DPR Begal Konstitusi-Kangkangi MK, Selamat Datang Era Otoritarian

Obsessionnews.com – Era otoritarian telah hadir di Indonesia setelah Baleg DPR mengetok palu revisi UU Pilkada untuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah DPR membegal konstitusi menandakan parlemen menjadi operator politik kekuasaan karena menjungkirbalikkan keputusan MK yang seharusnya dieksekusi karena bersifat final dan mengikat malah dimanipulasi.
Peneliti Formappi Lucius Karus menyebutkan, sikap DPR yang mengikuti putusan MA terkait syarat usia minimum kepala daerah bukan melaksanakan putusan MK yang menegaskan batas usia minimum 30 tahun pada masa tahapan menunjukkan kepada siapa DPR memihak. Manuver DPR mengubah putusan MK telah mencoreng wajah Indonesia sebagai negara hukum.
Baca juga: PDIP Curiga DPR Jadi Jalur Ekspres Jokowi Begal Putusan MK
“Kalau DPR dengan segala macam cara mengubah apa yang sudah diputuskan MK, maka kita di ambang kehancuran sebagai negara hukum. Kita memasuki era otoritarian sesungguhnya dengan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Dan DPR bukan lagi wakil rakyat tetapi sekadar sebagai operator politik kekuasaan saja. DPR merendahkan diri sendiri padahal kekuasaannya sangat besar,” kata Lucius kepada Obsessionnews.com di Jakarta, Rabu (21/8).
Selain batas usia yang diputus MK melalui putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, Baleg DPR juga tidak menindaklanjuti putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang sebelumnya menegaskan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat. DPR mengembalikan lagi norma ayat (1) dengan menegaskan ambang batas 20 persen kursi partai politik (parpol) atau gabungan parpol di DPRD sebagai syarat mengusung calon kepala daerah.
Baca juga: DPR Manipulasi Putusan MK, Warganet Bereaksi
Putusan MK yang tadinya membuka ruang parpol nonparlemen mengusung calon juga dipersempit, dengan syarat tertentu. Artinya, Baleg DPR telah membangkangi konstitusi yang telah diputuskan MK. “Baleg nampaknya enggak mau pakai keputusan MK ini. Ketahuan sekali siapa pemesannya ini,” tuturnya.
Lucius melanjutkan, dengan perubahan norma yang dilakukan oleh DPR maka tidak ada kepastian hukum. Terlebih RUU Pilkada sudah tidak dibahas sejak Oktober 2023 dan tak masuk Prolegnas 2024, tetiba dikebut DPR hanya untuk merespons putusan MK. Dari 9 fraksi di DPR, hanya PDIP yang menolak revisi.
“Kalau putusan MK yang sudah final dan mengikat ternyata diutak-atik oleh DPR sehingga tidak langsung dieksekusi, akhirnya kita enggak punya pegangan lagi. Hukum menjadi alat kekuasaan lagi, bukan menjadi alat pemberi keadilan dan kepastian,” keluhnya. (Erwin)