Sabtu, 27 April 24

Pelayanan Buruk, Buruh Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Pelayanan Buruk, Buruh Tolak Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
* Muhammad Sidarta. Korlap Nasional FSP LEM SPSI

Jakarta, Obsessionnews – Para pekerja atau buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja (FSP) Logam, Elektronik dan Mesin (LEM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menilai pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan buruk. Oleh karena itu mereka menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelum ada perbaikan pelayanan yang prima.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) FSP LEM SPSI Arif Minardi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Idrus, dan Koordinator Lapangan (Korlap) Nasional Muhammad Sidarta menyatakan hal itu dalam siaran pers yang diterima Obsessionnews.com, Jumat (29/4/2016).  Tuntutan perbaikan pelayanan BPJS Kesehatan tersebut merupakan salah satu tuntutan yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait May Day atau Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2016. Dalam May Day 2016  FSP LEM SPSI mengusung tema “Berjuang Untuk Rakyat, Lawan Regulasi Yang Tidak Pro Rakyat”. (Baca Juga: Buruh Tuntut Jokowi Realisasikan Janji Kampanye Pilpres 2014)

FSP LEM SPSI mengungkapkan, Jokowi harus segera mengatasi buruknya pelayanan BPJS Kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum buruh yang berjumlah 40 juta beserta keluarganya, yang terus membayar iuran tiap tahun naik secara otomatis dengan memotong iuran sebesar 5% dari upah setiap buruh.

Peserta BPJS Kesehatan merasakan pelayanan buruk sejak di fasilitas kesehatan (faskes) I yang tidak bermutu. Ketika mendapat rujukan pun peserta BPJS Kesehatan mendapat pelayanan yang mengecewakan. Di antaranya sering mendapat alasan ruangan rumah sakit penuh, tidak ada dokter, obat tidak tersedia, kartu BPJS Kesehatan tidak bisa digunakan lintas daerah sebagaimana prinsip Sistim Jamiman Sosial nasional, yakni prinsip portabilitas.

Seharusnya peserta bisa menggunakan kartu BPJS di seluruh wilayah Indonesia, seperti halnya menggunakan kartu ATM yang bisa digunakan di seluruh wilayah dan lain sebagainya. Akibat buruknya pelayanan kesehatan, tak sedikit  peserta BPJS menjadi korban dari masalah tersebut.

Dengan kondisi tersebut di atas banyak perusahaan dan buruh terpaksa membayar dua  skema jaminan kesehatan, yakni BPJS Kesehatan dan asuransi lain, untuk menghindari turunnya produktivitas akibat gangguan kesehatan buruh.

Karena buruknya pelayanan BPJS Kesehatan pada faskes I dan rumah sakit, perusahaan dan buruh tidak mengambil pelayanan BPJS Kesehatan dan terpaksa ke tempat lain. Dengan demikian iuran perusahaan dan kaum buruh menjadi sia-sia dan merupakan pemborosan.

FSP LEM SPSI juga menolak iuran BPJS Kesehatan mulai 1 April 2016, walau pengelola BPJS Kesehatan mengklaim mengalami kerugian sekitar  Rp 6 triliun rupiah. Alasan penolakan  tersebut adalah: Pertama, kenaikan iuran tidak pernah disosialisasikan langsung dan organisasi buruh tidak dilibatkan dalam rencana iuran BPJS Kesehatan tersebut.

Kedua, iuran berdasarkan perhitungan jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa, dan kewajiban seluruh warga negara membayar iuran BPJS Kesehatan adalah tahun 2019, sehingga sampai tahun 2019 akan terjadi defisit.

Ketiga, tidak ada roadmap/peta jalan tentang defisit yang akan terjadi sampai 2019, siapa yang harus menalangi defisit tersebut.

Keempat, seharusnya negara yang menalangi defisit BPJS Kesehatan sampai tahun 2019, tidak dibebankan kepada seluruh rakyat.

Kelima, warga masyarakat belum mau menjadi peserta BPJS Kesehatan, karena pelayanannya masih sangat buruk.

Keenam, buruknya pelayanan BPJS Kesehatan memaksa banyak perusahaan dan kaum buruh menggunakan asuransi kesehatan lain (pembayaran ganda). BPJS Kesehatan tidak pernah digunakan, sehingga iuran perusahaan dan kaum buruh  menjadi sia-sia dan merupakan pemborosan.

Ketujuh, ada disparitas biaya pengobatan antara standar yang diberlakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan biaya faktual di lapangan (rumah sakit).

Kedelapan, pemerintah belum berhasil dalam menerapkan standar biaya pengobatan penyakit, sehingga ada rumah sakit dan dokter yang merasa dibayar terlalu kecil oleh BPJS Kesehatan.

Kesembilan, sebagian besar rumah sakit di Indonesia dijadikan lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan dari warga masyarakat yang terkena musibah. Seharusnya pendirian rumah sakit berbentuk nirlaba, yang berorentasi sosial untuk menolong warga masyarakat, bukan hanya mengambil keuntungan semata. Pemerintah harus bertanggung jawab untuk segera membenahinya.

Kesepuluh, lemahnya pengawasan pemerintah, harga obat yang masih bisa dipermainkan oleh produsen yang bekerja sama dengan oknom dokter. Obat yang seharusnya sudah generik, kenyataannya dijual dengan harga obat paten.

Kesebelas, biaya kuliah kedokteran sangat mahal yang membuat biaya kesehatan juga tinggi. Biaya kuliah kedokteran harus mendapat subsidi pemerintah agar biaya kesehatan menjadi murah dan berkualitas.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut FSP LEM SPSI menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelum ada perbaikan pelayanan BPJS Kesehatan yang prima, dan menuntut pemerintah segera memperbaiki pelayanan BPJS Kesehatan. Kalau tidak bisa diperbaiki lebih baik dibubarkan saja atau baikot iuran BPJS Kesehatan. (arh, @arif_rhakim)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.