Sisi Terang dari OSO yang Tidak Terbaca

Wiranto Gagal Melihat ‘Sisi Gelap’-nya OSO Oleh: Derek Manangka, Wartawan Senior Menjelang Pilpres 2009, seorang yang mengaku utusan atau orang kepercayaan OSO (Oesman Sapta Odang) mengajak saya untuk menjadi Pemimpin Redaksi harian “The Straits Time” Singapore edisi Indonesia. Saat mengajak, sang utusan belum mau menyebut nama OSO sebagai investor. Saya diajaknya, sebab setelah melepas jabatan Pemred RCTI di tahun 2005, kami pernah bertemu. Salah satu jawaban saya yang melekat di memorinya dari pertemuan kami adalah saya masih mau di media, asalkan yang berbahasa Inggris. Tentu saja dengan beberapa catatan, berbagai alasan pribadi maupun profesional. Singkat cerita setelah ketertarikan itu, saya dipertemukan dengan OSO di salah satu ruang kantornya, di Menara Rajawali, kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Namun sebelum bertemu, saat masih berada di dalam lift, menuju ke ruang OSO, dia mewanti-wanti agar jangan sampai saya membatalkan keputusan ketertarikan pada menit-menit terakhir. “Jangan sampai Bang Derek mundur hanya karena yang jadi investor, mungkin reputasinya bermasalah di mata abang,” pinta sang penghubung. “Emangnya siapa bosnya…?” bertanya saya kepada Dodi Abdulkadir, seorang pengacara yang saya kenal di tahun 2003 dan menjadi penghubung OSO.. Saya memang tidak pernah mendesak Dodi mengungkapkan siapa investor yang dia maksud. Terutama setelah Dodi secara diplomatis mengelak menjawab pertanyaan identitas sang investor pada awal pertemuan. Kami berkenalan, ketika sama-sama 'menangani ' kasus “L/C Fiktif”, Bank BNI. Yang dituduh sebagai penyebab munculnya kerugian negara sebesar Rp. 1,7 triliun, seorang warga negara Belanda keturunan Indonesia, berdarah Manado, Pauline Lumowa. Dodi menangani aspek hukumnya, saya dari sisi “siapa-siapa yang patut menjadi sumber berita”. Kerja sama Dodi dan saya cukup berhasil. Yakni membukakan pintu untuk bisa menemui dan mewawancarai Pauline Lumowa yang bersembunyi di Singapura. Misi saya misi kewartawanan, pemburu berita. Informasi Dodi saya gabungkan dengan info Harry Tanoe, Dirut RCTI. Informasi Dodi yang tidak utuh, siapa orang Jakarta yang punya kontak langsung dengan Pauline Lumowa di Singapura, saya lengkapi dengan info HT. Bos RCTI ini menjamin, kalau saya terbang ke Singapura, akan ada orang yang dia kenal baik, membawa saya ke tempat Pauline Lumowa bersembunyi. Setelah bertemu OSO dan mempertegas kesediaan, oleh Dodi saya diduetkan dengan Ponti Carolus, seorang wartawan muda dari tim yang membidani penerbitan majalah “Playboy” edisi Indonesia. Majalah yang menampilkan wanita-wanita bertelanjang bulat itu akhirnya dilarang terbit di Indonesia. Ponti yang ditunjuk sebagai CEO dari perusahaan yang akan mengelola “The Straits Time” edisi Indonesia, kemudian membawa saya ke Singapura. Bertemu dengan “petinggi” suratkabar berbahasa Inggris tersebut. Kami selalu menggunakan fasilitas tiket gratis atau promo Lion Air. Antara lain karena katanya di perusahaan penerbangan swasta itu OSO memiliki saham. Dalam dua bulan di tahun itu, tidak kurang dari tiga kali Ponti dan saya ke Singapura. Sesuai strategi bisnis hanya beberapa halaman dari edisi Singapura (internasional) yang akan dicetak secara simultan atau jarak jauh di Jakarta. Sasaran pertama pembaca Jakarta dan perusahaan-perusahaan besar yang banyak beriklan di media-media mainstream. Setelah Jakarta, edisi Indonesia akan masuk ke Surabaya, Medan atau sesuai dengan kota-kota yang masuk dalam lingkaran SRI (Survey Research Indonesia). Dalam edisi Indonesia tersebut direncanakan disisipkan sejumlah berita lokal (Jakarta atau Nusantara). Pengolahan berita lokal itu menjadi tanggung jawab utama saya. Melalui jaringan Dodi Abdulkadir, kantor “The Straits Time” edisi Indonesia berkantor di sebuah ruko mewah, eksklusif, berlantai empat, bagian dari Gedung Anugerah. Masih di