Jumat, 31 Maret 23

Tanpa Petani Tidak Ada Swasembada Pangan

Tanpa Petani Tidak Ada Swasembada Pangan

Jakarta, Obsessionnews – Pemerintah tidak cukup untuk melindungi konsumen dan petani dari permainan harga maupun satuan komoditas impor pangan yang diciptakan mafia perdagangan hanya dengan menyerahkan pada optimisme petani dan kebijakan pemerintah kemudian menetapkan peraturan presiden (Perpres), yang merupakan amanat dari Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2013 tanpa pemerintah menaruh keberpihakan kepada petani.

“Tidak cukup pada Perpres,” tegas Ketua Umum Lembaga Informasi dan Komunikasi Pembangunan Solidaritas Angkatan 1966 (Lintasan ’66) di Jakarta, Sabtu (18/4/2015).

Ketua Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang pangan, Fransiscus Welirang (Franky), mengakui jika kedaulatan pangan perlu disuarakan terus menerus agar terbangun nasionalisme dan revolusi mental petani, sesuai dengan yang diharapkan Presiden Jokowi semasa kampanye Pilpres 2014.

“Tapi sayangnya, kedaulatan pangan itu masih pada tataran jargon belaka. Pemerintah belum mampu memposisikan kedaulatan pangan secara pasti, saat hakikat kedaulatan itu adalah hak konstitusi petani untuk menentukan masa depannya,” tandas CEO PT Indofood Sukses Makmur Tbk.

Franky pun menyoroti data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, dimana datanya diduga banyak penggelembungan. Seperti luas lahan pertanian, serta produksi gabah dan jagung. Produksi padi 70 juta ton gabah kering panen (GKP), menghasilkan keuntungan atau kelebihan pendapatan (rendemen) jenis katul 40% sejumlah 28 juta ton dan beras 60% sejumlah 42 juta ton.

“Dengan produksi padi 5 ton per hektar dari luas tanam 14 juta hektar, dihubungkan dengan populasi penduduk tahun 2014 seputar 250 juta jiwa, berarti kebutuhan beras 168 kilogram perorang per tahun. Akan tetapi komitmen data BPS justru tercatat rata-rata per tahun dengan dua setengah panen adalah seluas 5,6 juta hektar,” paparnya.

Padahal, lanjut Franky, dari seluas tanam atau sawah 5,6 juta hektar itu terdiri dari lahan beririgasi hanya 3 juta hektar dan 60% beririgasi rusak seluas 1,2 juta hektar. “Artinya hanya 4,2 juta hektar luas tanam itu, tapi dalam data BPS digelembungkan 1,4 juta hektar menjadi 5,6 juta hektar. Pantas saja jika data impor beras tahun 2014 sebanyak 830 ribu ton beras,” ungkapnya.

Begitu juga dalam menyoroti konsumsi beras penduduk yang realitanya membutuhkan 168 kilogram perorang pertahun. Tapi, menurut dia, data BPS menghitung kebutuhan beras secara bulat itu 466,7 gram perorang perhari untuk sekali makan membutuhkan beras 156 gram perorang, atau untuk 3 kali makan membutuhkan 225 gram perorang perhari. “Di sini konsumsi beras dari data BPS justru digelembungkan 141,7 gram perorang perhari,” bebernya.

Untuk jagung, jelas Franky, data BPS mencatat produksinya 18 juta ton pipil kering pertahun. Tapi untuk 40 juta orang yang makan jagung hanya membutuhkan 14 juta ton pertahun, terdapat penggelembungan 4 juta ton pertahun. “Sehingga pantas jika data impor jagung tahun 2014 sejumlah 3,254 ton, karena produksi dari luas lahan 3,6 juta hektar hanya menghasilkan 5 ton perhektar. Ketika data itu dikejar, yang hasil survey kemudian ditutup dan tidak lagi dipublish. Wajar saja jika petani tak akan pernah kaya,” keluhnya.

Sementara itu Ketua Umum DPP Serikat Tani Islam Indonesia (STII) Dr Ir Abdullah Puteh sebagai narasumber juga, mengakui concern terhadap 30% populasi penduduk yang kaum petani tapi tidak bisa hidup sejahtera. Sementara menurut hematnya, pemberian bantuan berupa hand traktor dari pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena lahan sawah pertanian di Indonesia tidak semua datar.

Menurut mantan Gubernur Aceh ini, membangun banyak bendungan sudah jelas tidak akan mampu mengaliri lahan sawah yang letaknya dibukit-bukit atau dilereng pengunungan. “Pola subik yang ada di Bali mestinya dijadikan acuan saja, dimaksud agar berlakunya sistem pertanian yang komprehenship,” ujarnya.

Abdullah Puteh juga mengkritisi dengan masih diterapkannya sistem pembangunan pertanian yang sentralistik, dimana kebijakannya tidaklah memperhatikan realita adanya perbedaan sifat lahan di setiap daerah. “Saya masih berharap implementasi otonomi daerah berlaku juga untuk diterapkan dalam pembangunan pertanian di daerah. Tanpa ini, tentunya pembangunan pertanian akan berjalan timpang dan kurang adil,” terangnya.

Pasalnya, lanjut dia, tidak cukup bagi kelompok petani hanya diberi hand traktor dan dengan membangun banyak bendungan, apabila lahan pertanian di daerah tidak dilakukan dengan cara pendekatan otonomi daerah yang hakiki.

Lebih lanjut, Franky mengeluhkan duduk persoalan pupuk bersubsidi yang pada realitanya, menurutnya, petani itu tidak mempersoalkan jika pupuk tidak disubsidi. “Yang dibutuhkan petani jika musim tanam dan butuh pupuk, harusnya tersedia. Tapi karena satu dan lain hal saat petani butuh pupuk, tiba-tiba tidak tersedia, malah terjadi kelangkaan,” tutur dia.

“Tentu, jajaran direksi PT Pupuk Indonesia harus bertanggungjawab pada konteks ketersediaan pupuk saat petani membutuhkan. Nampaknya tidak ada persoalan pupuk disubsidi atau tidaknya, petani hanya minta ada pupuknya,” tambahnya

Ia pun menegaskan, perlunya peran koperasi dalam rangka pengadaan pupuk bagi petani. “Tapi koperasi harus dibenahi. Selama legalitasnya cuma dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dan bukan dari Kementerian Hukum dan HAM, azas legal standingnya tentu tidaklah kuat berdasarkan hukumnya. Koperasi menjadi illegal,” tegasnya.

Teddy Syamsuri menyimpulkan, pihak pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap nasib petani secara tepat dan benar. Pada tataran realita jika suatu daerah sedang membangun kawasan industri, para petani di daerah itu lalu berpindah kerja ke industri tersebut, yang akibatnya jumlah petani semakin tergerus karena tidak lagi mampu mempertahankan dirinya sebagai petani dari kesulitan hidup.

“Maka cetusan tanpa petani janganlah bermimpi ada swasembada pangan, sebagai pernyataan tegas dari diskusi yang kami gelar ini. Hendaknya dijadikan evaluasi pihak pemerintah terkait,” pungkas Ketua Umum Lintasan ’66. (Asma)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.