Selasa, 7 Mei 24

DPR Malaysia Serukan Keanggotaan Myanmar di ASEAN Dibekukan

DPR Malaysia Serukan Keanggotaan Myanmar di ASEAN Dibekukan
* Parlemen Malaysia. (Foto: ParsToday)

Buntut dari kudeta militer yang kini berkuasa di Myanmar, puluhan anggota parlemen (DPR) Malaysia serukan keanggotaan Myanmar di ASEAN dibekukan. Bagaimana sikap DPR RI?

Pertumpahan darah yang memakan korban jiwa dalam unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar semakin serius, namun solidaritas dari kalangan wakil rakyat maupun di tataran akar rumput di negara-negara tetangga termasuk Indonesia, tampak tidak menonjol, kata para pengamat.

Di Indonesia, DPR sebagai lembaga representasi suara rakyat lewat pemilihan demokratis sejauh ini belum mengeluarkan sikap resmi, kecuali pernyataan sporadis sejumlah anggota.

Padahal Indonesia juga pernah mengalami situasi yang kurang lebih serupa di zaman Orde Baru.

Hingga hari Rabu (17/03), setidaknya 202 nyawa warga sipil telah melayang sejak perebutan kekuasaan oleh militer pada 1 Februari dari tangan sipil hasil pemilu sah.

Dengan kudeta, sebanyak 440 orang batal duduk di kursi DPR dan 224 di Majelis Tinggi hanya beberapa jam sebelum mereka resmi memulai mewakili rakyat Myanmar.

Peristiwa itu juga menafikan hak jutaan pemilih yang mencoblos dalam pemilu demokratis kedua pada tanggal 8 November 2020.

Mengapa suara dan aksi tenggang rasa di kalangan wakil rakyat dari Indonesia tampak tak terdengar, padahal apa yang terjadi di Myanmar merupakan ancaman bagi ekistensi demokrasi, bahkan menurut palapor PBB, tindakan militer sudah mengarah ke kejahatan kemanusiaan?

“Kalau kenapanya saya tidak tahu. Kalau di dalam perbincangan di antara teman-teman anggota Komisi I, kepedulian mereka bagus, concern (keprihatinan) mereka besar. Cuma mungkin karena ini situasi pandemi, tidak ada bentuk-bentuk aksi yang sifatnya tampil ke permukaan barangkali,” kata anggota Komisi I DPR RI Dr. Sukamta.

Lebih lanjut ia menandaskan para anggota Komisi I DPR, yang antara lain membidangi urusan luar negeri, tak diragukan lagi merasa prihatin dengan peristiwa di Myanmar.

“Paling tidak kita mendorong kepada menteri luar negeri untuk menjadikan Indonesia itu negara yang terus proaktif mendorong demokratisasi yang terjadi di ASEAN atau khusus di Myanmar, karena apa yang terjadi di sana akan berpengaruh kepada keseluruhan negara-negara ASEAN.”

Lewat pernyataan tertulis, Irine Yusiana Roba, anggota lainnya di Komisi I DPR mengaku ia “terus mengupayakan tekanan kolektif”, tanpa menjabarkan bentuk-bentuk tekanan yang dimaksud.

Dalam pernyataan itu pula, Irine yang juga Anggota Parlemen ASEAN untuk HAM (APHR) meyakini bahwa perebutan kekuasaan ketika parlemen baru akan dilantik adalah tindakan semena-mena yang tidak mengakui demokrasi dan prinsip-prinsip ASEAN atau Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara.

“Sehingga negara-negara ASEAN perlu bertindak lebih tegas, seperti misalnya membekukan keanggotaan Myanmar di ASEAN,” katanya dalam pernyataan tertulis yang diberikan kepada BBC News Indonesia pada Senin (15/3/20213).

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah aktif melakukan lobi-lobi untuk membantu mencari penyelesaian atas kemelut di Myanmar.

Puncaknya adalah pertemuan menteri luar negeri ASEAN pada tanggal 2 Maret.

Disepakati ASEAN siap membantu kendati disyaratkan “it takes two to tango” atau diperlukan dua belah pihak untuk bekerja sama.

Uluran tangan lewat jalur diplomasi itu sejauh ini belum ditanggapi oleh penguasa baru Myanmar pimpinan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Setidaknya secara terbuka.

DPR  Malaysia minta Myanmar dibekukan di ASEAN

Jika DPR RI tak mengambil sikap bulat, suara lebih keras justru muncul dari Malaysia, walaupun parlemen negara tetangga sebenarnya telah dibekukan sejak 12 Januari hingga 1 Agustus bersamaan dengan pemberlakuan keadaan darurat nasional karena pandemi Covid-19.

