Pada suatu Jumat sore di bangsal anak Gedung Teratai lantai 3, Rumah Sakit Fatmawati tampak sosok perempuan langsing berambut panjang, bergerak lincah memasuki ruang perawatan anak. Seorang anak lelaki berusia sekitar 10 tahun dengan muka berseri-seri berteriak “Kak Ina…, Kak Ina..!”
Perempuan itu segera menghampiri anak tersebut. Tawa cerianya segera menggema di lorong perawatan anak. “Halo semua, ini Kak Ina datang. Siapa yang mau buku dongeng, ini kakak bawakan,” sapanya ramah sambil menemui anak-anak yang sedang dirawat.
Dia juga membawa boks nasi untuk para orang tua yang menunggu anak-anaknya dirawat. Ya, perempuan bernama lengkap Amalia Media Madjidhan atau akrab disapa Ina ini, memang sudah lima tahun memulai gerakan memberi nasi bungkus. Setiap minggu, dia memiliki agenda mengunjungi berbagai tempat untuk memberikan nasi bungkus.
Melihat sosok enerjik ini, kita akan melihat perempuan yang sepertinya tidak pernah kehabisan energi untuk selalu berbagi. Wajahnya berseri-seri dan begitu ramah ketika menyapa anak-anak di rumah sakit.
“Saya merasa senang kalau berhasil membahagiakan orang lain. Seperti pantulan cermin, kebahagiaan akan berbalik kepada kita jauh lebih dahsyat dibandingkan apa yang kita berikan,” ungkap Ina saat bertemu Women’s Obsession beberapa waktu lalu.
Nasiku Nasimu
Apakah yang membuat hatinya tergerak membagikan nasi bungkus? “Saya ingat, ketika sholat Magrib pada suatu hari rabu malam tahun 2010. Usai sholat saat saya berdoa dan hati saya seperti mendapat dorongan besar untuk menolong orang lain. Sebelumnya, saya tidak pernah terlibat membantu aksi sosial,” jelas Ina.
Tepatnya di bulan Mei 2010, Ina memulai kegiatan bernama Nasiku Nasimu. Yaitu suatu gerakan aksi sosial yang membagikan nasi bungkus seharga Rp7.000 kepada orang-orang kurang beruntung. Dia memulai membagikan nasi bungkus di sepanjang rel kereta api atau daerah kumuh di Jakarta.
Waktu itu Ina sempat merasa surprise, karena nasi bungkus yang akan dibagikan terkumpul sebanyak 750. Padahal, awalnya dia hanya memesan sebanyak 50 bungkus. Namun saat dia bergerak membagikannya, ternyata banyak orang mengulukan bantuan. Saat itulah, Ina bertambah keyakinan kalau cara berbagi nasi bungkus itu dapat menjadi jalan untuk membantu banyak orang. Dia pun semakin mantap melakukan aksi sosialnya.
Pada 2010 juga terjadi bencana Gunung Merapi, Yogyakarta. Ina ikut tergerak membantu korban bencana di sana. Ketika itu ada banyak dapur umum dan dia melihat banyak makanan basi, karena lebih banyak orang yang sakit. “Saya dan beberapa teman menghentikan pembagian nasi bungkus dan mengutamakan obat-obatan dan selimut. Lalu saya mengumpulkan relawan yang mau mengajar. Akhirnya, kami mulai masuk ke bidang pendidikan,” ungkapnya.
Demikian juga saat tragedi Mentawai, Ina ikut mengirimkan relawan. Dia bercerita, “Kami menemukan begitu banyaknya sumbangan bantuan logistik, tetapi tidak bisa disalurkan kepada masyarakat. Mobil dan sepeda motor tidak ada. Kami pun tetap berupaya menyalurkan bantuan. Akhirnya, kami mencari sepeda dan bekerja sama dengan Save Mentawai dan berhasil membawa 30 sepeda. Sedangkan, uang yang terkumpul dialokasikan untuk membeli motorboat. “
Memaknai Hidup
“Saya senang membantu orang lain, menjalani saja semuanya dengan rajin dan tekun. Saya bisa melakukannya sendiri ataupun dengan bantuan orang lain. Tekad saya tidak akan melewatkan satu hari pun tanpa melakukan kebaikan kecil,” tegas perempuan kelahiran 9 November 1973 ini.
