Jumat, 26 April 24

JMM Minta Menag Yaqut Klarifikasi Pernyataan Suara Toa Masjid dengan Gonggongan Anjing

JMM Minta Menag Yaqut Klarifikasi Pernyataan Suara Toa Masjid dengan Gonggongan Anjing
* Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. (Foto: Humas Kemenag)

Jakarta, obsessionnews.com – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengibaratkan suara pengeras suara (toa) di masjid seperti halnya gonggongan anjing di sebuah kompleks yang berbunyi dalam waktu bersamaan secara serentak. Hal tersebut disampaikan Menag terkait terbitnya surat edaran (SE) bernomor SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

 

Baca juga:

Kemenag Atur Speaker di Masjid dan Musala, Sakinah: Aturan yang Tidak Bijak

Bukhori Kritik Kebijakan Kemenag tentang Panduan Pemakaian Pengeras Suara

 

 

Terkait dengan pernyataan tersebut Jaringan Muslim Madani (JMM) menyatakan sedih dan prihatin atas penggunaan diksi ‘gonggongan anjing’ untuk menganalogikan suara toa masjid atau musala. JMM menilai pernyataan tersebut sangat bertolak belakang dengan semangat menjaga toleransi dan kerukunan umat beragama.

“Amat sangat disayangkan penggunaan diksi tersebut keluar dari Menag sehingga menimbulkan polemik di masyarakat dan menyinggung perasaan umat Islam khususnya. Kami meminta beliau untuk segera mengklarifikasi dan meralat pernyataannya secara jernih dan benar,” kata Direktur Eksekutif JMM Syukron Jamal kepada media, Kamis (24/2/2022).

JMM mengingatkan jangan sampai polemik pernyataan tersebut terus berlarut sehingga menimbulkan ketegangan di masyarakat sehingga semangat kerukunan dan toleransi yang selama ini terjaga dan terawat dengan baik menjadi terganggu. Pejabat publik harus mengedepankan asas kehati-hatian dalam mengeluarkan pernyataan terlebih soal kehidupan beragama.

JMM menilai secara prinsip surat edaran bernomor SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan Menag Yaqut baik dengan tujuan merawat semangat kerukunan antar umat beragama. Pengeras suara di Masjid atau musala bagi umat Islam penting karena menjadi media syiar dan dakwah untuk menjangkau lebih luas. Nmun di sisi lain berangkat dari latar belakang kemajemukan Masyarakat Indonesia tentu penggunaannya harus teratur sebagaimana mestinya.

“JMM sendiri menilai SE tersebut terlalu teknis dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini kementerian Agama. Semestinya cukup pedoman umum atau petunjuk teknis (juknis) saja. Turunan teknisnya bisa diserahkan pada wilayah masing-masing yang diinisiasi oleh kanwil dengan melibatkan berbagai unsur organisasi keagamaan Dewan Masjid Indonesia (DMI) termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) misalnya, toh semua daerah memiliki karakteristik dan keragaman masyarakatnya tersendiri,” terangnya.

Misalkan soal waktu menjelang azan atau memasuki waktu salat Jumat sebelum azan pada waktunya, pembacaan Alquran atau selawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit.

“Ini kan tidak bijak karena salat Jumat waktunya terbatas dan harus dilakukan secara berjamaah di masjid, cukup tidak waktu 10 menit itu?” kata Syukron.

JMM menegaskan selama ini penggunaan pengeras suara di masjid atau musula sejatinya juga tidak mengganggu atau menimbulkan gesekan, pun termasuk pengelola masjid ataupun musola sudah dengan bijak menggunakannya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Jika pun ada beberapa kejadian itu tidak mewakili kondisi yang ada di semua wilayah di Indonesia.

“Terlepas dari apa pun kita berharap toleransi kerukunan umat beragama tetap terjaga di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan sikap arif dan bijaksana memahami satu dengan lain baik mayoritas terhadap minoritas maupun sebaliknya,” tandas Syukron.

Seperti diketahui Menag Yaqut ketika diwawancara media di Pekanbaru, Riau, beberapa waktu lalu sempat meminta agar volume suara Toa masjid dan musala diatur maksimal 100 dB (desibel). Selain itu waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.

Hal itu dia sampaikan merespons edaran yang dikeluarkannya mengatur penggunaan toa di masjid dan musala.

Tetapi Ia kemudian mencontohkan suara-suara lain yang dapat menimbulkan gangguan. Salah satunya suara gonggongan anjing.

“Yang paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri, kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Suara-suara ini, apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak jadi gangguan.Speaker di musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada terganggu,” ujarnya. (red/arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.