Presiden Meminta Maaf, Cukupkah?

Presiden Meminta Maaf, Cukupkah?
* Ilustrasi minta maaf. (Pixabay)

Oleh: Chandra Purna Irawan, Ketua LBH Pelita Umat

Presiden Joko Widodo kembali meminta maaf di hadapan publik jelang berakhirnya masa jabatan sebagai presiden RI 20 Oktober 2024 mendatang.

Patut diapresiasi atas pernyataan permintaan maaf Presiden, hanya saja kebijakan Presiden selama ini telah mengakibatkan beragam dampak dan dianggap terdapat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, sehingga patut untuk dimintai pertanggungjawabannya. Misalnya terkait KPK, Omnibuslaw, kenaikan BBM, Perppu Ormas, KUHP, konsesi izin tambang bagi ormas keagamaan, kenaikan pajak dan bahan pokok, dan lain sebagainya.

Permintaan maaf tersebut apakah dalam kapasitas pribadi (natuurlijk persoon) atau sebagai Presiden dan Pemerintah? Jika secara pribadi maka tergantung individu rakyat untuk memanfaatkan atau tidak, sementara sebagai kapasitas Presiden dan Pemerintah terdapat mekanisme tersendiri yaitu pertanggungjawaban.

Mengingat Presiden atau Pemerintah memiliki dua kedudukan yaitu sebagai salah satu organ negara dan sebagai administrasi negara. Sebagai organ negara pemerintah bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan sebagai administrasi negara, pemerintah dapat bertindak baik di lapangan pengaturan (regelen) maupun dalam lapangan pelayanan (bestuuren).

Mengutip konsep Van Der Gouw, permohonan maaf Presiden dan Pemerintah dikenal dengan istilah “govermental liability”, yaitu bahwa baik negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun badan-badan lainnya yang memiliki tugas pemerintahan, digolongkan sebagai
badan hukum (rechtspersoon) yang dapat dimintai pertanggungjawabannya baik secara hukum perdata, hukum administrasi apabila melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige handelen tort) dan hukum pidana.

Kenapa diperlukan “goverment liability”? Karena sifat-sifat dan hakikat kekuasaan itu cenderung untuk diselewengkan (power tends to corrupt), maka perlu adanya pertanggungjawaban. Untuk itulah dibutuhkan hukum yang efektif sebagai pengatur kekuasaan. Inilah inti dari pengertian bahwa kekuasaan (pemerintahan) itu harus tunduk pada hukum.