kompleks Mega Kuningan. Jaraknya dari kantor OSO di Menara Rajawali hanya sekitar 400 meter. Kantor tempat kami bekerja itu katanya milik Wijanarko Puspoyo, bekas Dirut Bulog yang dipenjara karena kasus korupsi. Wijanarko sendiri yang politisi PDIP dan mantan kader Golkar merupakan salah seorang “client” Dodi Abdulkadir. Selama sekitar sebulan, uji coba cetak jarak jauh dilakukan. Saya akhirnya menyerah, tidak bersedia lagi melanjut kerja sama dengan OSO. Alasannya banyak. Mulai dari kesulitan mengunduh file, sampai dengan sifat OSO yang suka menebar janji dan berbahasa kasar dan arogan. Untuk mengunduh materi (download file) edisi siap cetak “The Straits Time” dilakukan mulai pukul 12.00 tengah malam. Sebab pada jam itu, semua proses pembuatan edisi keesokan harinya, sudah siap naik cetak pada pukul 01:00 waktu Singapura. Mengunduh bisa memakan waktu hingga 8 jam. Tergantung sinyal internet. Total waktu kerja bisa sampai jam sembilan pagi. Karena masih ada waktu yang digunakan untuk pembuatan “plate”. Belum lagi waktu dan pengiriman “plate” sebagai materi cetakan ke percetakan di kawasan Pulo Gadung. Janji-janji OSO saya simpulkan sendiri lebh banyak bersifat PHP (Pemberi Harapan Palsu). Dukungan dana dari OSO sebagai investor hanya enak didengar. Di atas kertas OSO merupakan investor. Tapi untuk kelancaran dana investasi, Dodi, Ponti dan saya yang disuruh putar otak. Pada akhirnya konsep menerbitkan edisi Indonesia itu pembiayaannya sebisa mungkin tidak mengganggu kantong dan pundi-pundi OSO. Secara empat mata OSO juga menjanjikan dana operasional yang lebih besar dari gaji resmi bulanan. Tapi dari bahasa tubuhnya, yang saya tangkap tidak demikian. Saya makin ragu atas janji tersebut, setelah sejumlah karyawan yang sudah lebih dulu bergabung bercurhat saat bertemu di “food court” gedung Menara Rajawali. Seorang pilot pesawat jet pribadi OSO sempat membuat saya bingung dengan kata-katanya yang kurang lebih sebagai berikut : ":...mudah-mudahan tanggal 90, gaji saya sudah akan ditransfer...." Dan yang tidak kalah membingungkan kosa kata yang tidak pantas diucapkan oleh seorang bos, sering keluar dari mulut OSO mana kala melampiaskan rasa kecewanya kepada anak buah. Kalau sudah begitu, saya langsung teringat kepada para mantan bos di perusahaan media sebelumnya. Seperti Sjamsoeddin Lubis, pemilik “Selecta Group”, HG Rorimpandey (“PU Harian Sinar Harapan”), Surya Paloh (“Media Indonesia”/MetrroTV) dan Harry Tanoe (RCTI/MNC). Mereka semua sebagai manusia punya kekurangan. Tapi kelebihan mereka, perbedaan mereka sebagai pemilik media dengan OSO terletak pada cara dan karakter. Bagi saya, dalam konteks ini, mereka perlu diapresiasi. Karena mereka tidak pernah mengeluarkan kalimat amarah yang bernada melecehkan apalagi menunjukkan kesombongan. Setinggi apapun kemarahan yang menyelimuti diri mereka, tidak pernah terdengar kata dan ucapan: “pecat” atau "makian". Rasa respek saya terhadap orang kaya ini (OSO) terhapus ketika di sebuah pertemuan empat mata, dia perlihatkan bahasa tubuh yang seolah-olah martabat kewartawanan saya bisa dia beli. Atau saya yang butuh pekerjaan dan uang dari dia. Saya redam ketersinggungan saya. Watak sombong saya juga hampir meledak. Di mana saya hampir menantangnya untuk duel. Saya pikir, sekali-kali bolehlah saya duel dengan orang kaya berusia hampir sama. Mata saya sudah menatapnya tajam, menantang, lalu saya ingat di luar sana, ada pengawal pibadinya yang punya pistol dan lebih terlatih berkelahi. Lagi pula saya berada di dalam propertinya. Tapi saya kemudian menurunkan emosi, taktik yang saya gunakan kalau main golf. Ah sudahlah. “Sayonara bos,” ujar saya dalam hati dan semenjak mengucapkan dua kata itu di dalam batin, keesokan harinya saya temui Dodi Abdulkadir di kantor “Law Firm”nya di kawasan Dharmawangsa Square. Tujuannya untuk pamitan sekaligus berterima kasih. Berkat jasa baik Dodi saya telah