Jumat, 26 April 24

Ketika Mayor TNI AD Dibentak-bentak ‘Pejabat’

Ketika Mayor TNI AD Dibentak-bentak ‘Pejabat’
* Petugas menolong jemaah haji. (Sumber foto: Facebook Helmi Hidayat)

Oleh: Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Malam telah sunyi ketika seorang laki-laki mengendap-endap masuk ke kamar perempuan di Hotel Safwat Al-Bayt Sektor Enam, Mahbas Jin, Makkah. Lelaki berusia 70 tahun ini langsung menyelinap ke tempat tidur istrinya lalu bersembunyi di balik selimut. Ia mengaku kangen berat tidur di pelukan istrinya. Hampir sebulan tidur bersama tiga lelaki di satu kamar membuat dia tersiksa, malam terasa panjang. Selama di tanah suci, kaum lelaki dan perempuan memang tidur terpisah, meskipun mereka adalah pasangan suami istri.

Tiga perempuan yang tinggal satu kamar dengan istri lelaki itu karuan saja protes berat. Bukan karena iri suami mereka tidak tidur bersama mereka, tapi bagaimana mereka bisa bebas bongkar muat ‘’pakaian bengkel’’ kalau ada lelaki di kamar? Akhirnya, setelah melalui perdebatan sengit sambil setengah teriak-teriak, kaum ibu di kamar itu berhasil mengusir lelaki ini keluar kamar. Tapi lelaki ini tidak menyerah. Rindu di ubun-ubun membuat dia nekat tidur di lantai di depan kamar istrinya sendirian, tanpa selimut, tanpa kehangatan seperti yang semula ia bayangkan.

Sekitar pukul 02:00 dinihari, Mayor Infantri Andi Paduppai yang sedang melakukan piket keliling hotel yang diberi kode 602 itu memergoki lelaki ini tergolek sendirian di depan kamar. Dia segera membangunkan lelaki tua itu dan bertanya mengapa tidak tidur di kamar. Si lelaki mengaku lupa di mana kamarnya. Tapi, sebagai petugas perlindungan jamaah (Linjam), Andi tidak menyerah. Dia tanya lelaki itu siapa kepala rombongan (karom) yang selama ini mengatur kamar-kamar jamaah. Andi kemudian segera mengetuk kamar dan membangunkan orang yang ditunjuk lelaki tua itu sebagai karomnya.

Tak dinyana, lelaki yang tidur masih dengan baju ihram di badan ini marah bukan main. Ia tidak rela mimpinya dipotong di tengah jalan. Apalagi ternyata dia bukan karom seperti yang dinyatakan lelaki tua tadi. Kemarahan lelaki berihram ini dibalas Andi dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, bahkan dinyatakan dengan setengah membungkukkan badan. ‘’Jamaah haji adalah tamu-tamu Allah yang harus dilayani,’’ demikian adagium para petugas haji Indonesia 2018. ‘’Bapak silakan tidur lagi, sekali saya mohon maaf sebesar-besarnya kalau saya salah,’’ kata Mayor Inf. Andi merendah sambil meninggalkan lelaki itu.

Rupanya, lelaki itu sangat marah mimpinya dipotong sebelah. Dia kejar Andi sampai lift lalu dia maki-maki. Saat itu Andi mengaku mulai terpancing dengan kemarahan yang lebih hebat kalau saja dia tak teringat dengan seragam petugas haji yang ia kenakan. Sebagai jalan keluar, karena lelaki itu belum mengizinkan Andi berlalu begitu saja, dia menelepon Abrar Zym, kepala Sektor Enam Mahbas Jin. Abrar kaget menerima telepon petugas Linjam pukul 02:00. Ada apa ini? Apalagi sampai Andi meminta kepala sektornya menuju hotel 602 di lantai 8 tempat pertengkaran itu terjadi.

