
Jika Tak Beres, Hapus 17,5 Juta Daftar Pemilih Bermasalah!
Jakarta, Obsessionnews.com – Ternyata, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai biang penyebab Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah. Bukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ini terungkap dalam Diskusi Publik ‘DPT Bermasalah: Ancamam Legitimasi Pilpres’ yang digelar Selasa (2/4/2019), di kantor Seknas Prabowo-Sandi, Jl. HOS Cokroaminoto No. 93 Menteng, Jakarta Pusat.
Tampil sebagai nara sumber adalah Koordinator Barisan Masyarakat Peduli Pemilu Adil dan Bersih (BMPPAB) Dr Marwan Batubara, Dirjen Dukcapil Kemendagri Prof Dr H Zudan Arif Fakrulloh SH MH, Presidium Asosiasi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (APTSI) Dr H Adhyaksa Dault SH Msi yang juga Panglima Relawan Prabowo-Sandi, Pendiri dan Ketua Habib Rizieq Syihab (HRS) Center, Dr H Abdul Chair Ramadhan SH MH, dengan moderator wartawan senior yang juga mantan Anggota DPR RI Ramadhan Pohan. KPU dan Bawaslu diundang panitia diskusi ini, tapi keduanya tidak hadir.
Dalam diskusi yang banyak dihadiri aktivis, LSM dan wartawan ini, Adhyaksa Dault mengaku miris, waktu pemilu sudah mepet, tapi hari ini DPT bermasalah masih dirapatkan KPU. “Miris… 17,5 juta DPT bermasalah masih dirapatkan di KPU. Ini 9 persen dari jumlah DPT Pemilu 2019 sebanyak 192 juta pemilih. KPU yang tidak jujur, bukan Dukcapil. KPU jangan lempar tangan! Tugas Dukcapil sudah selesai begitu memberikan DP4 kepada KPU,” bongkarnya.
Dengan tegas Adhyaksa menuding KPU adalah penyebab DPT bermasalah. Ini akibat KPU ‘sok pinter’ sehingga tidak mereferensi data pemilih yang sudah diserahkan Dukcapil kepada KPU. “Permasalahannya, KPU tidak mau mengambil data utuh dari Dukcapil. Tapi cuma mengambil pemilih muda dan pensiunan TNI/Polri, yang lainnya KPU pakai DPT lama. Dukcapil datanya lengkap, tapi KPU setengah-setengah,” ungkap mantan Menpora.
Sementara itu, Dirjen Dukcapil Prof Zudan Arif Fakrulloh menegaskan, DP4 dan KK sudah diserahkan kepada KPU sehingga tugas Dukcapil sudah selesai. Sebab, sesuai Undang Undang, penyelenggara Pemilu adalah KPU dan Bawaslu. “Jadi, Dukcapil tidak boleh cawe-cawe, hanya bila diundang oleh KPU. UU menyatakan setelah DP4 diserahkan KPU, tugas Dukcapil sudah selesai,” tegasnya.
“DPT itu kewenangan penyelenggara pemilu. Kemendagri tidak boleh cawe-cawe. Paling memberi masukan, itu pun kalau tidak dipakai, boleh. Sesuai UU, Dukcapil tidak berwenang memperbaiki DPT. DPT sepenuhnya tugas KPU,” tandasnya.
Prof Zudan menyesalkan, KPU hanya mengambil pemilih pemula dan pensiunan dalam DP4. Untuk teknis kepemiluan, semuanya tugas KPU. “Teknis kepemiluan tidak bisa dilempar ke eksekutif (Kemendagri, red), harus KPU,” tambahnya.
Lebih lanjut, Adhyaksa menilai kerja KPU kurang beres, yakni Pemilu sudah sangat dekat tetapi KPU Kalaimantan Utara (Kaltara) baru dibentuk oleh KPU pusat. “KPU Kaltara baru dibentuk akhir Maret ini. Wah…?!” Sesalnya.
Bahkan, ia pun menganggap KPU sembrono dengan sistem pengamanan IT KPU karena security dari IT bermasalah, sehingga diserang hacker. “Sistem pengamanan ISO 2071 apa sudah aman? Jangankan sistem pengamanan KPU, HP anggota KPU saja bisa dideteksi, diheck,” tuturnya.
