Memprihatinkan, Nasib PPP Ibarat Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula

Oleh: Arif Rahman Hakim, Wartawan Senior dan Mantan Kader PPP
Obsessionnews.com – Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia menyuguhkan pertarungan yang dahsyat antar partai politik (parpol). Masing-masing parpol dalam kampanyenya berlomba-lomba untuk merebut hati rakyat. Tidak ada jaminan parpol berusia tua sukses mengantarkan kader-kadernya ke gedung parlemen. Demikian pula tak ada garansi bagi parpol-parpol baru memetik prestasi cemerlang di kompetisi Pemilu.
Baca juga: Musibah Besar PPP tak Lolos Ambang Batas Pemilu 2024
Salah satu parpol yang gagal mengirimkan wakilnya ke Senayan, julukan populer untuk Gedung DPR RI yang berlokasi di Senayan, Jakarta, pada Pemilu 2024 adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kegagalan PPP lolos ke Senayan ini sungguh mengejutkan! Pasalnya parpol berlambang Kakbah ini salah satu parpol tertua di Indonesia. Usianya lebih dari setengah abad, tepatnya 51 tahun.
Ini untuk pertama kalinya PPP gagal ke Senayan sejak berpartisipasi pada Pemilu 1977.
PPP salah satu dari dua parpol yang merupakan warisan Orde Baru. Parpol lainnya adalah Golkar. Berbeda dengan nasib PPP, Golkar justru tampil cemerlang pada Pemilu 2024. Golkar sukses mempertahankan prestasinya selalu mengirimkan kader-kadernya ke Senayan sejak keikutsertaannya pada Pemilu 1971.
Berdasarkan hasil rekapitulasi nasional yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu (20/3/2024) malam perolehan suara PPP tidak mencapai ambang batas parlemen 4 persen, sehingga gagal lolos ke Senayan.
Berdasarkan hitungan secara manual ada 8 parpol yang meraih suara di atas 4 persen, sehingga dinyatakan lolos parlemen, sedangkan PPP dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tidak mencapai 4 persen.
Berdasarkan Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan bahwa syarat partai politik lolos parlemen adalah memenuhi ambang batas parlemen yakni minimal 4 persen suara nasional.
Pada Pemilu 2024 suara sah Pemilihan Legislatif (Pileg) secara nasional tercatat 151.796.630 yang berasal dari 84 daerah pemilihan (dapil).
Dihitung secara manual dari data yang telah diumumkan KPU, terdapat 8 partai politik yang meraih suara lebih dari 4 persen, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan NasDem.
Raihan suara PPP secara nasional yakni 5.878.777 suara atau setara dengan 3,87 persen dari suara sah nasional sebesar 151.796.630 suara.
PPP tidak terima dengan keputusan KPU tersebut. Partai yang berasaskan Islam ini mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di 18 provinsi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Sabtu (23/3/2024) malam.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Achmad Baidowi atau Awiek mengungkapkan, gugatan tersebut dilakukan lantaran terdapat suara PPP yang diduga hilang di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS), sehingga suara PPP dalam rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menembus angka 3,87 persen atau di bawah ambang batas.
“Gugatannya cukup banyak, ada di 18 provinsi. Kalau tidak salah ada sekitar 30-an daerah pemilihan (dapil),” ujar Awiek saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Sabtu (23/3) malam dikutip dari Antara.
Awiek menjelaskan gugatan PHPU didukung berbagai alat bukti yang menunjukkan suara PPP hilang di dapil-dapil tersebut, antara lain di Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Papua Tengah, serta Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Berbagai alat bukti dimaksud, kata dia, yakni terkait dengan data penghitungan internal PPP dibandingkan dengan hasil rekapitulasi suara KPU, berbagai bukti pemilu lainnya, serta peristiwa saat rekapitulasi suara.
Ia menuturkan, meski kehilangan suara PPP tidak banyak di setiap dapil, tetapi jika ditotal, kehilangan suara PPP mencapai lebih dari 200 ribu lantaran terjadi hampir di setiap dapil yang dilaporkan.
Dari berbagai dapil yang dilaporkan, Awiek menilai salah satu hasil suara dapil yang paling merugikan PPP, yakni di Papua Pegunungan.
“Bahkan tadi ada calegnya sendiri yang datang, dia membawa C1 dia sebanyak lebih dari lima ribu, tetapi pada hasil rekapitulasi nasional itu tertulis hanya 200 sekian suara, gitu,” ungkapnya.
Dia meyakini bahwa sebenarnya suara yang diraih PPP pada Pileg 2024 melebihi ambang batas parlemen, yakni di atas empat persen atau sekitar enam juta suara.