Dalam pernyataan bersama pada 5 Maret, 56 anggota parlemen plus tiga senator memohon kepada negara-negara ASEAN untuk mengambil tindakan tegas terhadap Myanmar “untuk menghentikan tindakan yang telah diambil, sedang diambil pihak junta Myanmar supaya menghentikan pembunuhan terhadap rakyat mereka sendiri yang memprotes pemerintah Myanmar ketika ini,” kata Datuk Seri Wilfred Madius Tangau, salah seorang dari penandatangan pernyataan.

Ditambahkan, masyarakat internasional tidak boleh membiarkan pengunjuk rasa warga sipil meninggal dunia tanpa daya.

“Kami mendesak semua pemerintah anggota ASEAN untuk membekukan keanggotaan Myanmar dalam ASEAN sehingga junta Myanmar menghentikan pembunuhan rakyat mereka sendiri,” papar presiden partai UPKO yang berbasis di Negara Bagian Sabah itu.

Pernyataan sikap bersama 56 dari total 222 anggota parlemen Malaysia juga telah dikirim ke Dubes Myanmar untuk PBB.

Menurutnya, pembekuan keanggotaan Myanmar di ASEAN mempunyai landasan dilihat dari sudut pandang sejarah masuknya Myanmar ke dalam organisasi pada tahun 1997.

Kala itu Myanmar yang dulu dikenal dengan nama Burma masih diperintah militer.

Sempat muncul penentangan keras dari masyarakat internasional jika Myanmar diterima menjadi anggota. Akan tetapi ada pemahaman umum di kalangan negara-negara ASEAN bahwa Myanmar akan mempraktikkan demokrasi dan kendali pemerintahan akan diserahkan ke pihak sipil.

“Tetapi akhirnya setelah pemilu yang lalu, bukan pula keadaan Myanmar semakin bagus tetapi pihak tentara mengambil alih sebagai pemerintah, maka negara-negara ASEAN harus mengambil tindakan tegas dan drastis meminta supaya keanggotaan Myanmar di ASEAN dibekukan sehingga mereka berhenti membunuh rakyat mereka sendiri,” demikian analogi Datuk Seri Wilfred Madius Tangau.

Hingga kini ASEAN dilaporkan belum sampai pada tahap mempertimbangkan pembekuan keanggotaan Myanmar.

Pengamat Myanmar dan penulis buku Thailand, Indonesia and Burma in Comparative Perspective, Dr Priyambudi Sulistiyanto menjelaskan sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa solidaritas kawasan untuk perjuangan rakyat Myanmar menentang junta militer kurang kuat.

“ASEAN sendiri secara kolektif mempunyai masalah di dalam negeri. Kualitas demokrasi dan sistem pemerintahannya berbeda satu dengan yang lain.”

Sebagian negara anggota menganut sistem multipartai, seperti Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia tetapi Laos dan Vietnam menjalankan sistem partai tunggal. Berbeda lagi dengan Brunei Darussalam yang merupakan negara kesultanan.

“Juga ada prinsip-prinsip ASEAN sendiri yang membuat mereka ewuh pakiwuh, tak bisa menggurui negara yang lain,” kata dosen dari Flinders University, Australia itu.

Di Myanmar dengan penduduk sekitar 52 juta jiwa, lautan manusia dari segala lini, mayoritas generasi muda, memenuhi jalan dan tempat umum, baik di kota kecil maupun kota besar seperti Yangon dan Mandalay.

Aksi mereka bertujuan menentang perebutan kekuasaan oleh militer, menuntut pengembalian kekuasaan ke pemerintahan sipil hasil pemilu dan menuntut pembebasan pemimpin nasional Aung San Suu Kyi serta ratusan tahanan lainnya.

Aparat menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet bahkan, menurut utusan khusus PBB, ditemukan pula bukti penggunaan peluru tajam yang jelas melanggar hukum internasional.

Peristiwa jalanan ini juga disokong dengan aksi solidaritas, dalam skala tertentu, di sejumlah negara terutama di Thailand yang telah menampung sekitar dua juta warga Myanmar.

Akhir pekan adalah waktu luang bagi orang Myanmar di perantauan dan juga warga Thailand sendiri untuk menunjukkan kebersamaan.

Di Kuala Lumpur, Malaysia, sekelompok orang melakukan demo diam dengan menyalakan lilin di depan Kedutaan Myanmar pada tanggal 10 Maret malam, tetapi aksi mereka hanya berlangsung selama 20 menit karena dibubarkan oleh polisi. (Red)

Sumber: BBC News

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.