Sabtu, 27 April 24

Gawat! Prabowo Disejajarkan Tuhan

Gawat! Prabowo Disejajarkan Tuhan
* Dr Syahganda Nainggolan. (Antara)

Obsessionnews.com – Pentolan Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya di acara berbuka puasa bersama “Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih”, tanpa Gibran hadir,  Rabu (27/3/2024), menyebutkan “In Bapak Prabowo, We Trust”.

 

“Semboyan ini telah menyejajarkan Tuhan dengan Prabowo. Oleh karena semboyan aslinya adalah ‘In God We Trust’ yaitu sebuah semboyan yang dimiliki Amerika sejak seabad lalu,” ungkap Peneliti Sabang Merauke Circle (SMC) Dr Syahganmda Naionggolan, Kamis (18/3/2024).

 

Sebagai catatan, Wikipedia (https://en.m.wikipedia.org/wiki/In_God_We_Trust) menuliskan bahwa 90% masyarakat Amerika Serikat, merujuk jejak pendapat Gallup, CNN dan USA Today, 2003, menyetujui penggunaan koin atau uang mereka dengan semboyan “In God We Trust” tersebut. Sebelum tahun 1959, Wiki mencatat bahwa semboyan Amerika adalah “E pluribus unum” (Out of many, one) dengan lambang Burung Elang, yang mungkin mirip-mirip Bhinneka Tunggal Ika dan Burung Garuda di Indonesia.

 

Hal di atas, jelas Shaganda, menunjukkan pengakuan rakyat Amerika bahwa mereka telah dipersatukan Tuhan, sebagai sumber moral, bukan burung apalagi manusia. Pesan trust atau kepercayaan rakyat disana, sebagai sebuah bangsa bertumpu pada moralitas, dalam hal ini merujuk agama mereka.

 

“Kepercayaan atau ‘trust’ sebagai rujukan dan perekat sebuah society atau bangsa memang dapat disematkan kepada sosok atau individual,” tandas Aktivis senior ITB ini.

 

Dipaparkan, dalam sejarah kenabian, maupun suku-suku pedalaman, telah diperlihatkan bahwa nilai-nilai yang dianut maupun dirujuk masyarakat bersumber pada pemimpin mereka.

 

Di sisi lain, lanjutnya, rujukan tersebut dapat juga berupa ajaran, baik agama, ideologi maupun tradisi yang turun-temurun. Ajaran-ajaran Jawa, misalnya, Tut Wuri Handayani, Sugi Tanpa Bondo, Tepo Seliro dan lain-lain, merupakan ajaran turun-temurun alias tradisi, yang tidak merujuk pada sosok.

 

Dalam ajaran Marxisme, misalnya lagi, tidak dikenal dominasi antara manusia. Mereka mengenal determinisme masyarakat, di mana peran individual hanyalah konsekuensi derivatif dari komunal.

 

“Penempatan sosok Prabowo selevel dengan Tuhan dalam pandangan SBY cukup menarik untuk dikaji. Pertama, klaim SBY bahwa dari perjalanannya ke belasan kabupaten, rakyat mencintai Prabowo,” tegas Syahganda.

 

“Lalu apakah mencintai itu berarti menempatkan Prabowo selevel dengan Tuhan? Kedua, SBY mengingatkan kita agar jangan menyakiti rakyat yang ingin Prabowo memimpin bangsa kita. Apakah dengan demikian Prabowo bisa selevel dengan Tuhan?” tambahnya mempertanyakan.

 

Ia menilai, pengultusan manusia yang dilakukan oleh SBY terhadap Prabowo saat ini akan berpotensi pada tiga hal: Pertama, pengultusan adalah penyakit anti demokrasi. Sebagai bapak demokrasi di era lalu, harusnya SBY tidak memberi kesan pengultusan individual.

 

“SBY harus konsisten bahwa manusia hanyalah makhluk Tuhan saja yang bisa dikritik. Kedua, SBY berpotensi mengecilkan makna protes rakyat yang mengutuk pemilu curang,” sambungnya.