Namun, PPP harus menelan pil pahit, karena gugatannya tidak dikabulkan MK.
***
Nasib PPP yang tidak lolos ambang batas pada Pemilu 2024 membuat politikus senior PPP Zainut Tauhid Sa’adi prihatin. Mantan Wakil Ketua Umum DPP PPP itu menyebut hal ini merupakan musibah besar.
"Menurut saya hal ini merupakan musibah besar bagi seluruh kader dan simpatisan PPP yang selama ini setia dan istikamah (konsisten) memberikan kepercayaan kepada PPP sebagai wadah perjuangan dan penyalur aspirasi politiknya," tutur Zainut dikutip dari obsessionnews.com, Sabtu (15/6/2024).
Menurutnya, keterpurukan suara PPP adalah sebuah harga yang harus dibayar oleh para pimpinan dan elite partainya yang tidak memiliki kepekaan terhadap perasaan publik, hal itu tercermin dari ketidakmampuannya mengelola konflik internal partai dengan baik, bahkan sebagian dari elitenya memiliki kegemaran mempertontonkan konflik secara terbuka di depan publik.
Wajar jika publik memberikan hukuman dengan tidak memilih PPP di Pemilu 2024, karena muak melihat partai yang mengusung jargon agama tetapi hobinya sering berkonflik.
Zainut mengimbau kepada pimpinan, elite dan kader PPP di semua tingkatan menyampikan imbauan: Pertama, tidak saling menyalahkan dan mencari biang kerok dari keterpurukan PPP, apalagi melakukan tindakan destruktif yang justru dapat merusak citra PPP.
Kedua. segera melakukan konsolidasi organisasi, memperkuat tali silaturahmi, membangun persaudaraan untuk membangkitkan moral kader dan simpatisan PPP di tingkat _grassroot._
Ketiga, melakukan refleksi secara mendalam atas musibah ini agar dapat mencari solusi yang tepat untuk membangun kembali PPP di masa yang akan datang.
Keempat,. elite politiknya jangan memberikan pernyataan kontroversial, yang dapat mengundang polemik yang tidak produktif.
Kelima, kepada pimpinan dan elite PPP agar segera meminta maaf secara terbuka kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas tidak lolosnya PPP pada ambang batas Pemilu tahun 2024.
Akan lebih bijak jika permohonan maaf itu disertai dengan pernyataan pengunduran diri elite tertinggi partai dari jabatannya secara ikhlas dan legowo.
***
Tidak ada yang abadi di dunia ini. Demikian pula dengan kekuasaan. Kekuasaan itu nikmat, dan orang-orang yang berkuasa ingin terus berkuasa.
Contohnya Ir Soekarno alias Bung Karno yang mendapat kepercayaan menjadi Presiden pertama Republik Indonesia (RI) pada 1945. Dan dia berambisi menjadi presiden seumur hidup. Masa pemerintahan Bung Karno disebut Orde Lama (Orla).
Kekuasaan Orla tumbang pada 1966 sebagai buntut dari peristiwa G-30-S/PKI. Kekuasaan Bung Karno dipreteli oleh militer dengan aktor utamanya Jenderal Soeharto. Di tahun 1966 itu secara de jure Presiden RI masih tetap Bung Karno, namun secara de facto Soehartolah yang menjadi Presiden.
Pada 7 Maret 1967 dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut mandat yang diberikan kepada Bung Karno sebagai Presiden Indonesia, dan sekaligus juga mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi yang disandang Soekarno.
Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah sebagai Presiden Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
***
Pada 1971 digelar Pemilu yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemilu 1971 yang memperebutkan 360 kursi DPR itu diikuti 10 partai, yakni Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Golkar yang kelahirannya dibidani Soeharto dan tokoh-tokoh militer lainnya berhasil menjadi juara dengan meraih 236 kursi.
Partai NU memperoleh 58 kursi, Parmusi (24), PNI (20), PSII (10), Parkindo (7), Partai Katolik (3), dan PERTI (2). Sedangkan Murba dan IPKI gagal menempatkan kadernya di parlemen.
Tahun 1973 rezim Soeharto melakukan fusi atau penggabungan partai politik. Tanggal 5 Januari 1973 Partai NU, Parmusi, PSII, dan PERTI berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Lima hari kemudian, 10 Januari 1973, PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba, dan IPKI berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pada tahun 1977 digelar Pemilu yang diikuti tiga peserta, yakni PPP, PDI, dan Golkar. Pemerintahan Soeharto selanjutnya menggelar Pemilu lima tahun sekali, yakni 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam Pemilu-pemilu tersebut tetap diikuti PPP, PDI, dan Golkar.
