Jumat, 26 April 24

Gubernur Baru DKI Jangan Tiru Ahok yang Kering Inovasi

Gubernur Baru DKI Jangan Tiru Ahok yang Kering Inovasi

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM),  Yogyakarta, tahun 1986

 

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta semula dipimpin Jokowi (2012-2014), kemudian pada 19 November 2014 hingga kini dipimpin Ahok. Dari parameter inovasi pelayanan rakyat/publik, kondisi kinerja kedua gubernur ini lebih rendah ketimbang gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo. Perbandingan dapat digunakan parameter penghargaan yang diterima.

Oleh karena itu gubernur baru DKI mendatang harus bisa memiliki kondisi kinerja inovasi melebihi Fauzi Bowo. Jangan tiru kondisi kinerja Jokowi atau Ahok sebagai standar kriteria. Mereka itu tak mampu menjadi inovatif dan produktif melayani rakyat. Kalau melayani pengembang …ya!

Apa prestasi Fauzi Bowo terkait inovasi pelayanan rakyat/publik?  Fauzi sesungguhnya lebih produktif dan inovatif ketimbang gubernur-gubernur setelahnya dalam urusan pelayanan rakyat.

Fauzi  mampu  menghasilkan inovasi meliputi: e-monev, mobile-government, e-procurement, e-audit, pajak online, gerai pajak, drive thru,  parkir online, e-akta, KTP mobile & door to door, Pelayanan Terpadu Malam Hari,  Program Respon Opini Publik (ROP), Jakarta City Planning Gallery , Inteligent Transport System (ITS), Operasional Crisis Center, dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu .

Fauzi juga  menginisiasi pengembangan sistem informasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hal ini dapat dilihat dari Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur DKI tahun 2012.

Lebih lanjut Fauzi pernah memperoleh penghargaan dari Warta Ekonomi, yakni e-Government Award dan Smart City Award 2011. Sedangkan Jokowi dan Ahok tidak!!!

Karenanya, gubernur baru DKI belajarlah dari pengalaman kerja gubernur Fauzi, jangan mengikuti pengalaman kerja  Jokowi dan Ahok.

Jokowi dan Ahok kering inovasi dan produktivitas.  Ahok memang mampu menghasilkan  inovasi Qlue; suatu aplikasi media sosial untuk melaporkan permasalahan kota kepada pemerintah, pihak swasta ataupun saling berbagi masalah dihadapi.

Qlue adalah aplikasi sebagai sarana pengaduan masyarakat. Untuk menggunakan aplikasi ini cukup mengambil foto masalah yang ditemui, lalu atur kategorinya, dan  masukkan judul laporan serta penjelasan laporan dibuat. Laporkan kondisi sarana dan prilaku pihak-pihak tertentu sesuai kepentingan  lewat Qlue.

Setelah pengaduan berhasil masuk ke dalam Qlue,  maka nantinya akan terlihat bagaimana tanggapan pemerintah.

Jika  laporan masih menunggu proses maka tandanya ‘bulat merah’, sedang diproses ‘bulat kuning’, dan sudah selesai ‘bulat hijau’.  Aplikasi Qlue dapat mempermudah untuk membuat pengaduan ke Pemprov DKI.

Inovasi pelayanan Qlue ini ternyata  mengundang reaksi negatif  dan penolakan dari sejumlah pengurus Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT). Terjadi konflik terbuka antara Ahok dengan sejumlah pengurus RW/RT, sehingga terbentuk Forum RW/RT.

Forum menuntut pencabutan  Keputusan Gubernur No. 903 tahun 2016 tentang penggunaan Alur di RW. Mengapa? Bagi Forum,   Qlue tidak terdaftar di Kementerian Kominfo RI.

Dalam perkembangannya, Forum bukan hanya menolak aplikasi Qlue, bahkan  menolak dan menentang Ahok kembali menjadi Gubernur DKI. Mereka menggalang kekuatan ASBAK (Asal Bukan Ahok) dalam Pilkada DKI 2017.

Untuk itu, NSEAS meminta gubernur baru DKI mendatang harus mengadakan musyawarah mufakat untuk memecahkan masalah penolakan aplikasi Qlue ini. Gubernur baru harus mengakui eksistensi historis dan sosiologis keberadaan lembaga RW/RT. Gubernur baru harus mempertimbangkan tuntutan Forum RW/RT lain antara lain:

  1. Cabut Pergub No. 168 Tahun 2014 karena ilegal ditandatangani Oleh Plt Gubernur.
  2. Cabut Pergub No. 1 Tahun 2016 karena melecehkan RW/RT seakan lembaga kriminal dan mengancam independensi RT RW dengan sangsi pemecatan Pasal 30 dan Pasal 31 Ayat 3 & 4.
  3. Mendesak segera disahkan Peraturan Daerah tentang Pedoman RT RW Sesuai Permendagri No. 5 Tahun 2007 Pasal 30.

Dari segi kelembagaan terjadi diskriminatif antara kawasan perumahan dan permukiman dengan tower Rusunami, apartemen dan kondominium. Di kawasan perumahan dan permukiman terdapat RW/RT sebagai pelayan rakyat paling bawah. Di tower Rusunami, apartemen, dan  kondominium tidak ada RW/RT. Acap kali diberitakan, manajemen building dari pihak Pengembang tidak setuju terdapat RW/RT. Beragam konsekuensi negatif terhadap suasana interaksi sosial penghuni dari tidak dibentuknya RW/RT. Wagub DKI Djarot pernah berjanji akan membentuk RW/RT  dimaksud. Tapi, hingga kini hanya janji, tak ada bukti nyata.

Untuk itu, gubernur baru DKI harus membentuk RW/RT sebagai pelayan rakyat yang berdomisili di Rusunami, apartemen, dan  kondominium. Tidak boleh ada diskriminatif perlakuan atas   keberadaan RW/RT. Juga gubernur baru harus memperkuat aspek kelembagaan RW/RT yang sudah ada. Jangan meniru cara-cara gubernur lama menyikapi RW/RT yang sarat konflik terbuka  selama ini.

Gubernur baru harus mampu berkomunikasi dua arah dengan rakyat. Bukan rakyat yang datang ke Balai Kota, tetapi gubernur baru datang ke rakyat dalam bentuk forum dialog berdasarkan kesetaraan, bukan bapak-anak buah. Melalui forum-forum itu, terjadi komunikasi politik dan keterbukaan timbal baik. Jangan melakukan seperti Ahok, entah diatur atau tidak, hanya  warga saja datang ke Balai Kota secara individual. Bahkan, pernah seorang ibu tua  datang,  dituduh maling!!! Komunikasi diskriminatif terhadap rakyat DKI harus terbebas dari prilaku politik gubernur baru. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.