Sabtu, 27 April 24

Demokrat Masih Butuh SBY?

Demokrat Masih Butuh SBY?

Demokrat Masih Butuh SBY?

Sebentar lagi, tepatnya sekitar Mei 2015 Partai Demokrat (PD) bakal mengadakan Musyawarah Nasional. Berbeda dengan partai lain, semisal Golkar dan PPP, untuk PD nyaris tidak muncul figure calon Ketua Umum (Ketum) selain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena itu tidak heran jika juru bicara PD, Ruhut Sitompul mengatakan bahwa SBY akan terpilih secara aklamasi di Munas mendatang. Pertanyaannya adalah apakah PD benar-benar masih membutuhkan sosok SBY?

Tidak hanya mengatakan bahwa SBY akan terpilih secara aklamasi di Munas, Ruhut pun menjamin bahwa di PD tidak akan terjadi seperti di Golkar (mungkin juga di PPP—red). Benarkah? Memang semua orang tahu bahwa PD dibangun oleh SBY dan partai tersebut selalu diidentikan dengan mantan presiden tersebut. Ketokohan SBY di PD untuk saat ini diakui sulit tergantikan, terlebih setelah mantan Ketum Demokrat Anas Urbaningrum di bui. Dengan lepasnya Anas dari PD, maka faksi-faksi yang dulu agak berseberangan dengan SBY pun kekuatannya melemah.

Memang masih ada Gde Suardika, maupun Saan Mustofa, pendukung berat Anas, tetapi sekarang kekuatan mereka tidak cukup berarti untuk bersaing, apalagi melawan SBY. Kekuatan faksi yang kemungkinan bersebrangan relative sangat lemah, karena itu wajar jika Ruhut sesumbar SBY bakal terpilih secara aklamasi. Hanya persoalannya kita sekarang kembalikan kepada PD sendiri, kalau mereka menganggap masih butuh SBY. Untuk apa? Untuk figure pemersatu, ya itu sangat jelas. Tetapi untuk memenangkan partai di Pemilu 2019, rasanya sangat berlebihan.

Boleh saja saat ini SBY dan PD menjadi gadis cantik jelita yang tengah diperebutkan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). SBY dan PD sekarang benar-benar tengah menjadi primadona, tetapi saya kira ini hanya berlaku sementara saja dan tidak akan bertahan lama. Kalau semua partai yang tergabung dalam dua koalisi yang berbeda pandangan itu sadar atau kemudian membubarkan koalisi-koalisian atau blok-blokan. Niscaya kemolekan SBY dan PD tidak menarik lagi. Dan tidak akan dibutuhkan lagi.

Di saat SBY dan PD tidak menarik lagi, apa yang dapat dijual? Sementara kita tahu, bahwa PD sudah terlanjur tercemar oleh kebrengsekan para oknum petingginya yang terlibat korupsi. Di saat SBY masih punya kekuasaan—jadi Presiden—PD suaranya melorot di bawah Gerindra. Pertanyaan apalagi sekarang, di saat kekuasaan tidak lagi melingkupi PD. Tentulah sangat berat dan akan berat sekali untuk mengembalikan performa PD seperti di Pemilu 2009.

Harapan boleh saja, dan setiap orang haruslah punya harapan. Namun untuk kembali meraih apa yang sudah lewat, rasanya nyaris tidak mungkin. Bicara peluang, tentu saja ada, salah satu syaratnya jika KMP dan KIH tetap bertahan. Jika kedua kelompok tersebut masih berkonflik SBY dan PD dapat berdiri di dua kaki, dan dapat meraih keuntungan simpati public. Namun jika mereka  sadar akan kerugian atas kengototan mereka, dan akhirnya bubar serta focus berbenah diri. Maka pupuslah harapan PD dapat meraih public lebih lanjut.

Jadi dapat diartikan bahwa kebutuhan PD terhadap SBY adalah hanya untuk alat penyatu saja, bukan untuk menarik pemilih. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa SBY mesti harus menjadi Ketum PD, kalau sekedar menjadi pemersatu? Mengapa tidak memilih atau mengambil tokoh muda lain yang dianggap mampu membawa perubahan terhadap PD? Akhirnya, terserah saja kepada PD sendiri. (Arief Turatno)

 

Related posts