Ketika Negara Kehilangan Haluan

Ketika Negara Kehilangan Haluan

Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., MA, Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebijakan Publik

Krisis kepemimpinan negara sedang terjadi di saat demokrasi sudah mulai berbenah dari hari ke hari. Negara menjadi alat untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi sangat rentan bagi mereka pejuang kekuasaan secara absolut. Melabelkan diri di awal sebagai pejuang politik ternyata hanya sebuah citra dan image yang dibangun, karena misi ternyata menjadi pejuang kekuasaan. Pejuang kekuasaan sangat berdampak buruk terhadap kepemimpinan yang lemah, sehingga lebih cendrung untuk menghabiskan anggaran dengan mudahnya belanja negara. Selain itu sangat gampang memudahkan persoalan negara yang ada hingga akhirnya keputusan cenderung kontroversial dan blunder bahkan tidak ada impact substansial. Pengalaman mengurus negara di tingkat wilayah terendah bukan pula jaminan mampu mengelola negara pada wilayah yang sangat luas dan besar. Kemampuan terhadap memanage institusi adalah hal yang sangat urgensi untuk merekonstruksi sebuah sistem dan aturan yang efektif serta efisien. Bukan hanya sekadar lelucon untuk sekadar menghibur dalam bernegara melainkan sikap egaliter dan elegan dalam menjalani persoalan dan problematika negara.

Di balik perjuangan kekuasaan itu tipologi hanya ada dua, yakni kekuasaan di atas kewenangan dan kekuasaan di atas kesewenang-wenangan. Hal yang sangat identik namun sangat jauh berbeda bila ditelaah lebih detail. Akan berbeda karakter pemimpin yang orientasinya adalah kekuasaan di atas kewenangan dengan yang kekuasaan di atas kesewenang-wenangan. Tentu kekuasaan di atas kewenangan ialah yang mengerti hirarki hukum, konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses pelaksanaan dalam menjalankan tugas terarah, terukur dan terpercaya. Berbeda halnya dengan kekuasaan di atas kesewenang-wenangan akan sangat mudah untuk mencari celah hukum, konstitusi dan undang-undang sehingga sangat kontroversif, destruktif dan konfrontatif. Hal tersebut dapat dibaca melalui arah kebijakan yang ditawarkan ketika pada masa janji kampanye kemudian bertolak belakang realisasi dan implementasi ketika telah memenangkan kontestasi kekuasaan. Hal ini karena kehilangan orisinalitas pemimpin ketika membangun citra yang sangat berlebihan over image, over action, over policy. Lain dijanjikan lain pula yang direalisasikan, lain yang diucapkan lain pula yang dibuktikan, lain yang dibicarakan lain pula yang dimaksudkan begitu seterusnya. Sehingga nalar yang terbangun justru anomali dan nirnalar karena lemahnya etika kepemimpinan.

Ketika negara kehilangan haluan, maka yang terjadi ialah orang-orang yang berada di belakangnya akan sangat mudah mengendalikan melalui invisible hand, secret intervention, exploitation policy. Sehingga tangan-tangan gelap, tangan-tangan Tuhan atau tangan-tangan setan akan merajalela menghisap kekayaan negara. Intervensi yang sangat rahasia dan tertutup sehingga publik tidak tahu sehingga tidak transparan dan cenderung mendisplaykan hal-hal remeh temeh demi menutupi kelemahan negara yang dikelola. Kemudian kebijakan eksploitasi pun terjadi karena kuatnya tekanan para pemain balik layar yang bisa dari latar belakang mana saja entah asing, aseng, mafia, korporasi dan sebagainya mengambil alih agenda kebijakan negara. Di situlah terjadi situasi ketika negara kehilangan haluan dan negara diserahkan bukan pada ahlinya, bukan pada yang komitmen, bukan pada yang amanah, bukan pula kepada yang memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Hal tersebut tidak boleh terus larut dibiarkan, tentu harus direbut kembali melalui jalan konstitusional yang dilegitimasi secara hukum. Keadaan seperti sangatlah berbahaya sangat rentan krisis dan potensi krisis akan dirasakan nantinya yang kemudian terjadi ketidakstabilan negara yang besar sehingga dapat memberikan ancaman.

Ketika negara kehilangan haluan artinya kekuasaan itu sedang berada di atas kesewenang-wenangan penguasa dan para pemimpin yang memiliki kekuatan diatas kekuasaan tersebut. Negara menjadi lemah yang mengakibatkan keadilan sulit ditegakkan, kesejahteraan yang tidak merata, kepercayaan yang semakin punah, keharmonisan yang terus ternodai, kedamaian yang semakin sulit diterapkan, dan kesatuan yang semakin terpolarisasi. Ketidakdewasaan pemimpin negara menjadi akar masalah ketika kekuasaan negara berda dipundaknya, akan tetapi malah sibuk untuk dipermainkan meskipun dengan cara bekerja. Ini yang namanya bekerja tidak visoner, bekerja non esensial, bekerja hanya sekedar rutinitas dan tuntutan dari skenario yang telah mengendalikannya. Beban negara sebetulnya tidak dirasakan olehnya melainkan oleh rakyatnya dan oleh para pemimpin yang lebih bertanggungjawab hanya saja tidak dipercayakan diberi amanah sekaligus tugas kenegaraan disebabkan diserahkan kepada model dan tipe orang-orang yang ingin berkuasa dengan model diatas kesewenang-wenangan. Akan berakibat fatal dan memberikan efek buruk untuk masa depan negara serta kehidupan generasi selanjutnya dalam melanjutkan estafet kepemimpinan kenegaraan. Harus segera ambil tindakan dan sikap arif, bijaksana, egaliter, dan tegas melalui mekanisme yang sesuai koridor hukum.

Dengan demikian krisis keteladanan pemimpin dan hilangnya keadaban kepemimpinan dalam bernegara akan semakin besar. Sebab pemimpinnya saja dengan enteng menggampang-gampangkan sesuatu sehingga efeknya menjadi tidak sistematis, terukur dan transparan. Justru malah bertambah besar persoalan sekaligus probelematika negara yang tak kunjung ada jalan alternatif sekaligus bangunan solutif. Cendrung menghakimi orang lain yang lemah, menyalahkan kepemimpinan masa lalu, dan mengambinghitamkan situasi global yang tidak ada kaitannya dengan model kepemimpinannya. Hal seperti ini tidak baik untuk membangun peradaban model kepemimpinan kebangsaan, karena secara tidak langsung mengedukasi generasi untuk semena-mena, sesukanya, sewenang-wenang, dan sesuai seleranya yang akhirnya banyak menabarak aturan hukum yang ada, dan bahkan melawan rakyatnya sendiri serta menipis antar anak bangsa dengan imoralitas yang tidak disadari saking bengisnya memimpin. Menjadi pelajaran sekaligus hikmah yang kelak tidak boleh lagi terjadi, agar segala sesuatu yang dibangun di negeri ini berdasarkan nilai spritualitas, nilai intelektualitas, dan nilai mentalitas yang mengacu pada filosofi bangsa. Karena memimpin negara itu untuk merepresentasikan rakyatnya, maka perlu menghadirkan kembali pemimpin yang memiliki nilai identik sikap, perilaku, pemikiran, narasi, gagasan, perjuangan, dan pergerakan yang bukan haya terletak pada bungkus kemasan semata. Sehingga ketika negara kehilangan haluan, maka rakyat yang memliki jiwa, raga dan hati yang mulia akan mengingatkan, mengawasi, mengkritisi, dan menasehati pemimpinnya. []