Akhir Polemik Sengketa Empat Pulau, Pemerintah Tetapkan Sah Milik Aceh

Akhir Polemik Sengketa Empat Pulau, Pemerintah Tetapkan Sah Milik Aceh
Ilustrasi - Empat Pulau yang sempat menjadi sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. (Foto: Google Earth)

Obsessionnews.com - Beberapa waktu lalu, polemik sengketa wilayah antara dua provinsi di Indonesia kembali mencuat, kali ini melibatkan empat pulau kecil yang berada di perbatasan administratif antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara). Keempat pulau yang dipermasalahkan tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil).

Perselisihan ini bukan hanya soal batas wilayah, tetapi juga menyangkut sejarah, kepentingan administratif, serta potensi geografis yang dimiliki oleh pulau-pulau tersebut. Masing-masing pihak mengklaim memiliki bukti kuat atas keabsahan wilayahnya. Panasnya polemik ini bahkan sempat menguras emosi, mengundang aksi protes, hingga akhirnya menuntut kehadiran langsung Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan.

Secara kronologi, polemik sengketa ini sebenarnya berawal dari hal yang tampak sederhana: data administrasi. Pada tahun 2008, pemerintah pusat melakukan pembaruan data wilayah kepulauan. Namun, dalam prosesnya, empat pulau di perbatasan Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah justru tercatat masuk wilayah Sumut. Padahal, menurut sejarah dan kesepakatan lama antara gubernur kedua provinsi sejak 1992, keempat pulau itu berada di bawah administrasi Aceh.

Masalah ini baru benar-benar mencuat ke publik saat Kementerian Dalam Negeri merilis pembaruan kode wilayah pada April 2025, yang kembali menempatkan keempat pulau di bawah Sumut. Tak pelak, masyarakat Aceh merasa dirugikan. Demonstrasi digelar di Banda Aceh, di pulau-pulau yang disengketakan, bahkan petisi daring ramai diteken sebagai bentuk penolakan.

“Saya tinggal di Pulau Panjang sejak kecil. Kami sekolah, berobat, bahkan mencoblos di Aceh. Tapi kenapa sekarang disebut Sumut?” ungkap Azwar, salah satu warga pulau saat aksi protes berlangsung di dermaga Aceh Singkil.

Pemerintah memutuskan empat pulau tersebut sah milik Aceh. (Foto: Istimewa)

 

Akhirnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf bergerak cepat, pada awal Juni 2025, ia melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumut Bobby Nasution. Meski dialog berlangsung terbuka, keputusan final tetap memerlukan intervensi dari pemerintah pusat. Presiden Prabowo pun menggelar rapat terbatas dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Mensesneg Prasetyo Hadi, dan para kepala daerah terkait.

Kuncinya ternyata terletak pada dokumen lama, Surat Keputusan Mendagri tahun 1992 dan kesepakatan tertulis antara dua gubernur saat itu menegaskan bahwa empat pulau tersebut memang milik Aceh. Presiden tak ingin polemik ini berkepanjangan.

“Kita harus kembali pada pijakan hukum dan sejarah,” ujar Mendagri Tito dalam konferensi pers setelah rapat, Selasa (17/6/2025).

Kemendagri mencabut kode wilayah yang sebelumnya menyatakan pulau-pulau itu milik Sumut dan segera memperbarui dalam sistem administrasi nasional.

Di Istana, kesepakatan damai diteken, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut berjabat tangan, disaksikan langsung oleh Presiden. Tak ada gesekan, tak ada saling klaim yang berlarut, semua pihak sepakat: yang terpenting adalah kepentingan rakyat.

Reaksi publik pun hangat. “Ini bukan hanya tentang batas wilayah. Ini tentang rasa keadilan,” kata Teuku Kemal Fasya, dosen dan pengamat sosial dari Aceh.

Gubernur Bobby Nasution juga menegaskan bahwa Sumut menerima keputusan itu dengan lapang dada. “Kami berharap semangat kebersamaan tetap terjaga. Perbedaan wilayah tak boleh memecah kita,” ujarnya.

Kini, keempat pulau itu kembali berada di pelukan Aceh. Tapi lebih dari itu, kisah ini memberi pelajaran penting tentang pentingnya data yang akurat, sejarah yang tak dilupakan, dan pemimpin yang bersedia mendengar. Karena ketika semua pihak duduk bersama, bahkan sengketa wilayah bisa diselesaikan tanpa konflik.(Arfi)