mendapatkan pengalaman dan pelajaran berharga dari OSO. Sisi baiknya saya ambil, sementara yang buruk, itulah yang dibuang. Sebab secara idiel, gagasan Dodi yang diterima OSO untuk menerbitkan “The Straits Times” edisi Indonesia, sangat baik dan visioner. Cara atau konsep ini, secara bertahap akan memperkecil peluang media milik pemerintah negara asing, tetangga terdekat memberitakan hal-hal yang bersifat kontraproduktif bagi Indonesia. Patut dicatat, situasi Indonesia sembilan tahun lalu sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Disadari atau tidak, setelah 10 tahun reformas 1998, liputan-liputan harian Singapura itu tentang Indonesia tidak selamanya produktif bagi kepentingan nasional dan bangsa Indonesia. Hanya memang media itu sangat pandai dan cerdik membungkus liputannya. Sehingga sisi negatif atau kontrapodukitifya hanya bisa dilihat melalui kepekaan dan penciuman indra keenam sampai ketujuh. Harian itu boleh dibilang punya agenda tersembunyi. Iklan-iklan konsumtifnya seperti properti, apartemen, yang ditujukan bagi konsumen Indonesia, jelas ingin menjaring uang dari Indonesia “terbang” ke Singapura. Dengan konsep Dodi dan OSO, otomatis konsumerisme itu tersaring oleh tim bisnis dan editorial kami. Saya tergerak menulis mengungkapkan pengalaman saya dengan OSO, manis bercampur pahit, sebab berita perpecahan di Partai Hanura yang begitu ramai, cukup mengagetkan, melibatan seorang tokoh. OSO adalah tokoh. Tokoh ini bikin masalah. Terlepas apakah OSO benar, tetapi sebagai tokoh, dia seharusnya menjadi peredam masalah. Makin tua, mestinya makin teduh. OSO juga orang sudah kaya. Tirulah perilaku orang kaya yang tidak suka bikin masalah. Saya seperti dibangunkan untuk “menegur” dan mengingatkannya. Beberapa jam sebelumnya saya membaca di postingan Facebook oleh Slamet Ginting, wartawan “Republika” yang sempat bekerja di “Media Indonesia”. Kata-katanya tidak bombastis dan panjang. Tapi jelas merupakan sebuah kritik halus tapi menusuk jantung dan mengena. Karena wartawan muda ini menilai di mana ada OSO di situ terjadi keributan. Saya anggap ungkapan wartawan asal Sumatera ini sangat perlu diterima. OSO yang kadang-kadang mengaku orang Celebes, Borneo, tapi juga suka mengklaim sebagai “urang awak”, Padang, Sumatera Barat, patut tahu bagaimana anak muda menilai perangainya. Yah memang benar. Menurut Mr. Google, OSO sebelum kisruh di Partai Hanura ini juga pernah berselisih dengan Prabowo Subianto dalam kepengurusan HKTI. OSO juga membentuk KADIN Indonesia tandingan, melawan KADIN pimpinan Suryo Bambang Sulisto. Dan yang tak kurang menggegerkan ketika OSO mengobok-obok DPD RI. OSO secara tak sadar merusak UU. Di mana anggota partai politik tidak boleh menjadi anggota DPD RI. OSO bukan hanya menjadi anggota tapi bahkan merebut pimpinan DPD-RI. Jadilah OSO sebagai pemborong jabatan: Anggota dan Ketua DPD RI, Wakil Ketua MPR-RI, Ketua Umum DPP Hanura ... dan entah apa lagi. Saya khawatir jika Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet dan ada peluang OSO menjadi menteri, jangan-jangan jabatan itu pun dia ambil. Mamamia.... OMG -- Oh My God... , Ada juga yang bertanya, apa resep OSO sehingga mampu "memperdaya" Presiden Joko Widodo ? Cukup banyak pihak yang berseberangan dengannya. Tapi semakin dia memperoleh kepercayaan dari Presiden Joko Widodo. Ini yang membuatnya (mungkin) semakin pede, sekaligus “kurang ajar”? Bayangkan, Jenderal Wiranto sebagai pendiri Hanura, yang sudah legowo memberi kepercayaan kepadanya memimpin Partai Hanura, masih dia ancam untuk dipecat. Kata OSO, kalau Wiranto mau mengakui DPP Partai Hanura yang dipimpin oleh Jenderal Daryatmo, dia (OSO) pun tak segan-segan memecat Wiranto. Hmm, kasihan sama Wiranto yang tidak melihat "sisi gelap" dari OSO. Gile bener atau bener-bener gila negara kita ini ……. Hehehehe. Wassalam. ***** Sumber: Facebook/catatan tengah





























