
Jakarta, Obsessionnews.com – Berjuang menuntut keadilan hingga titik darah penghabisan, itu yang dilakukan Patmi, petani pegenungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Jateng). Ia bersama sejumlah warga memprotes pendirian pabrik semen di Kendeng. Mbok Patmi, begitu ia biasa dipanggil, bersama beberapa warga menyemen kakinya sebagai protes terhadap pendirian pabrik semen yang dinilai merusak lingkungan hidup.
Para petani Kendeng melakukan aksi menyemen kaki sejak Senin (13/3/2017). Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki sudah menemui perwakilan petani untuk berdialog, Senin (20/3).
Usai pertemuan, disepakati ada petani yang tetap melanjutkan aksi semen kaki, ada pula yang pulang ke Jateng.
Berdasarkan siaran pers dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI), Patmi merupakan salah satu petani yang memilih untuk pulang kampung. Cor semen yang membungkus kakinya pun dilepas.
“Bu Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang lebih pukul 02.30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setelah mandi, bu Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah,” kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangannya, Selasa (21/3).
Dokter yang mendampingi dan bertugas di LBH segera membawa Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal dunia.
“Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji’un,” ujar Isnur.

Untuk mengenang perjuangan Patmi, penyair Chavchay Syaifullah membuat puisi berjudul Mbok Patmi, Kepergianmu Tak Sia-sia! Chavchay adalah sarjana sastra lulusan dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Banten (DKB) dan Ketua Departemen Seni dan Budaya Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi). Berikut ini puisi karyanya yang diterima Obsessionnews.com, Kamis (23/3):
MBOK PATMI, KEPERGIANMU TAK SIA-SIA!
Oleh: Chavchay Syaifullah
manusia adalah pejalan setia menuju kematian
maka tak ada manusia hidup abadi di negeri semen ini
di pegunungan di pesisir di desa di kota
kematian tidak pernah memilih tempat
manusia hanya bisa memilih jalan kematiannya
ada yang memilih jalan hina
ada pula yang memilih jalan ksatria
pejalan setia di jalan-jalan panjang perjuangan
ia tahu cara memilih jalan matinya
ia tahu tak perlu ada yang ditinggal kecuali amal bakti
pejalan setia adalah manusia yang senyum
menghadapi kematiannya
mbok patmi, rabu petang kau sapa anak dan cucumu
kau pamit menuju jakarta
dari pegunungan kendeng kau turun menuju ibukota
kau perhatikan petak-petak sawah yang ketakutan
gunung yang cantik berbedak kapur
yang menyimpan barang tambang buruan
kau intip dari hari ke hari
kau pertaruhkan di meja-meja hakim
korporasi tambang dan pabrik semen
hasil riset para oknum kampus
surat izin berdarah dari gubernur
preman-preman bayaran pembakar rumah dan mushala
aih, dirimu tetap berdiri
berjalan kaki dari desa ke kota dari waktu batu ke batu waktu
rabu petang, kepada sri utami, putrimu, kau berbisik:
“aku pergi demi anak dan cucu, demi tanah air ini!”
lalu kau dekati putramu, daiman,
kau ingatkan sawah harus dijaga agar tidak puso
agar kendeng tetap lestari
agar desa tidak berubah menjadi pabrik semen
lalu kau berjalan pelan sambil memberi kecupan pada cucumu
semua hening
mungkin termasuk suamimu, rosad,
yang sehari sebelumnya telah pergi kerja ke sumatera
ikut merasakan hening
kamis pagi di jakarta
kau sapa semua manusia yang kau jumpai
dengan senyum perjuangan
lalu kau duduk berbaris
bersama petani-petani perempuan berjiwa ksatria
kau ikhlaskan kedua kakimu masuk ke dalam papan kotak
kau ikhlaskan kedua kakimu dicor semen
mbok patmi, negeri ini punya siapa?
negeri ini negeri apa?
ketika sawah harus dibayar nyawa demi semen
ketika pribumi harus mati demi padi
masihkah pantas murid-murid di sekolah
menghafal indonesia sebagai negeri agraris?
mbok patmi, 48 tahun usiamu
selasa dini hari pukul 02.55
21 maret 2017 kau pamit ke surga
setelah 5 hari kedua kakimu dalam papan kotak
setelah 5 hari kedua kakimu dicor semen
akhirnya kau tahu cara terbaik menuju kematian
kau mandikan jasadmu sendiri
agar suci dari najis
agar bersih dari omong kosong penguasa
jantungmu pun berdetak cepat
agar cepat kau sampai di surga
mbok patmi, tak pernah ada yang sia-sia
dari kematian seorang pejuang
sebab sesungguhnya pejuang selalu hidup
dalam setiap perjuangan
selamat jalan, pejuang!
selamat jalan, pejalan setia!
Banten, 23 Maret 2017.
(arh)