Pemilu 1977 memperebutkan 360 kursi. PPP memperoleh 18.743.491 suara (29,29%) atau 99 kursi DPR, Golkar 39.750.096 suara (62,11%) atau 232 kursi, PDI 5.504.751 (8,60%) atau 29 kursi.
Pada Pemilu 1982 Golkar meraih 48.334.724 suara (64,34%) dan 242 kursi, PPP 20.871.880 suara (27,78%) atau 94 kursi, PDI 5.919.702 suara (7,88%) atau 24 kursi.
Pada Pemilu 1987 Golkar mendapat 62.783.680 suara (73,11%) ataau 299 kursi, PPP 13.701.428 (15,96%) atau 61 kursi, dan PDI memperoleh 9.384.708 suara (10,93 persen) atau 40 kursi.
Pada Pemilu 1992 Golkar memperoleh 66.599.331 suara (68,10 persen) atau 282 kursi, PPP 16.624.647 suara (17,00%) atau 62 kursi, dan PDI 14.565.556 suara (14,89%) atau 56 kursi.
Pada Pemilu 1997 Golkar memperoleh 84.187.907 suara (74,51%) atau 325 kursi, PPP 25.340.028 suara (22,43%) atau 89 kursi, PDI 3.463.225 suara (3,06%) atau 11 kursi.
Ini berarti selama enam kali Pemilu di era Orba Golkar selalu tampil jadi juara, dan memperkuat kedudukan Presiden Soeharto.
Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang akibat gelombang reformasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat. Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie pada 21 Mei 1998. Berakhirlah era Orba, digantikan era reformasi.
Selanjutnya Habibie membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan dan melakukan reformasi di berbagai bidang, termasuk reformasi politik. Pemerintahan Habibie mengizinkan berdirinya partai-partai baru, dan mempercepat pelaksanaan Pemilu dari semula pada tahun 2002 menjadi tahun 1999 .
***
Pemilu 1999, yang merupakan pemilu pertama di era reformasi, diikuti 48 peserta, dua di antaranya partai lama, yakni Golkar dan PPP. Banyak pengamat yang memprediksi Golkar dan PPP yang berbau Orba akan habis di Pemilu 1999. Namun, ternyata prediksi itu meleset jauh.
PDI Perjuangan (PDIP) menjadi juara I dengan memperoleh 35.689.073 suara (33,74%) atau 153 kursi. Golkar meraih juara II dengan memperoleh 23.741.749 suara (22,44%) atau 120 kursi. Dan PPP menduduki peringkat III dengan memperoleh 11.329.905 suara (10,71%,) atau 58 kursi.
Pada Pemilu 2004 yang diikuti 24 peserta PPP menduduki peringkat keempat. Perolehan suaranya turun menjadi 9.248.764 suara, dan tetap mendapat 58 kursi.
Pada Pemilu berikutnya, yakni Pemilu 2009, perolehan suara PPP kembali merosot, hanya memperoleh 5,533,214 suara 5.32%. Di pemilu ini PPP mendapat 38 kursi.
Pada Pemilu 2014 PPP menduduki peringkat kesembilan dengan memperoleh 8.157.488 suara (6,53%) atau 39 kursi.
Pada Pemilu 2019 PPP menempati posisi kesepuluh dengan memperoleh 6,323,147 suara (4.52%) atau 19 kursi.
Perolehan suara PPP pada Pemilu 2024 terjun bebas menjadi yang 5.878.777 suara (3.87%) seperti diumumkan KPU. PPP yang berada di posisi 9 dinyatakan tak lolos parlemen karena tak memenuhi ambang batas parlemen 4%.
Pemilu 2024 menyajikan pagelaran Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) secara bersamaan. Ada tiga pasangan capres-cawapres yang berkompetisi, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang bernomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD nomor urut 3.
Anies-Muhaimin diusung NasDem, PKS, dan PKB, serta didukung Partai Ummat.
Prabowo-Gibran diusung Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat.
Ganjar-Mahfud diusung PDIP dan PPP, serta didukung Perindo dan Hanura.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029.
Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.
“Hasil Pemilihan Umum secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu sampai dengan Diktum Kelima ditetapkan pada hari Rabu tanggal 20 bulan Maret tahun 2024 pukul 22.18.19 menit WIB,” kata Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari di Gedung KPU RI, Jakarta, Rabu (20/3/2024) malam, dikutip dari Antara..
Hasyim mengungkapkan, Prabowo-Gibran meraih 96.214.691 suara. Sementara itu pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memperoleh 40.971.906 suara, sedangkan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapatkan 27.040.878 suara.
Pemilu 2024 memang merupakan Pemilu yang terberat bagi PPP. PPP sendiri tidak lolos parlemen, dan capres-cawapres diusungnya kalah. Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.