Benar saja, begitu Abrar tiba, bukannya semakin merendah, lelaki ini tambah mencak-mencak. Awalnya secara persuasif Abrar meredakan kemarahan lelaki berihram itu. Tapi, karena lelaki itu terus mengamuk, apalagi dia kemudian mengaku ‘’kepala kantor’’ di Kanwil sebuah provinsi di Indonesia Timur, Abrar jadi naik pitam. ‘’Bapak dari tadi marah-marah terus padahal bapak sedang pakai baju ihram,’’ tegas lelaki berdarah Aceh ini. ‘’Siapa nama Kakanwil bapak, biar saya telepon sekarang. Bapak tahu, yang bapak marah-marahi dari tadi ini adalah mayor angkatan darat. Tahu?’’

Begitu disebut ‘’mayor angkatan darat’’, lelaki itu langsung mengkeret. Dia tidak segan pada baju ihram yang dikenakannya, yang di dalamnya menempel pesan-pesan Allah, tapi malah gentar dengan sebutan ‘’mayor angkatan darat’’. Akhirnya, jam menunjukkan pukul 03:00 dinihari ketika kedua lelaki asal Indonesia yang terlibat pertengkaran itu saling bersalaman dan memaafkan. Tapi, di mana lelaki tua yang tadi menyelinap ke kamar perempuan dan menjadi biang pertengkaran ini? Diam-diam dia kabur …

Kisah nyata yang dialami Mayor Inf. Andi Paduppai dan Kasektor Abrar ini hanyalah riak kecil dari suka-duka petugas haji Indonesia di tahun 2018, khususnya petugas Linjam. Sejumlah petugas, entah itu petugas katering, akomodasi, transportasi, juga Linjam, terlalu sering dimarahi jamaah, bahkan terkadang oleh sebab kecil sekalipun.

Sebagai contoh, lihat saja apa yang pernah dialami Serka Marinir Armawi, kepala pos transportasi yang ditugaskan menjaga terminal bus Bab Ali di samping Masjid Haram. Tugas lelaki kelahiran 5 Maret 1971 ini adalah memastikan bahwa puluhan ribu jamaah haji Indonesia yang baru keluar Masjid Haram dan ingin naik bus dari terminal itu aman dan terjaga. Usai salat lima waktu biasanya ratusan ribu jamaah haji dari berbagai negara berebut masuk terminal itu hendak menuju Mahbas Jin atau jamarat. Armawi dan para anak buahnya ditugaskan menjagai bus-bus yang sudah disewa penuh oleh pemerintah Indonesia untuk hanya dinaiki oleh jamaah Indonesia. Kalaupun ada jamaah dari negara lain mau menumpang bus sewaan pemerintah Indonesia, itu boleh saja, tapi harus mau diatur petugas haji Indonesia.

Untuk itu, Armawi menjalin kerjasama dengan polisi Arab Saudi mengatur jalur keluar-masuk terminal. Dia kerap diminta naik ke atas menara bersama polisi Arab dan petugas asal India, lalu berteriak-teriak dengan loudspeaker kepada para jamaah Indonesia. Petugas asal India mengatur jamaah asal negaranya, petugas Indonesia terfokus mengarahkan jamaah Indonesia. Keduanya diajak kerjasama karena polisi Arab tidak pandai bahasa Indonesia. Armawi juga menutup pintu-pintu masuk terminal agar jamaah Indonesia mudah disortir seraya membiarkan terminal menjadi kosong dari lautan manusia. Dengan demikian, bus-bus gampang masuk terminal karena tak terhalang ribuan calon penumpang.

Strategi ini berjalan mulus hingga suatu hari, saat pintu ditutup, seorang lelaki yang berdiri di antara antrian panjang marah-marah pada Armawi. Dia mengaku ‘’kapolsek’’ tertentu di wilayah Polda Metro Jaya. Armawi awalnya merendah padanya. Tapi, karena lelaki yang mengaku Kapolsek itu terus marah-marah dan mengkritik caranya, dengan nada ditekan Armawi berkata: ‘’Bapak ‘kan ngaku Kapolsek. Kalau bapak benar-benar Kapolsek, mestinya bapak paham dong pintu ditutup supaya jamaah teratur masuk terminal dan tak menghalangi bus-bus yang masuk terminal ini!’’

