukan pada 2019 yang lalu, komite sudah mengusulkan kratom masuk golongan I tetapi masih waiting list untuk masuk permenkes,” tuturnya. Banyak Mudarat BNN butuh payung hukum minimal permenkes yang menyatakan kratom masuk kategori narkotika untuk melakukan tindakan proyustisia. Sementara pemerintah masih perlu melakukan kajian lagi melibatkan BRIN untuk merumuskan regulasi terkait kratom. Sialnya, sejak 2019 lalu, sedikitnya BNN merehabilitasi 133 orang karena kecanduan kratom. Mereka datang dengan sukarela karena BNN tidak bisa bergerak memberantas kratom yang dengan mudahnya didagangkan secara daring, berbentuk serbuk teh atau kopi. “Malahan di internasional, ada pengguna yang tewas overdosis akibat kratom,” ujar Pudjo mewanti-wanti. “Karena begitu kecanduan, kalian akan kehilangan sebagian daripada hidup anda, yaitu kesehatan.” Sekalipun masuk tumbuhan asli Indonesia, Pudjo menyebut, kratom lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Bukan untung yang didapat ketika mengonsumsi tetapi buntung. Dia mengingatkan tidak semua tumbuhan bisa dikonsumsi manusia. “Ada (tumbuhan) yang beracun, ada yang berbahaya, ada yang enak dimakan, ada yang berbahaya buat manusia tetapi tidak beracun buat binatang,” kata Pudjo. Dia menolak ketika kratom dikaitkan dengan kearifan lokal atau tanaman adat. Menurutnya, ada unsur rekayasa industri yang perlu diwaspadai dari kratom. “Karena ada sekelompok orang yang melihat peluang bisnis dan ekonomi untuk diekspor ke negara tertentu,” ungkapnya. Masyarakat adat, kata dia, bisa didorong untuk membudidayakan tanaman lain yang memiliki banyak manfaat dengan nilai ekonomi tinggi. Misalnya, kopi, cengkeh, pala ataupun minyak atsiri yang tidak berisiko. “Ini merupakan masalah perlindungan terhadap masyarakat. Ini bukan masalah lain, apakah masalah politik ataupun masalah ekonomi,” kata Pudjo. (Erwin)