“Dengan berbagi atau memberi bagi saya adalah cara memaknai hidup. Tentu kita ingin hidup yang lebih berarti. Lewat berbagi saya mengukir cerita kehidupan sendiri, meyakini kehidupan ini tidak hanya mengenai diri saya sendiri saja,” kata perempuan yang menjadi pengajar senam private ini.
Proses memberi nasi bungkus ini, ternyata terus bergulir ke arah yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. “Saya tak mengira aksi sosial kecil ini bisa menjadi seperti sekarang ini. Saya sadar perjalanan saya masih panjang dan masih banyak tugas. Nasi bungkus bagi saya ibarat sebagai pembuka jalan untuk menggerakkan kegiatan aksi sosial. Semoga saja saya terus dapat menjaga hati agar, tidak jumawa dalam berkegiatan sosial,” jelas perempuan lulusan Diploma Visual Communication di Australia dan London School of Public Relations ini.
Gerakan Berbagi
Setelah menjalani program nasi bungkus, Ina mulai berpikir ingin mengembangkan aksinya tidak hanya sebatas bantuan pangan saja. Dengan tekad, keyakinan, dan dukungan dari relawan-relawan dia menggagas Gerakan Berbagi agar menjangkau masyarakat lebih luas lagi. Aksi sosial di Gerakan Berbagi meliputi empat bidang, yaitu berbagi pangan, kesehatan, pendidikan, dan tanggap darurat.
Aksi Nasiku Nasimu saat ini masuk ke dalam ke dalam kegiatan Gerakan Berbagi dalam bidang pangan. Sedangkan, bidang kesehatan, Ina mempunyai beberapa program bulanan. Kegiatannya mencakup program mengunjungi rumah sakit untuk mengunjungi dan menghibur anak-anak yang sedang dirawat. Selain itu, dia juga punya agenda kunjungan ke Yayasan Sayap Ibu Bintaro Panti Penyantunan & Rehabilitasi Anak Cacat Ganda Terlantar.
Gerakan Berbagi juga mempunyai program untuk 1000 anak yang terserang malaria di Ende, Sikka, NTT. Ina bekerja sama dengan yayasan di sana dan telah mendapat izin dari Pemda setempat. “Ada 1000 anak kami bantu buatkan satu modul, namanya Laskar Jentik Basmi Malaria. Dari buku ini, mereka cari jentik-jentiknya, lalu dibasmi. Itu program 2014. Sejak kami lakukan, hasilnya sudah terlihat. Sekarang ini lebih dari 10 sekolah sudah bebas malaria,” ungkap Ina penuh semangat.
“Ada suatu desa terpencil bernama Rogaria, yang belum terjamah listrik dan kekeringan. Sepatu anak-anak di sana memang terlihat baik, tetapi bila diperhatikan sepatu mereka sudah tidak ada solnya. Tetapi, saya bangga melihat mereka begitu bersemangat ke sekolah. Karena itu, kami mempunyai program ‘Sepatu untuk Roga’. Di daerah ini juga tidak ada yang punya sikat gigi, semua orang mengunyah sirih. Karena itu, kami membuat penyuluhan dengan dokter gigi,” katanya.
Dalam bidang pendidikan, ada sekitar 50 lebih anak-anak yang diupayakan mendapatkan orang tua asuh untuk membiayai pendidikan mereka, seperti dari SPP, seragam, dan kebutuhan sekolah lainnya. “Hampir setiap hari kami mengurus kebutuhan darah pasien di rumah sakit, karena tidak terpenuhinya kebutuhan darah. Tiap tiga bulan ada kegiatan BACA yaitu Berbagi Anak Cerdas Aktif dengan anak-anak asuh pendidikan Gerakan Berbagi,” katanya.