Rupanya lelaki itu kurang bisa menerima. Mereka terlibat dalam perdebatan kecil. Akhirnya, karena berkali-kali menekankan dirinya adalah ‘’kapolsek’’, Armawi akhirnya tak tahan. ‘’Bapak Kapolsek kan? Saya marinir Pak. Nanti di Jakarta kita ketemu!’’ – seperti ‘’pejabat’’ yang tadi mengkeret begitu kata ‘’mayor angkatan darat’’ disebut, kali ini pun si ‘’kapolsek’’ juga senyap ketika kata ‘’marinir’’ disebut. Hadeeeuuuhh!

Apakah benar orang itu adalah ‘’pejabat’’ di sebuah pulau di kawasan Indonesia Timur atau ‘’kapolsek’’ di bawah juridiksi Polda Metro Jaya, saya tak tahu. Mungkin saja mereka cuma mengaku-ngaku agar ditakuti. Tapi, setahu saya, ketika orang-orang berihram atau duduk bersimpuh bersama di Masjid Haram, semuanya mestinya sama di hadapan Allah. Tak ada pejabat, tak ada rakyat kecil, tak ada Arab, tak ada orang asing, semuanya adalah para tamu Zat yang Maha Tinggi bernama Allah. Baju ihram dan gema adzan mestinya mempersatukan dan menyadarkan mereka bahwa di Gurun Mahsyar kita semua bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa.

Kisah Andi Paduppai dan Armawi ini hanya mendorong saya untuk tertarik dan menghargai lebih jauh sistem rekrutmen petugas haji yang diselenggarakan Kementerian Agama RI sebagai panitia penyelenggara ibadah haji Indonesia. Penting dicatat bahwa Andi adalah petugas pembinaan mental (Bintal) Kodam XIII Manado, sementara Armawi adalah petugas Bintal Korps Marinir Cilandak, Jakarta Selatan. Tapi, keduanya tidak mudah lulus begitu saja saat mengikuti tes rekrutmen petugas. Andi tidak lulus tes di Mabes TNI-AD pada 2016 meski ia lolos di tes level pertama di Kodam Manado, sedang Armawi tidak lulus dua kali pada 2015 dan 2016 di markas besar TNI-AL. Tapi, begitu lulus tes, kedua anggota militer ini benar-benar menunjukkan kinerja luar biasa yang tidak mempermalukan korps tempat mereka berasal.

Fakta bahwa Andi melakukan kontrol lapangan hingga pukul 02:00 pagi saja, ketika semua jamaah tertidur lelap, sudah menjadi bukti alumnus 1996 Jurusan Dakwah Universitas Muslim Indonesia, Makassar, ini menjalankan amanah sebagai petugas haji dengan baik. Bagaimana dengan Armawi? Saya menjadi saksi, alumnus 2015 Sekolah Tinggi Agama Islam ‘’Al-Mahbubiyyah’’ ini hampir tak pernah terlihat di makas Sektor Enam. Dia dan semua anak buahnya selalu berkumpul dan kadang menginap di pos Bab Ali, terutama di puncak musim haji ketika hampir empat juta umat Islam berkumpul di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Kegigihan Armawi untuk tidak menyerah tiga kali ikut tes seleksi petugas membawa takdir tersendiri untuknya. Doa-doanya yang kuat ingin melihat Kabah terkabul. Setiap hari, selama lima waktu, karena penugasannya itu dia jadi bisa salat di Masjid Haram meski dia harus salat di pinggir masjid. Armawi kerap salat di atas aspal bertikar kardus bekas di pinggir terminal. ‘’Kalau saya salat di dalam Masjid Haram, bisa-bisa saya terlambat mengamankan jamaah yang mau naik bus. Saya ikhlas salat di jalanan di atas kardus bekas karena Allah,’’ jelas lelaki yang bergabung di Korps Marinir pada 1991 ini.

Keseriusan kerja Andi dan Armawi ditandingi oleh AKP Tri Wahyudi, anggota Bareskrim Direktorat Tipikor Mabes Polri. Lulusan Akademi Kepolisian 2009 ini juga menjadi petugas Linjam di Sektor Enam. Sejak semua petugas mengikuti pelatihan 10 hari di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, Tri sudah menunjukkan kinerjanya sebagai petugas Linjam yang baik. Ia selalu aktif menggiring anggota sektor ikut rapat. Tri, Andi dan Armawi tampak selalu berlomba memimpin apel pagi di Makkah. Pernah suatu ketika saya bertemu Tri sudah larut malam, tapi pagi hari dia sudah berada di rumah sakit menangani jamaah yang terlibat kecelakaan di jalan.

