Ini Film Kampanye LGBT yang Ditolak Publik!

Ini Film Kampanye LGBT yang Ditolak Publik!
Film "Kucumbu Tubuh Indahku" yang disnilai sebagai 'kampanye LGBT' dan trauma tubuh yang menuai kontroversi, ditolak oleh publik. Film “Kucumbu Tubuh Indahku” garapan sutradara kawakan Garin Nugroho ditolak penayangannya di beberapa daerah karena dianggap "mengkampanyekan LGBT". Meski film bertema gender ini menbedah lebih dalam tentang trauma tubuh dan feminitas-maskulinitas dalam tubuh penari. Respons terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop-bioskop Indonesia rupanya tak seperti saat film tayang di berbagai festival di luar negeri. Alih-alih mendapatkan pujian, seperti ketika film ini meraih penghargaan Asia Pacific Screen Awards, film ini malah mendapat kecaman hingga petisi online pemboikotan. Film yang menampilkan peleburan maskulin dan feminin dalam tubuh karakter utamanya dianggap mengangkat budaya LGBT secara berlebihan. Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa kota langsung melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di Padang. Meski kebanyakan dari mereka belum menonton film ini, mereka sepemahaman, bahwa film ini dipandang "mengandung unsur LGBT yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan merusak generasi muda." [caption id="attachment_281646" align="alignnone" width="640"] Garin Nugroho berharap filmnya dapat mengungkap trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari. (BBC)[/caption]   Adegan 'penyimpangan seksual' Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menganggap pemutaran film ini berdampak pada keresahan masyarakat karena adegan penyimpangan seksual yang ditayangkan di film tersebut dapat mempengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat, terutama generasi muda. "Terutama dalam kaitannya adanya perilaku seks menyimpang, yang itu tentu rentan dan dikhawatirkan akan menjadi suatu pembenaran bagi generasi muda yang tidak memahami," ujar Muda seperti dilansir BBC News Indonesia, Rabu (15/5/2019). Padahal, Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan film ini lolos sensor. Ketua LSF Ahmad Yani Basuki beralasan meloloskan film ini karena dianggap mengandung nilai edukasi. Sutradara Garin Nugroho mengatakan bertubi-tubinya pelarangan penayangan yang ditujukan terhadap filmnya dari berbagai pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sejumlah daerah menunjukkan "kemerosotan terhadap penghormatan cultural diversity dan demokratisasi." "Jadi sebenarnya saya adalah korban dari apa yang disebut dengan demokratisasi dari massa yang banal," kilah Garin. [caption id="attachment_281640" align="alignnone" width="640"] Garin Nugroho. (BBC)[/caption] Selain itu, menurut Garin, menjamurnya politik identitas membuat semua kelompok, baik kaum mayoritas maupun minoritas, mulai sangat radikal. "Kucumbu terperangkap di tengah era dari apa yang disebut dengan politik identitas itu sendiri." Sayangnya, sebelum pelarangan penayangan, Garin menuturkan dirinya tidak pernah diajak dialog oleh para pemimpin daerah dan pemuka agama yang melarang filmnya. Padahal, menurut Garin, daftar panjang film-film bertema gender dan seksualitas ada dalam sejarah perfilman Indonesia. Seperti film Akulah Vivian dan Istana Kecantikan di tahun 80-an, disusul karya-karya baru yang muncul kemudian, banyak yang mengulas LGBT. Sehingga, lanjutnya,  dalam perspektif sejarah pun mengagetkan reaksi publik sekarang jauh lebih merosot dibanding apa yang disebut kematangan penonton sebelumnya. Ben Murtagh, dosen di School of Oriental and African Studies, Inggris dalam bukunya "Gender and Sexualities in Indonesian Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen" bahkan mencatat gay, lesbian dan waria sudah meramaikan layar lebar Indonesia sejak tahun 70-an. Kehadiran mereka dalam dunia film, tak banyak menuai protes seperti sekarang. Istana Kecantikan yang ditayangkan tahun 1988 dianggap sebagai salah satu film yang paling sering dirujuk ketika membahas soal penggambaran gay di sinema Indonesia. Film yang dibintangi aktor Mathias Muchus ini juga menjadi film Indonesia pertama yang menyebut kata "gay" dalam dialognya. (BBC/RED)