17,5 Juta Dihapus dari DPT
KPU didesak untuk mencoret 17,5 juta nama yang diduga invalid dalam DPT Pemilu 2019. Adhyaksa menilai DPT bermasalah KPU tersebut mengancam prinsip pemilu yang jujur dan tanpa kecurangan. Dampak dari persoalan pemilih invalid mulai terasa dengan molornya waktu KPU mengumumkan DPT final untuk Pemilu 2019. Mestinya KPU merilis DPT Pemilu 2019 pada 17 Maret, tetapi ternyata masih ada 17,5 juta daftar pemilih invalid.
Adhyaksa meminta agar temuan 17,5 juta data invalid dari DPT untuk dihapus saja dari keikutsertaannya di Pemilu 2019, jika KPU gagal menyelesaikan DPT bermasalah. “Kami minta kepada KPU karena tinggal 15 hari lagi kapan deadlinenya. Tapi kami juga meminta untuk dihapus saja. KPU jangan (sengaja) mengulur-ulur waktu,” pintanya.
Menurut Adhyaksa, jika 17,5 juta pemilih invalid tersebut tetap berada dalam DPT final, ada dua persoalan yang bakal menanti. Pertama, legitimasi dari hasil Pemilu 2019 yang rendah. Kedua, memberi peluang digunakan sebagai sarana curang kontestan pemilu. Kalkulasi Adyaksa, 17,5 juta pemilih invalid, sebesar 9% dari total daftar pemilih tahun ini yang ditaksir bakal mencapai 190 juta pemilih.
Menurutnya, DPT invalid merupakan data pemilih yang terdeteksi tak wajar, yaitu berupa angka keseragaman yang tak wajar terkait informasi tanggal dan bulan lahir seorang pemilih yang terdapat dalam DPT sementara. Selain itu, juga adanya daftar pemilih dalam kartu keluarga (KK) dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang manipulatif. Masalah terakhir yang IT BPN temukan, juga tentang inkonsistensi NIK seorang pemilih.
Senada pula, Koordinator BMPPAB Marwan Batubara mengusulkan agar 17,5 juta pemilih yang diduga bermasalah dihapus dari DPT Pemilu 2019. Setelah itu, KPU bisa melanjutkan validasi terhadap 17,5 juta data pemilih bermasalah tersebut dan dimasukkan ke dalam DPT khusus. “Kami minta DPT bermasalah dihapuskan saja. Pemilunya (pemungutan suara terhadap 17,5 juta data pemilih bermasalah) dilakukan belakangan setelah validasi,” tegasnya.
Marwan juga mengeritik langkah KPU RI yang hanya melakukan cek sampel atas temuan 17,5 juta pemilih bermasalah. “Kalau bermasalah itu tidak bisa datanya dikoreksi dengan cara sampling. Karena prinsip demokrasi itu adalah one man one vote, maka yang diperiksa itu harus seluruhnya. Tidak bisa dengan sampling,” protesnya.
Ia mengungkapkan, pada KPU sudah berjanji bahwa pada 19 Maret 2019 DPT sudah final, tetapi ternyata tidak selesai juga. BPN sendiri sudah menanyakan KPU pada 1 April, ternyata DPT belum selesai juga. “Ini KPU tidak jujur dan hanya menulur-ulur waktu. Data 17,5 juta itu data sampah, yang keluar nanti juga sampah,” gumamnya.
Ancaman People Power
Koordinator BMPPAB Dr Marwan Batubara menyesalkan KPU yang sengaja mengulur-ulur waktu padahal waktu pemilu sudah mepet. Kalau pemilu curang, akan terjadi people power. “KPU tidak amanah dan tidak jujur serta mengulur-ulur waktu. Jika KPU tidak lakukan perbaikan, kalau nanti ada people power apa KPU mau tanggung jawab!” ancamnya.
Marwan Batubara yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), mengamati sejak Desember 2018, tepat setelah memperoleh DP4 dari Kemendagri, KPU seolah-olah tak mau lakukan perbaikan. “Bolanya di KPU. Ini tidak ingin melakukan perbaikan. Kesan kita selama ini waktu Desember itu cukup lama, itu tidak melakukan sesuatu (perbaikan) yang intensif,” ungkapnya.
Padahal, lanjut dia, pencocokan dan penelitian (coklit) KPU memiliki anggaran yang sangatlah fantastis, lebih kurang Rp 1 triliun. “Tapi kalau hasilnya seperti itu, dan kita sangat yakin itu adalah dengan niat melakukan manipulasi seperti itu. Artinya sebagai wasit, KPU ini condong tidak jujur, tidak amanah, dan mengulur-ulur waktu,” sesalnya.
Kalau memang tidak sanggup menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu, Marwan menuntut KPU untuk tidak memasukkan 17,5 data invalid ke dalam DPT Pemilu 17 April 2019. Belasan juta data itu dimintanya untuk dimasukkan ke dalam DPT khusus agar nantinya mereka bisa mengikuti pemilu setelah perbaikan dilakukan. “Siapkan payung hukum untuk melakukan itu. Apakah melalui PKPU atau melalui Perppu. Kita berharap Perppu-lah yang dipakai,” desaknya.
Ketua Umum HRS Centre Abdul Chair Ramadhan menegaskan, KPU harus jelas dan tranparan mengumumkan berapa surat suara yang dicetak KPU, berapa surat suara yang didistribusikan KPU, berapa suara yang digunakan dan berapa sisanya. “Ini agar Pemilu berjalan jujur dan adil. Kalau pemilu damai damai itu pasti, tapi yang utama adalah jurdil,” harapnya.
Anak buah Habib Rizieq Shihab ini juga menyesalkan KPU yang tidak mengambil utuh DP4 (Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu) dari Dukcapil. “Karena adanya pengabaian DP4. Permasalahan demikian meluas dan mencapai angka yang disinyalir (DPT) invalid 17,5 juta. Bukan angka sedikit, dapat berdampak sistemik bagi kekalahan salah satu calon,” tuturnya.
Abdul Chair mengatakan, angka 17,5 juta DPT bermasalah ini dapat mempengaruhi jumlah surat suara yang dicetak KPU. Selain itu, KPU juga perlu memaparkan secara terbuka jumlah surat suara yang digunakan secara riil di setiap TPS. Demikian juga jumlah surat suara sisa nantinya.
Prihatin dengan Bawaslu
Adhyaksa juga mengaku prihatin dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak tegas menjalankan tugasnya. “Sedih saya, camat-camat di Sulsel bersama mantan Gubernur dukung 01. Tapi hingga kini tidak ada sanksi yang jelas dari Bawaslu. Padahal, kades (kepala desa) acungkan dua jari saja sudah dihukum enam bulan penjara,” kritiknya.
Namun, Adhyaksa menilai aksi para camat tersebut adalah sikap lebai atas kemauan sendiri, bukan karena disuruh Capres Jokowi. “Saya tahu pak Jokowi sebenarnya ingin pemilu ini berjalan netral, juga pak Prabowo. Itu (camat dukung 01) adalah aparat daerah yang lebai, berlebihan. Ada oknum-oknum aparat yang nakal. ASN kampanye jangan dibiarkan Bawaslu,” paparnya.
Sementara itu, menjawab pertanyaan peserta dikusi soal isu KTP Warga Negara Asing (WNA) bisa untuk mencoblos? Prof Zudan malah mengimbau masyarakat untuk memelototi TPS kalau ada orang asing di situ. “Kalau ada orang asing ikut mencoblos, baca KTP-nya. Jika dalam kolom kewarganegaraan tertera WNA, maka tidak boleh nyoblos, karena WNA tidak punya hak pilih,” tegas Dirjen Dukcapil.
Sebelumnya, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampouw menyesalkan polemik data WNA masuk DPT muncul menjelang Pemilu 2019. Polemik tersebut semestinya bisa diantisipasi sejak awal. “Mereka (KPU dan Bawaslu) kan ribut dengan misalnya ratusan WNA yang masuk DPT. Itu urusan siapa? Ya urusan KPU. Semestinya yang begini sejak awal sudah keluar. Tapi kan tidak. Harus ada kritik publik dulu baru disisir lagi,” kata Jerry beberapa waktu lalu. (Red)