Politik Memang Keras, Babah Alun Saja yang Lembek

Oleh: Ahmad Khozinudin, Pemerhati Politik dan Kebangsaan "Karena melihat pergolakan politik itu kasar dan berat menurut saya, dan saya nggak akan bisa mengikuti. oleh sebab itu lebih baik saya meletakkan jabatan dan mengundurkan diri dengan baik.” [Jusuf Hamka, 11/8/2024] Pasca Airlangga Hartarto mundur dari posisi Ketum Golkar, politisi Golkar Jusuf Hamka atau juga dikenal dengan nama Babah Alun juga ikut mundur. Dia mengaku takut terzolimi seperti Airlangga Hartarto yang baru saja mundur dari kursi Ketua Umum partai berlambang Pohon Beringin itu. Sampai hari ini publik belum mendapatkan alasan pasti kenapa Airlangga mundur. Secara logika aneh dan ajaib, Ketum yang sukses memenangkan Golkar di Pemilu 2024 di posisi runer up itu malah mundur. Tidak masuk akal pula, kalau alasan mundur untuk menjaga stabilitas transisi kekuasan dari Jokowi ke Prabowo Gibran. Karena secara konstitusi, mekanisme transisi itu ada di sidang umum MPR. Tak ada peran partai politik, termasuk tak ada kaitannya dengan posisi Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar. Di internal Golkar tak tampak ada kesedihan kader atas mundurnya Golkar. Para Petinggi Golkar, saat konpers terkait pengunduran diri Airlangga Hartarto yang dipimpin Mutia Hafidz, tak menampakkan wajah sedih. Hanya ada wajah tegang. Ketegangan itu bisa dimaklumi dalam dua perspektif: Pertama, ketegangan bagi faksi Golkar kubu kontra Airlangga yang menyiratkan akan ada pertarungan lanjutan di internal Golkar untuk menuju kursi Golkar 1. Pengunduran diri Airlangga tentu kabar baik karena membuka peluang untuk menuju Golkar 1. Boleh jadi kubu kontra Airlangga ini justru bahagia. Tak peduli ada intervensi kekuasaan dalam pengunduran diri Airlangga, kubu yang ngebet ingin posisi Golkar satu ini jelas senang dengan keputusan Airlangga mundur dari Golkar, meski kubu ini harus berkhianat kepada partai dengan membuka ruang intervensi bagi penguasa untuk mengobok-obok Golkar. Kedua, ketegangan kubu faksi pro Airlangga yang selama ini mendapatkan previlege dari Airlangga, yang menyiratkan akan ada pertarungan lanjutan di internal Golkar untuk dapat menempel dan kembali punya peran pada penguasa baru ditubuh Golkar. Kubu Airlangga ini hanya setia pada kekuasaan, bukan pada Airlangga. Setelah posisi Ketum lepas dari Airlangga, maka kubu ini akan mencari jalan agar tetap bisa menempel pada posisi Ketum yang baru. Kubu ini juga pragmatis, meski harus berkhianat kepada partai dengan membuka ruang intervensi bagi penguasa untuk mengobok-obok Golkar, tak mengapa asal kembali mendapatkan posisi di Golkar dan pemerintahan. Jadi yang sedih dan menangis itu hanya Babah Alun. Politik itu memang keras, semua politisi Golkar dan partai lainnya menyadari itu. Jusuf Hamka saja yang lembek. Memang, pasca Airlangga mundur, peluang Jusuf Hamka maju di Pilkada, baik Jakarta maupun Jawa Barat otomatis hangus. Jadi, tanpa menyatakan mundur pun, Yusuf Hamka pasti terlempar dari bursa Pilkada, karena jangkar Yusuf Hamka yakni Airlangga Hartarto telah terlempar duluan dari Golkar. Lalu apa faktor Airlangga terlempar dari posisi Ketum Golkar? Jawabannya sederhana, intervensi kekuasan, tekanan kekuasan, intervensi rezim Jokowi. Sudah, tak perlu didebat lagi. []