Kuasa Hukum Pertanyakan Nilai Kerugian Negara Rp300 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah

Obsessionnews.com – Langkah Kejaksaan Agung RI menetapkan nilai kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dari tahun 2015 hingga 2022 dipertanyakan oleh pihak kuasa hukum tersangka. Kuasa hukum CV Venus Inti Perkasa (VIP) Andi Inovi menilai penerapan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LKH) Nomor 7 tahun 2014 untuk menghitung kerugian negara riil dalam perkara korupsi timah merupakan kekeliruan besar. