Naturalisasi atau Hanya Proyekisasi Timnas Sepak Bola?

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi/Pemerhati Sepak Bola(Sebuah catatan atas Kasus Pemain Naturalisasi Belanda) Pertama-tama izinkan kami minta maaf kepada seluruh pendukung (fans) Tim Nasional (Timnas) sepak bola Merah Putih yang sedang berbahagia atas beberapa capaian prestasi yang telah ditorehkan para pemain Garuda sejak ditangani pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-Yong (STY). Sejauh ini, tidak ada yang patut untuk disampaikan selain terima kasih atas dedikasi, semangat juang tanpa kenal menyerah kepada para punggawa Timnas Indonesia dan pelatih STY. Racikan strategi dan ketahanan stamina para pemain Indonesia semakin tampak dibenahi dengan baik oleh STY, termasuk bergabungnya beberapa pemain naturalisasi. Masih perlu ditunggu hasil, manfaat dan dampak jangka panjangnya untuk kemajuan sepak bola nasional dibawah kepemimpinan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Tohir. Apresiasi khusus dan kebanggaan luar biasa kami sampaikan kepada para punggawa Garuda Muda yang berhasil tampil memukau dan spartan sehingga mampu untuk pertama kalinya lolos ke babak perempat final Piala Asian Football Championship Usia di Bawah 23 (AFC-23) dan akan menghadapi Korea Selatan (negara asal pelatih STY) pada tanggal 26 April 2024. Dalam kompetisi AFC U-23 ini, sebenarnya sasaran (target) yang diberikan oleh PSSI telah tercapai. Artinya, kalau Timnas Indonesia U-23 kalah sekalipun dari Korea Selatan di babak perempat final tidak akan menjadi masalah bagi kinerja pemain dan pelatih STY, tapi tidak bagi publik pencinta sepak bola Timnas! Sebaliknya justru publik dikejutkan oleh kepulangan mendadak salah satu pemain kunci Timnas Indonesia U-23 yang berasal dari proses naturalisasi kembali ke klub asalnya di Belanda. Publik tentu saja tidak bisa menerima begitu saja sikap pemain tersebut di tengah harapan yang begitu tinggi akan prestasi sepak bola nasional di kancah Asia dan dunia. Jelas, kepulangan Nathan Tjoe-A-On ini membuat kecurigaan serius publik terkait nasionalisme para pemain naturalisasi yang akan berlaga di perempat final. Apalagi Erick Tohir sebagai Ketua Umum PSSI secara langsung melakukan pendekatan pengaruh (lobbying) dengan klub para pemain naturalisasi yang bergabung ke Timnas Indonesia, termasuk Nathan Tjoe-A-On ke klubnya, SC Heerenveen di Belanda, agar melepas pemainnya. Kasus ini jelas memunculkan pertanyaan kritis publik tidak saja terkait kewajaran proses naturalisasi dan komunikasi awal PSSI dengannya, namun juga motivasi dan semangat juangnya membela Timnas sampai tuntas. Bahkan PSSI melalui anggota Komite Eksekutif (Exco), Arya Sinulingga mengonfirmasi faktor penyebab Nathan Tjoe-A-On terpaksa meninggalkan Timnas Indonesia U-23 yang sedang berjuang di Piala Asia U-23 2024 hanya mendapatkan izin dari klubnya hanya sampai penyisihan grup. Meskipun akhirnya melalui desakan publik khususnya para pendukung Timnas di berbagai media sosial "memaksa" Erick Tohir berupaya mendatangkan kembali Nathan Tjoe-A-On untuk memperkuat Timnas di babak perempat final melawan Korea Selatan. Terlepas dari keberhasilan Ketum PSSI tersebut, tetap ada pertanyaan mengganjal dalam benak publik terkait proses naturalisasi para pemain sepak bola berdarah sebagian Indonesia yang berlaga di negara asing, terutama di benua Eropa. Bagaimanapun juga kepulangan pemain naturalisasi Nathan Tjoe-A-On ini merupakan sebuah preseden buruk atas proses dan mekanisme naturalisasi yang telah dijalankan oleh PSSI. Apakah proses naturalisasi para pemain yang sebagian berdarah Indonesia itu telah sesuai dengan konstitusi atau peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan. Jika proses naturalisasi kewarganegaraan Indonesia telah beres semua persyaratannya seharusnya Nathan Tjoe A-On tidak bisa kembali ke klubnya semudah bepergian ke suatu