Jumat, 26 April 24

Selamat Datang di Era ‘New Age of Economic Totalitarianism’

Selamat Datang di Era ‘New Age of Economic Totalitarianism’
* Ilustrasi uang. (Sumber foto: http://www.japantimes.co.jp/news/)

Bayangkan sebuah konsep dunia tanpa mata uang fisik. Hal ini aneh, tetapi nyata. Uang akan dihilangkan dan diganti dengan sistem mata uang digital. Jika seseorang kedapatan membawa uang tunai, dalam hitungan detik uang yang dibawa akan disita tanpa kompensasi apapun. Intinya, di dunia ini tidak ada lagi uang. Semuanya serba digital atau melalui penggunaan mikro chip.

Saat ini, Eropa sementara menuju ke sistem yang dijuluki sebagai The New Age Of Economic Totalitarianism.

Dengan negara-negara Eropa kini terpuruk setelah dihantam krisis moneter, Bank Sentral Eropa mencoba untuk menyusun sebuah kebijakan yang katanya akan diimplementasikan untuk mencegah industri perbankan terjun bebas ke dalam jurang kehancuran. Satu-satunya cara adalah mencegah masyarakat untuk melakukan penarikan uang tunai, dalam situasi dan keadaan apapun.

Berawal dari sinilah ide untuk menghapus uang fisik pertama kali diwacanakan.

18 Mei 2015 di Mandarin Oriental Hyde Park Knightsbridge, London, Inggris, perwakilan Bank of England, Federal Reserve, Bank Sentral Swiss dan Bank Sentral Denmark, menggelar sebuah pertemuan rahasia. Disebut rahasia, karena memang demikian sifatnya. Tidak ada liputan satu pun media terkait pertemuan tersebut. Adapun agenda tunggal yang diusung adalah bagaimana mempercepat implementasi penghapusan uang tunai, untuk kemudian digantikan dengan digital currency.

Martin Armstrong adalah seorang ahli ekonomi yang menjadi whistle blower pertemuan ini, Meski “nyanyian” Armstrong sepi peminat, tak bisa disangkal bahwa ia adalah ahli yang berhasil memprediksi terjadinya krisis ekonomi dahsyat yang dikenal dengan sebutan  The Black Monday Crash 1987, serta krisis moneter yang mengguncang Rusia tahun 1998 silam.

Aneh memang. Kenapa sebuah kebijakan ekonomi ataupun moneter, tidak diumumkan secara terbuka, tetapi malah dibahas dalam sebuah pertemuan rahasia.

Kenneth Rogoff dari Harvard University dan Willem Buiter selaku direktur ekonomi Citigrup, merupakan dua sosok penting dalam rapat tersebut. Merekalah yang membawakan presentasi di depan para elit bank sentral, mengenai “pentingnya” kebijakan cashless society tersebut.

Jika kebijakan ini jadi diberlakukan, maka semua transaksi jual beli harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pemerintah. Tanpa adanya lampu hijau dari otoritas setempat, maka setiap warga negara tidak diperbolehkan membeli ataupun menjual.

Menurut Willem Buiter, jika uang fisik tidak lagi digunakan maka persoalan Bank Sentral di seluruh dunia tentang suku bunga negatif, akan otomatis terpecahkan.

Sementara itu, Kenneth Rogoff mengatakan bahwa penghapusan uang fisik dibuat untuk menghindari berbagai kejahatan, terkait dengan penggelapan pajak dan transaksi-transaksi keuangan ilegal lain. Di samping itu, tidak akan terjadi lagi penarikan dana tunai besar-besaran ketika suku bunga mendekati nol.

Tidak jauh berbeda dengan kedua tokoh ekonomi tersebut, mantan ekonom Bank of England, Jim Leaviss, juga menulis sebuah artikel yang diterbitkan oleh surat kabar London, Telegraph. Dalam tulisannya, Leaviss mengatakan, masyarakat tanpa uang  hanya bisa direalisasikan jika bank-bank pemerintah di seluruh dunia memaksa masyarakat untuk masuk ke dalam sistem ini, dengan kewenangan yang mereka miliki.

Saat ini beberapa bank-bank besar di Amerika dan Inggris telah menerapkan kebijakan ketat terhadap penarikan atau penyetoran dana tunai dalam jumlah besar. Konon, Departemen Kehakiman Amerika mengeluarkan fatwa kepada industri perbankan untuk segera melapor kepada polisi, jika ada penarikan dana tunai lebih dari 5.000 US Dolar.

Sementara itu, kabarnya warga Perancis tidak boleh lagi membayar tunai di atas 1.000 Euro. Nantinya akan dibuat Polisi Keuangan yang akan menegakkan undang-undang baru tersebut. Mereka memiliki kewenangan untuk menggeledah penumpang kereta api yang bukan warga Perancis, kemudian memeriksa apakah orang yang dicurigai membawa uang tunai dalam jumlah besar. Jika kedapatan, maka uang  tersebut akan langsung disita.

Kalau dicermati, maka kebijakan ini jelas merenggut kebebasan orang per orang, sehingga lebih menyerupai penjajahan ekonomi (economic totalitarianism) ketimbang kebijakan yang membantu dunia perbankan dalam meminimalisasi berbagai tindak kejahatan ekonomi.