 

Menurut Syahganda, protes sosial atas pemilu curang, saat ini, bukanlah kasus biasa. Perasaan rakyat yang terluka saat ini sudah menganga terlalu besar. Saat ini memang kekecewaan rakyat lebih tertuju pada Jokowi, tapi sebagai kaum demokrat, harusnya SBY membuka ruang dialog bahwa kecurangan itu juga dinikmati oleh Prabowo.

 

Ketiga, tutur dia, SBY ingin menunjukkan bahwa dirinya mem-back up total Prabowo sebagai manusia selevel Tuhan. Hal ini menunjukkan adanya kesan “jilat menjilat” dalam politik bagi-bagi kekuasaan. “Ini sebuah penurunan makna kekuasaan untuk rakyat,” tuturnya.

 

Luka Rakyat dan Perubahan

Syahganda menegaskan, kemenangan Prabowo dengan proses pilpres curang saat ini dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi. Tapi, apa pun hasilnya, luka rakyat atas kecurangan itu bukan masalah kuantitatif yang bisa dihitung sebagai residu. “Kemarahan rakyat telah bergelombang besar, khususnya dari kalangan kampus, sebagai pusat moral bangsa kita,” tandasnya.

 

Dalam kondisi “power to power conflict” atau keterbelahan rakyat saat ini, menurutnya, SBY meyakini, dalam pidatonya kemarin, bahwa Prabowo adalah pemimpin besar selevel Tuhan yang mampu membawa perbaikan. Perbaikan itu termasuk membuat pemilu yang bersih ke depan. Namun, SBY tidak menyinggung bahwa ada luka saat ini di hati rakyat. “SBY juga tidak menyinggung bagaimana bisa membuat pemilu bersih dari kepemimpinan pemilu curang?” bebernya.

 

Padahal, lanjut dia, dalam teori rekonsiliasi konflik, di mana SBY terlibat dalam penyelesaian konflik Ambon, Aceh, Poso dan lainnya di masa lalu, penyelesaian sebuah konflik sosial harus dimulai dengan sebuah pengakuan adanya rakyat terluka.

 

“Adanya kecurangan dan manipulasi pilpres. Bukan sok menang sendiri. Sok menang sendiri atau merasa paling benar, bahkan hanya akan memendam dendam yang berkepanjangan,” ungkapnya pula.

 

“Kita tentu tidak bisa berharap pada Jokowi dan rezimnya dalam mengobati luka rakyat. Namun, jika rezim ke depan juga memelihara luka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pergolakan rakyat akan terus berlangsung. Inilah kesalahan terbesar SBY yang tidak membuka ruang refleksi dan dialog,” kata Syahganda.

 

Ia pun mengemukakan, seandainya kekuasaan berpindah secara “paksa” dari Jokowi kepada Prabowo ke depan, dengan model kepemimpinan angkuh yang sama, maka rakyat harus mencari jalannya sendiri.

 

“Pengorganisasian rakyat dalam tema-tema perubahan harus terus dilanjutkan oleh kalangan masyarakat sipil (civil society), baik kalangan kampus, buruh maupun keagamaan,” tandas Syahganda.

 

“Penggalangan dan pengorganisasian rakyat inilah satu-satunya jalan untuk mengimbagi kekuatan dan kekuasaan yang menindas ke depan. Harus ditanamkan dalam diri rakyat bahwa rezim ke depan adalah rezim curang, tanpa moral,” tegas Aktivis senior yang pernah dipenjara di LP Sukamiskin dan Bareskrim Polri ini.

 

Syahganda menilai, SBY telah menyematkan semboyan “In Prabowo We Trust”. Merujuk semboyan aslinya, “In God We Trust”, SBY berusaha mengultuskan Prabowo dan bahkan sejajar Tuhan.

 

“Rakyat harus terus berjuang mengorganisir dirinya membangun kekuatan alternatif. Sebab, era ke depan situasinya mungkin sama buruknya dengan era Jokowi  di mana kekuasaan adalah Tuhan. Mari kita berjuang!” serunya. (ARS)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.