tempat dan meninggalkan gelanggang perjuangan di Piala Asia U-23 dalam membela tim tanah airnya begitu saja. Dan atas kejadian itu sangat beralasan publik secara luas mempertanyakan motivasi naturalisasinya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apalagi banyak bakat para pemain klub nasional yang "diremehkan" atau terpinggirkan hanya untuk kepentingan naturalisasi. Keraguan atas nasionalisme sang pemain naturalisasi (meskipun awalnya diizinkan sampai penyisihan) adalah sangat wajar karena lebih memilih klubnya ketimbang dengan tekad yang kuat membela Timnas sampai meraih gelar juara Piala Asia U-23 untuk pertama kalinya. Selain itu, proses naturalisasi bisa dianggap publik hanya dijadikan ajang tujuan pemenuhan capaian sasaran (target) PSSI yang dibebankan kepada pelatih STY. Justifikasi telah berhasil lolos ke babak perempat final Piala Asia U-23 adalah sebuah kinerja prestatif mungkin tidak salah, namun tetap meninggalkan kesan sebuah proyekisasi Timnas. Dan tentu saja nasionalisme para pemain naturalisasi ini akan lebih meyakinkan publik apabila mereka terus berjuang membela Timnas sampai prestasi puncak ketimbang memilih membela klub di negara asalnya. Oleh karena itu terdapat dua aspek yang perlu menjadi perhatian pemerintah terkait naturalisasi para pemain sepak bola ini, yaitu pertama, apakah cara Erick Tohir melakukan lobbying sebuah proses naturalisasi yang konstitusional jika mengambil pelajaran atas kasus yang dulu dihadapi oleh Arcandra Tahar saat ditunjuk menjadi Menteri ESDM? Yang kedua, apakah benar bergabungnya para pemain naturalisasi ke Timnas Indonesia itu hanya untuk sekedar mengejar sasaran prestasi semata atau sebuah proyek sementara (proyekisasi) tanpa pembiayaan dalam jumlah besar? Maka atas kasus Nathan Tjoe-A-On itu sangat beralasan pencinta sepak bola di tanah air meragukan nasionalisme para pemain naturalisasi itu (walaupun secara verbal tampak nasionalis) atas upaya lobbying yang telah dilakukan Erick Tohir dan kepulangan tiba-tiba seorang pemain naturalisasi ke klub asalnya di Belanda mengindikasikan juga ada faktor ekonomi yang membuatnya kembali bergabung. Tanpa mengurangi penghargaan atas upaya pelatih STY yang telah berhasil mengantarkan sasaran (target) PSSI sejumlah tiga kali, di antaranya dua kali dalam ajang Piala Asia dan juara SEA Games 2023, maka proses naturalisasi para pemain perlu dibenahi. Jangan sampai proses naturalisasi hanya sekadar jadi ajang proyekisasi bernilai ekonomi atau finansial temporer untuk tujuan citra periodik kepengurusan PSSI serta sasaran popularitas pemain naturalisasi semata tapi mengabaikan semangat nasionalisme mereka. Atau hanya untuk mengejar prestasi melalui tawaran insentif dan kompensasi dari PSSI lalu melupakan tekad kuat mengejar sasaran (target) yang lebih tinggi di luar ketetapan PSSI. Begitu pula halnya dengan pelatih STY, dengan kapasitasnya akan mampu mencapai sasaran (target) lebih tinggi untuk meninggalkan warisan (legacy) bagi Timnas Indonesia. Last but not least, selamat berjuang meraih kemenangan anak-anak Garuda Muda, kami bangga atas apa yang telah diraih demi bangsa dan negara serta mendukung penuh Timnas menggapai prestasi juara Piala Asia U-23 tahun 2024 dengan atau tanpa pemain naturalisasi! Kami yakin, para pemain Timnas Garuda Muda punya semangat juang yang tinggi membela nama baik dan prestasi tertinggi Timnas sebagaimana halnya para pendiri bangsa (founding father) dulu berjuang menegakkan NKRI ini. Semangat ini jugalah yang selalu dikumandangkan oleh Presiden Republik Indonesia terpilih Prabowo Subianto kepada generasi muda penerus cita-cita bangsa, berjuang tanpa kenal menyerah, bukan hanya karena alasan faktor ekonomi atau semata-mata uang. Bravo Timnas Garuda Muda Indonesia, doa kami agar kalian membuat sejarah bisa merebut juara demi nama baik serta kebanggaan rakyat, bangsa dan negara tercinta! []