
Jakarta, obsessionnews.com – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Aturan ini dimuat dalam Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditandatangani oleh Nadiem pada 3 September 2021.
Baca juga:
Berpotensi Melegalkan Perbuatan Zina, Hasan Basri Kririk Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
Permendikbudristek Legalkan Zina?
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) megeluarkan pernyataan sikap yang ditandatangani Koordinator Presidium Ir. H. Ahmad Riza Patria, MBA dan Sekretaris Jenderal Drs. Manimbang Kahariady, Jumat (12/11/2021).
Majelis Nasional KAHMI pada hakikatnya menyambut baik ikhtiar pemerintah (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi/Kemendikbud Ristek Dikti) yang berinisiatif untuk mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi sebagaimana dituangkan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Dalam kaitan ini Majelis Nasional KAHMI ikut merasa prihatin dengan banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus/perguruan tinggi, mengingat kampus/perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang di dalamnya ditegakkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi moralitas dalam kerangka iman dan taqwa (sebagai manifestasi implementasi nilai-nilai agama dan Pancasila). Sehingga dengan demikian lingkungan perguruan tinggi harus merupakan lingkungan yang kondusif dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Banyaknya pelecehan dan tindakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi bagaimanapun menuntut adanya aturan yang komprehensif dan langkahlangkah antisipasi secara efektif yang melibatkan segenap civitas academica di lingkungan kampus/perguruan tinggi. Dalam kerangka itulah Majelis Nasional KAHMI mengajak segenap masyarakat pada umumnya maupun segenap pihak yang berada di lingkungan kampus/perguruan tinggi (termasuk di dalamnya keluarga besar HMI/KAHMI) untuk proaktif dalam mencegah terjadinya pelecehan dan tindakan kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus/perguruan tinggi dan di manapun.
Majelis Nasional KAHMI berpandangan, bahwa pelecehan dan kekerasan seksual serta tindakan asusila di mana pun, termasuk yang dilakukan di lingkungan kampus/perguruan tinggi merupakan perbuatan nista yang tidak sekadar bertentangan dengan nilai-nilai moral keagamaan dan nilai-nilai moral Pancasila yang telah menjadi norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tetapi juga merupakan tindakan/perbuatan melawan hukum, di mana pelaku yang terlibat dalam aksi pelecehan atau tindak kekerasan seksual harus diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan harus dikenai sanksi yang tegas dan adil. Sementara pihak yang menjadi korban harus mendapat perlindungan hukum dan pemulihan psikologis/psikis, demi menjaga harkat dan martabat korban.
Namun demikian menilik substansi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, maka Majelis Nasional KAHMI sebagai ormas yang menjunjung tinggi nilai-nilai Keislaman dan Keindonesiaan, perlu menyampaikan pandangan kritis sebagai koreksi konseptual, agar niat dan maksud baik dalam mencegah dan meniadakan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus/perguruan tinggi, tidak justru kontraproduktif dalam praktiknya.
Dalam konteks inilah perlu ditekankan bahwa idealnya sebuah peraturan, dalam konteks ini Permendikbud: (a) Memuat konsep-konsep yang jelas dan tidak multitafsir, sehingga tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang justru menafsirkan ketentuan yang ada untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji atau tindak kejahatan. Ketentuan-ketentuan yang bermasalah;
(b) Mengedepankan pertimbangan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat;
(c) Sejalan dengan itu, menghindari pertimbangan nilai-nilai liberal yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat;
(d) Memperkuat aturan yang sudah ada yang telah diterapkan di kampuskampus/perguruan tinggi (bukan juastru memperlemahnya), sehingga ada sinergisitas dalam implementasinya sehingga lebih efektif;
(e) Selain itu sebuah peraturan yang dikeluarkan dalam kerangka pendidikan tinggi seharusnya juga menerapkan asas keterbukaan dalam proses pembentukannya, tertib muatan dalam pengertian sesuai dengan kewenangan pembuatnya, serta tetap dalam kerangka menghormati dan menjaga kewibawaan kampus yang memiliki otonomi kelembagaan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2021 tentang Pendidikan Tinggi.
Terkait dengan hal tersebut, setelah melakukan kajian yangmendalam dan analitis terhadap Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, maka Majelis Nasional KAHMI menemukan kejanggalan-kejanggalan yang perlu dikritisi berupa:
(a) Adanya ketentuan yang secara konsepsional bertentangan dengan pertimbangan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat;
(b) Mengemukanya pertimbangan nilai-nilai liberal yang bertentangan dengan nilainilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.
(c) Tidak diterapkannya asas keterbukaan dalam proses pembentukannya. Tidak tertib muatan, serta tidak mempertimbangkan kerangka otonomi kelembagaan perguruan tinggi.
Kejanggalan-kejanggalan dalam ketentuan yang ada dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut berpotensi kontraproduktif dalam 4 penafsiran dan praktik kebijakannya di lapangan, sehingga niat dan tujuan mulia pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, tidak dapat tercapai secara efektif.
Kejanggalan tersebut mengemuka dalam ketentuan yang bermasalah secara konseptual dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yakni yang terkait dengan definisi kekerasan seksual (Pasal 1) dan dalam Pasal 5 dipertegas kembali dengan adanya frasa “persetujuan” yang justru dapat ditafsirkan bahwa aktivitas seksual yang dilakukan atas persetujuan korban tidak dianggap kekerasan seksual. Ketentuan ini berpotensi dapat melegalkan seks bebas atau perzinaan, bahkan juga berpotensi melegalkan perilaku penyimpangan seksual LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) yang tidak saja nertolak belakang dengan nilai-nilai agama dan Pancasila, tetapi merupakan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Paradigma seks bebas yang berbasis persetujuan (sexual-consent) memandang bahwa standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual bukan nilai-nilai dan ajaran agama, tapi persetujuan dari para pihak. Bahwa, selama tidak ada pemaksaan, telah berusia dewasa, dan ada persetujuan, maka aktivitas seksual diperbolehkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah. Paradigma yang lazim mengemuka di negaranegara liberal ini bertentangan dengan paradigma kehidupan sosial Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi nilainilai agama. Mengingkari nilai-nilai agama identik dengan mengingkari jatidiri bangsa yang bermartabat.
Setelah melakukan kajian mendalam dan dengan mempertimbangkan pula hasil Ijtima Ulama yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11 November 2021 dan pernyataan sikap ormas-ormas Islam sebelumnya, maka Majelis Nasional KAHMI :
(a) Meminta kepada pemerintah agar mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi, merevisi Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
(b) Manakala Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tersebut direvisi, maka harus dilakukan dengan mempertimbangkan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai Pancasila, dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat; memperkuat aturan yang sudah ada yang telah diterapkan di kampuskampus/perguruan tinggi sehingga ada sinergisitas dalam implementasinya sehingga lebih efektif; serta menerapkan asas keterbukaan dalam proses revisi, sehingga tertib muatannya proporsional, serta tetap dalam kerangka menghormati otonomi kelembagaan perguruan tinggi. (arh)