Istana Panik, Menkeu Bersama Menko Perekonomian Adakan Konferensi Pers

Istana Panik, Menkeu Bersama Menko Perekonomian Adakan Konferensi Pers
Oleh: Ida N Kusdianti, Aktivis ARM Konferensi pers Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada 24 Juni 2024, mengingatkan saya pada Anggota Komisi IX DPR RI Misbakhun yang pernah berbicara di forum televisi swasta mengingatkan kepada Sri Mulyani untuk menjelaskan dengan narasi besarnya tentang utang luar negeri yang begitu besar, karena Kementerian Keuangan dalam hal ini Sri Mulyani satu satunya orang yang harus bertanggung jawab untuk meng-clear-kan soal utang negara beserta penggunaannya. Semua rakyat sudah tahu bahwa akhir-akhir ini rupiah semakin melemah terhadap dolar dan mata uang asing lainnya sehingga investor mulai ragu dengan kepastian Pemerintahan Jokowi. Lingkaran istana pun terlihat gugup dan panik di tengah kondisi perekonomian yang semakin lesu dan defisit APBN. Konferensi pers gabungan itu (Sri Mulyani bersama Airlangga Hartarto) dilakukan setelah muncul kekhawatiran investor global terhadap arah kebijakan fiskal pemerintah mendatang. Sejumlah lembaga keuangan internasional terkemuka menyoroti potensi dampak program-program ambisius yang akan menjadi beban berat APBN ke depan seperti Proyek IKN (Ibu Kota Nusantara) dan makan siang gratis yang sudah dianggarkan mencapai Rp71 triliun. Terus bagaimana nasib IKN ke depan setelah Jokowi lengser? Apakah Prabowo sebagai presiden penggantinya masih akan sama seperti Jokowi menggerogoti APBN untuk IKN yang diperkirakan akan menjadi kota hantu? Saat bersama Menteri Perekonomian, Sri Mulyani menepis dengan argumen-argumen yang berusaha untuk menenangkan rakyat agar tidak khawatir dengan kondisi perekonomian saat ini. Utang merusak masa depan bangsa. Malam menderita siang terhina, dan kita tidak bisa mengangkat dagu dan menunjukkan dada ketika berhadapan dengan utang (kata Dr Ichsanuddin Noorsy dalam dialog bersama para ekonom di televisi swasta). Mereka selalu mencari pembenaran dengan rasio utang masih di bawah perintah undang-undang, dan membandingkan negara-negara lain yang utangnya melebihi utang RI, padahal negara lain punya variabel yang berbeda. Pejabat kita selalu menggunakan aspek kelemahan untuk menambah utang, padahal kita punya sumber kekayaan yang luar biasa. Mental utang para pejabat seperti orang yang sedang kehausan kemudian minum air laut. Tentunya ada banyak cuan di balik kebijakan penumpukan utang dari renterir global, inefisiensi dan korupsi dalam menjadi faktor penggunaan tidak maksimal karena lebih banyak yang menguap. Kembali saya teringat obrolan bersama Dr. Ichsanudin Noorsy yang kerkata, "Rupiah sore tadi ditutup dalam posisi US $1= Rp. 16.413, nanti jika sudah Rp17. 000 lebih, saksikan ada sesuatu." Kasus judol (judi online), pinjol (pinjaman online), UKT diikuti isu ULN mengalihkan "api dalam sekam", dalam hitungan 6 bulan US $ 6 miliar lebih dipakai intervensi. SBI ditahan 6,25%. Toh Rupiah terhuyung-huyung. Ini sukses Mafia Berkeley. Lalu mereka katakan, mari kita sederhanakan Rupiah dengan membuat Rp1. 000 menjadi Rp1. Sungguh merupakan penyesatan sekaligus upaya menutupi kegagalan. Yang menarik, kenapa mereka bisa berkuasa hingga 56 tahun lebih? Mana makna pembangunan smelter, mana makna sukses KIM sebagai negara dengan pertumbuhan terbaik di Asia Tenggara? Inikah negeri kaya SDA? Betul sekali, saya sebagai orang awam pun selalu bertanya tanya mengapa negara yang kaya akan SDA bisa miskin dan terpuruk sampai ke titik terendah seperti sekarang ini, ada yang salah dalam pengelolaan SDA, ada yang salah dalam pengelolaan negara, terlalu banyak koruptor dan pengkhianat  di negeri ini. Jika mau dibandingkan dengan negara tetangga yang hanya punya satu atau beberapa SDA tapi makmur dan rakyatnya sejahtera, tentu akan sangat aneh. Sama dengan kebijakan impor dengan tujuan tertentu yang tidak lain untuk menggendutkan rekening para pejabat, seperti halnya impor beras yang baru baru ini terjadi yang sempat menjadi polemik. Kadang kebijakan impor tidak sesuai kebutuhan dan mark up demi mendapatkan komitmen fee para pejabat dari para importir. Negara sedang darurat utang akibat rezim ambisius yang lebih mementingkan segelintir oligarki dan menjadikan rakyat sebagai komoditas dan sapi perah untuk kesejahteraan para pejabat. Ingat! Panggung rakyat akan berubah menjadi pengadilan rakyat  untuk mengadili pata pengkhianat bangsa. Kemarahan rakyat tidak bisa dibendung dan dikendalikan oleh siapa pun! []