JP Morgan Chase telah mengirimkan surat kepada setiap nasabah yang memiliki dana besar, di mana dalam surat itu dijelaskan bahwa JP Morgan Chase tidak lagi tertarik dengan dana-dana yang didepositokan. Tidak hanya itu saja, pihak bank menegaskan bahwa mulai 1 Mei 2015 silam, setiap nasabah dengan jumlah deposito besar akan dikenakkan denda tahunan sebesar 1% dari jumlah total deposito yang mereka simpan.

Adapun denda tersebut disebutkan sebagai biaya administrasi. Sederhananya, deposito akan dikenakan suku bunga negatif. Nasabah malah bisa kehilangan uangnya jika terus menerus diendapkan di dalam bank.

Hasilnya sangat jelas. Semua nasabah – kebanyakan di antaranya adalah institusi keuangan – akhirnya memindahkan deposito mereka dari JP Morgan Chase. Tujuan kebijakan ini adalah “membuang” dana sejumlah 100 miliar US Dolar dari bank tersebut.

Alhasil, JP Morgan Chase disinyalir telah berhasil membuang 20% dari target 100 miliar US Dolar.

Mari kita berhenti sejenak dan berpikir. Tidakkah langkah JP Morgan Chase ini aneh bin ajaib?

Normalnya, semua bank selalu menawarkan bunga kepada nasabah. Namun kenyataannya adalah saat ini dunia sedang  memasuki era baru keuangan yang disebut surplus era. Apa yang disebut “Suku Bunga Negatif” sedang terjadi di dalam industri perbankan Eropa.

Bank Sentral Eropa (ECB) saat ini tengah berjuang supaya bisa bertahan. Bunga deposito hanya dipatok pada angka 0,2%.

Sementara itu Bank Sentral Swiss yang sedang cemas menguatnya mata uang Swiss, Franc, bisa membahayakan neraca perdagangan negara itu, menetapkan bunga deposito sebesar 0,75%.

21 April 2015, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rate Euribor – Euro interbank offered -, berada pada angka negatif. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan industri perbankan dari jurang kebangkrutan adalah menerapkan kebijakan bunga deposito negatif atau di bawah nol.

Sebetulnya bukan hal aneh dengan suku bunga negatif, apalagi jika itu dilakukan supaya suku bunga berada di bawah angka inflasi. Jika sebuah bank menekan suku bunga di bawah angka laju inflasi untuk menstimulasi pertumbuhan, maka nasabah akan diuntungkan. Pinjaman akan menjadi lebih murah.

Persoalannya akan menjadi sangat aneh, jika kemudian suku bunga dibuat jadi negatif, tanpa terlebih dahulu menghitung laju inflasi. Secara teori, menetapkan suku bunga negatif hanya akan membuat nasabah memindahkan deposito mereka ke tempat lain yang menawarkan bunga menguntungkan. Atau bisa saja, orang-orang akan kembali ke cara kuno yaitu menyimpan uang di bawah kasur, supaya tidak membayar pinalti atas uang yang mereka depositokan.

Hanya saja, masih ada nasabah yang mau mengambil risiko uang mereka dipotong karena berpikir tetap lebih aman menyimpan uang di bank, ketimbang menyimpannya di dalam rumah mereka sendiri.

Investor bisa mengambil risiko dengan membeli saham jika mereka yakin, bahwa suku bunga akan terus turun. Toh, jika turun, maka saham bisa dijual kembali dengan keuntungan yang sudah jelas di depan mata. Beli di atas, jual di bawah. Sementara investor global juga akan “rela” menaruh uang mereka pada obligasi negatif suatu negara, dengan berbekal keyakinan bahwa nilai mata uang negara tersebut bisa kembali rebound.

Tapi sekarang perhatikan bagian yang paling menarik dari hal ini. Ada tanda-tanda di mana mulai muncul strategi baru sebagi tandingan suku bunga negative, yaitu menarik semua bentuk mata uang fisik dari peredaran, sampai menghapuskannya sama sekali.

Nantinya hanya setiap individu masyarakat yang dianggap tidak patuh pada kebijakan ini akan dengan mudah diidentifikasi, sebelum dimasukkan ke daftar hitam di mana yang bersangkutan tidak bisa lagi melakukan transaksi ekonomi apapun.

Baik Buiter maupun Rogoff, keduanya memiliki latar belakang akademisi dan bukan praktisi. Mereka percaya bahwa menekan suku bunga adalah satu-satunya “jalan menuju Roma”. Menurut mereka juga, jika uang tidak ada lagi, pemerintah sebuah negara masih bisa menerapkan kebijakan suku bunga nol dan dalam waktu bersamaan tetap bisa memperoleh stimulus moneter yang dibutuhkan.

Alasan yang aneh sebetulnya. Tapi begitulah akademisi yang selalu bersandar pada teori ekonomi, yang sayangnya hari ini sudah menjadi celana tua, alias usang. Jika semua persoalan ekonomi ditangani secara  Text Book Theraphy, maka persoalan tidak kunjung selesai karena penanganannya salah.

Namun bagaimanapun juga, dunia harus bersiap jika akhirnya ide Buiter dan Rogoff ternyata memang diimplementasikan. Bisa jadi memang kita sedang menuju ke sistem pemerintahan tunggal – one world order – di mana pada akhirnya semua dikontrol oleh satu mega sistem, serta satu tahta pemerintahan dunia.

Itu berarti ekonomi dan keuangan, berjalan satu langkah lebih dekat ke arah Lembah Armageddon.  (Samuel M.J Karwur, A New Dimension Bearer)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.