Donor Darah
Untuk kegiatan tanggap darurat, Ina dan relawan dari Gerakan Berbagi mempunyai aksi bernama Berbagi Runners. Mereka adalah kumpulan pendonor darah apheresis (teknik pengeluaran komponen darah tunggal dari pasien atau donor). Ina menjelaskan, “Kami menggalang donor darah khusus trombo apheresis. Berbeda dengan donor darah biasa, untuk satu kantong trombo apheresis pasien harus membayar Rp 3,5 juta. Fungsi darah ini untuk menghentikan pendarahan. Karena itu, pendonornya juga harus memiliki kualitas darah tertentu. Agar masuk kategori tersebut, pendonor harus rajin berolahraga, agar darah lebih banyak mengandung oksigen. “
Ina mengatakan, dia dan pegiat memilih lari sebagai olahraga bersama hampir setiap minggu, agar pegiat tetap sehat dan bisa terus mendonor. “Saat ini sudah memiliki 70 ada pendonor. Ini merupakan kegiatan pendampingan kepada pasien kanker terkait dengan kebutuhan darah. Kami mempunyai nota kesepahaman dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat. Jadi kalau ada membutuhkan darah, bisa menghubungi kami,” tambahnya.
Dia juga pernah mendampingi anak sakit kanker yang membutuhkan donor darah trombo apheresis. “Saat itu saya belum bisa memberikan, karena masalah kurangnya berat badan. Saya harus menaikkan berat badan hingga 13 kg, supaya bisa mendonor. Saya berusaha keras mencapai berat 63 kg selama dua tahun. Namun sayangnya, anak yang saya dampingi meninggal. Setelah itu, karena saya merasa tidak sehat dengan bobot badan yang berlebih dan berusaha keras menurunkanyna kembali. Saya dan beberapa kawan bersepeda jarak jauh sebagai bentuk empati kepada pasien anak dengan kanker, terakhir 300km di Jogya,” kenangnya.
Didukung Keluarga
Ina senang karena aktivitas sosial yang sudah dia tekuni selama lima tahun mendapat dukungan besar dari keluarganya. Tak jarang, dia mengajak anaknya, Andina Firasha Zahra, yang masih berumur 13 tahun saat melaksanakan kegiatan sosial. “Ibu saya juga selalu terlibat kegiatan Gerakan Berbagi dengan membantu menyiapkan goody bag ataupun makanan. Saya cukup senang melakukannya sendiri sebagai contoh untuk orang lain. Kalau ada yang tergerak dan ingin mengikuti kegiatan saya, silakan saja. Saya juga memanfaatkan sosial media dan ternyata sangat penting sebagai media untuk menyebarkan informasi kegiatan dan keperluan darah,” katanya.
Ada banyak pelajaran hidup yang dialaminya saat terjun di Gerakan Berbagi. “Pengalaman mengesankan buat saya adalah ketika mendampingi anak kanker. Saya justru banyak belajar kehidupan dari pasien-pasien kecil ini. Betapa mereka begitu sabar, bersemangat, dan terutama sekali keikhlasan dalam menerima kondisi. Apalagi, bila saya kerap menyaksikan orang tua pasien anak yang harus kehilangan buah hati mereka. Ini semua membuat saya sadar betapa kita sebagai manusia tak memiliki daya apapun terhadap takdir,” tutur Ina lirih.
Ina masih mempunyai cita-cita dan memanjatkan doa, agar dia terus dimampukan melakukan kegiatan sosial hingga akhir hayat. Tak dapat dipungkiri, dia masih memerlukan banyak dukungan dari komunitas-komunitas sosial lainnya. “Sampai sekarang kami belum mempunyai donatur tetap, kegiatan kami berasal dari donatur para pegiat,” jelasnya.
Dia pun berharap semoga bantuan Gerakan Berbagi bisa lebih nyata lagi dan mendapat dukungan dari pemerintah. “Yang kami lakukan memang tidak besar, tetapi dengan bantuan siapa pun aksi sosial kami akan bisa jauh lebih baik lagi,” katanya penuh harap. (Aryani Indrastati/Women’s Obsession)