Tragedi PPP, Bukan Prahara Biasa

Tragedi PPP, Bukan Prahara Biasa

Obsessionnews.com - Usia setengah abad bukan jaminan PPP piawai dalam percaturan politik di Tanah Air. Menandai usia 51 tahun, Partai Ka’bah harus menghadapi kenyataan pahit untuk kali pertama gagal tembus ke Senayan.

Problematika yang dialami PPP sejatinya pernah dialami partai-partai lain. Dari dualisme kepemimpinan, gagalnya kaderisasi, hingga ditinggal pemilih. Menjadi tidak biasa karena PPP tak mampu mengelola konflik untuk mengapitalisasikan suara.

Baca juga: PPP Jadi Partai Gurem, Sandiaga Minta Maaf

 

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli menyebutkan, petaka PPP sudah bisa dibaca berdasarkan hasil Pileg 2019. PPP hanya meraih 4,5 persen dengan 19 kursi di parlemen. Hal ini menandakan PPP sudah berada di pinggir jurang karena nyaris gagal ke parlemen.

“Mestinya hasil pemilu 2019 itu dijadikan bahan pelajaran untuk menghadapi pemilu 2024. Namun yang terjadi konflik internal sehingga terjadi perubahan kepemimpinan,” kata Romli, kepada Obsessionnews.com di Jakarta, Jumat (14/6/2024).

Secara raihan suara, PPP sudah mengalami tren penurunan sejak pemilu 2004 yakni terhempas dari tiga besar. Tren ini terus berlanjut hingga pada Pemilu 2014, PPP mendapatkan 39 kursi di DPR.

Sinyalemen PPP menjadi partai gurem, kata Romli, sudah muncul sejak jauh hari namun tidak bisa dikelola dengan baik karena partai mengalami banyak persoalan internal. Dalam situasi tersebut, figur pemimpin yang muncul tidak memiliki magnet memperkuat konstituen.

Dari situasi tersebut, bisa dibaca PPP yang sejatinya memiliki akar kuat tak mampu melakukan kaderisasi. Faktor ini menjadi penentu lantaran PPP juga menghadapi tantangan memiliki ceruk suara yang serupa dengan parpol-parpol Islam lainnya.

Posisi PPP semakin sulit karena dianggap salah menentukan rekan koalisi. Hal ini berimplikasi pada perbedaan pandangan dengan massa akar rumput yang lebih dekat dengan figur lain pada Pilpres 2024.

Situasi yang dihadapi PPP sekarang ini, kata Romli, harus menjadi pelajaran partai-partai lain. Alasannya, persoalan yang dialami PPP merupakan puncak dari persoalan klasik yang kerap dialami partai-partai di Indonesia, yakni tak mampu mengelola konflik.

Gagalnya PPP menempatkan wakil ke parlemen menandakan partai tersebut tak mendapatkan efek ekor jas ketika menjalin kerja sama dengan PDIP dan Hanura mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

“Faktor lain karena kesalahan dukungan koalisi antara elite dengan massa pendukungnya. Para pendukungnya bisa jadi kecewa,” kata Romli. (Erwin)