Berbeda dengan dua kawannya dari korps militer yang tidak langsung lulus tes seleksi petugas, Tri justru mengalami apa yang ia sebut ‘’keajaiban’’. Ia ingin sekali menjadi petugas haji hingga suatu hari, seorang kawannya sesama polisi mengirimkan pesan Whatsapp berisi pengumuman seleksi petugas haji buat anggota kepolisian. ‘’Saya heran, padahal kawan saya ini tidak setahun sekali mengirimkan pesan WA pada saya. Kok hari itu dia kirim dan isinya pas pengumuman yang saya tunggu,’’ katanya.

Prosedur tes seleksi petugas haji sudah baku. Para pegawai negeri sipil (PNS) dari instansi mana pun yang ingin jadi petugas haji harus lolos tes di level pertama lalu mengikuti tes level provinsi. Demikian juga dengan anggota militer dan kepolisian. Mereka juga harus lulus tes di level instansi. Di level ini 30 personel dinyatakan lulus. Mereka kemudian mengikuti tes lagi di level markas yang lebih tinggi dan bersifat nasional. Di sini kemudian terseleksi 15 personel yang lulus. Kemenag sangat bijak ketika mengirimkan surat rekrutmen ke semua instansi militer dari tiga angkatan dan kepolisian. Asas keadilan terjaga, distribusi kemampuan personel juga terlaksana.

Dari Korps TNI-AU, tokoh paling fenomenal baik di kalangan petugas haji maupun jamaah adalah Letkol Slamet Budiono. Dia sudah lima kali menjadi petugas Linjam, hingga kepercayaan bukan saja datang dari Kemenag RI sebagai panitia penyelenggara haji, tapi juga dari Yayasan Khidmat Haramain yang bertanggungjawab mengurus Masjid Haram dan Masjid Nabawi. Slamet dipercaya menjadi komandan sektor khusus di Masjid Haram dengan 35 anak buah sejak 2014 lalu. Karena itu wajar dia sudah seperti artis dan selebritas di masjid yang dirindukan seluruh umat Islam di dunia itu.

Ketika saya mewawancarainya di pinggir Masjid Haram usai salat subuh, wawancara tak pernah berjalan mulus. Rombongan jamaah haji asal Indonesia yang lewat di situ pasti ingin potret bersama dengannya. ‘’Terima kasih ya pak, kemarin sudah gendong nenek saya,’’ kata salah seorang di antara mereka usai berfoto. Pernah usai foto bersama bersama satu rombongan Jawa Tengah, salah satu perempuan dari rombongan itu balik lagi. Perempuan ini semula sok akrab. Setelah mendekat, dia hanya bertanya pendek: ‘’Eh, nama bapak siapa deh?’’

Slamet adalah alumnus Fakultas Dakwah UIN Sunan Ampel, Surabaya. Korps TNI-AU bangga personelnya dipercaya menjadi orang kepercayaan Kemenag RI mengurus jamaah di Masjid Haram. Di kantornya, di pos kecil di pinggir masjid yang di dalamnya dijanjikan pahala 100.000 kali lipat buat mereka yang salat di dalamnya, terlihat berkarung-karung sandal jepit. Buat apa? ‘’Itu buat jamaah yang kehilangan sandal. Mereka kita beri sandal ini secara gratis, agar kaki mereka tidak melepuh kepanasan,’’ kata Slamet sumringah.

Usai wawancara, barulah saya memperkenalkan diri lebih jelas lagi. Tiba-tiba dia bilang, ‘’Bapak ini Helmi Hidayat kan? Saya sudah lama kenal. Saya menangis baca buku karangan bapak dan sekarang saya senang bisa kenal dengan penulisnya.’’

Saya terhenyak. Buku karangan saya yang dia maksud adalah ‘’Hari-hari Terakhir Rasulullah’’.

 

Sumber: Facebook Helmi Hidayat

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.