AH Nasution: Tuhan Maha Besar! Tuhan Masih Melindungi Saya

JENDERAL Abdul Haris (AH) Nasution di era kepemimpinan Presiden Soekarno antara lain pernah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) periode 1955-1962, dan Menteri Pertahanan dan Keamanan (1959-1966). AH Nasution salah seorang perwira tinggi TNI AD yang anti PKI. Nasution berperanan besar memimpin operasi penumpasan gerakan PKI di Madiun tahun 1948. Baca juga:Jenderal Besar TNI DR AH Nasution “Sang Penyelamat NKRI”Mengenang 101 Tahun Jenderal Besar A.H. Nasution Pada Jumat pagi hari 1 Oktober 1965 pasukan yang menyebut dirinya Gerakan 30 September (G30S) melancarkan aksi menculik dan membunuh jenderal-jenderal TNI AD yang anti PKI dan dituding akan melakukan makar terhadap Soekarno. Enam jenderal yang diculik dan dibunuh, yaitu Ahmad Yani, Raden Soeprapto, Mas Tirtodarmo Haryono, Siswondo Parman, Donald Isaac Panjaitan, dan Sutoyo Siswodiharjo. Seorang perwira pertama TNI AD, yakni Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, juga dibunuh.
Nasution juga termasuk yang menjadi sasaran utama penculikan kelompok G30S. Letnan Doel Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat yang sepi pada pukul 4 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat kendaraan yang datang, tetapi setelah melihat orang-orang itu adalah tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu. Iskaq berada di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di antaranya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang rumah. Dalam sebuah pondok yang terpisah dua ajudan Nasution sedang tidur, yakni seorang letnan muda bernama Pierre Tendean dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur. Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Doel Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Yang lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya, Johanna Sunarti, terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai, tetapi Johanna mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur. Ia melihat tentara Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting serta mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur. Sunarti mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju ke dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya, tetapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi. Dia tidak dikejar. Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Halaman selanjutnyaAde Irma Suryani Tertembak Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani, dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman.
Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Ade tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Sementara itu putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah (Yanti), yang berusia 13 tahun, dan perawatnya, Alfiah, sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur. Pierre Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tetapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Sunarti lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka. Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu di mana keberadaan Nasution. Kabarnya Johanna melakukan percakapan singkat sambil marah-marah pada Letnan Doel Arief. Johanna mengatakan Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini. Pasukan itu kemudian pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean. Sunarti membawa Ade putrinya yang terluka ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Sementara itu Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06.00 WIB. Ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Halaman selanjutnyaPeringatan Almarhum Mertua Nasution Dalam buku DR. A. H. Nasution Memenuhi Panggilan Tugas yang terbit tahun 1987, Nasution menceritakan ia tidak mempunyai firasat akan terjadinya musibah tanggal 1 Oktober 1965 itu. “Namun ada pada istri saya berupa peringatan almarhum mertua saya dalam mimpinya tentang kewaspadaan terhadap sesuatu,” tulis Nasution. Kemudian ia dan istrinya mendengar hal-hal yang sama pada orang-orang lain. “Seorang teman dekat, kalau tidak salah Nyonya Sajiman, telah melihat bahwa istri saya mengantarkan Ade pergi dalam pakaian putih bersih,” tulis Nasution. Ia mengungkapkan pada bulan-bulan terakhir Ade memang agak lain dari biasanya. Ini kesimpulan Nasution dalam renungan kemudian. Kalau Nasution sembahyang Ade suka memandangi dirinya. “Kalau sudah selesai, ia suka meminjam sajadah saya dan ia sembahyang mencontoh saya. Jika ada minuman saya di meja, ia suka meminta meminumnya,” tulisnya. Di kamar tidur Nasution terdapat kursi malas, terbentang di ujung kursi tempat tidur. Kalau dia malam-malam membaca di kursi malas itu, Ade tidur mendekat ke tempat kursi malas itu. Halaman selanjutnya Menurut Nasution, Ade tertarik kepada tentara. Setelah Ade berkali-kali meminta, maka Nasution memberikan seragam Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat) kepadanya dengan pangkat kopral (kelak seragam itu digantung di museum Yani dan di museum taruna Akabri). Ade selalu tertarik kepada bintang-bintang yang dimiliki ayahnya, yang dewasa itu ada lebih kurang 30 buah. Ia ingin memakainya. Kamis sore 30 September 1965 Nasution membereskan kamar kerja di rumah. Tanda mata yang baru dibawanya dari Polandia sedang berceceran. Sebagian barang-barang dari kamar kerja dipindah ke belakang. “Ade sibuk sekali membantu saya dan mulutnya terus saja ngomong, ada saja pertanyaannya, maklumlah anak usia lima setengah tahun. Kemudian saya dengar bahwa pada sore itu ia minta dimandikan oleh koki kami dan supaya disabuni dan dibersihkan dengan sungguh-sungguh,” tulis Nasution. Ia mengemukakan, jika merenungkan kejadian 1 Oktober 1965, maka dia sering berpikir , kalau dia diajak bicara oleh Cakrabirawa, seperti Jenderal Yani, kemudian ditembak, maka nasibnya kurang lebih sama. “Tuhan masih melindungi saya dengan cara Cakrabirawa yang terus menembak dan dengan cara istri saya yang terus mengunci pintu, menahan pintu dengan badannya, pintu sedang ditembaki. Memang Tuhan Maha Besar, pelor-pelor Cakrabirawa yang ditembakkan dari depan pintu persis mengelilingi tubuhnya, hanya ada rambut yang terputus dan ada goresan di dalamnya oleh peluru yang menyerempet badannya. Tuhan Maha Besar!” tulis Nasution. Di buku DR. A. H. Nasution Memenuhi Panggilan Tugas Nasution juga menyinggung intuisi wanita lebih tajam daripada intuisi laki-laki. “Intuisi wanita lebih tajam daripada intuisi laki-laki. Begitu pula ketika saya telah di atas tembok, untuk melompat ke pekarangan Kedutaan Irak, sambil ditembaki dari Jalan Teuku Umar. Saya memandang ke belakang dan melihat Ade digendong oleh Mardiyah, badannya berlumuran darah, intuisi istri saya tepat. Saya ragu-ragu untuk terus lari, naluri saya menyuruh saya untuk kembali ke anak saya dan membelanya. Tapi Sunarti tegas-tegas menyuruh saya pergi, karena katanya:”Mereka datang untuk membunuh kamu dan kamu perlu berjuang terus,” tulis Nasution. (Arif Rahman Hakim)

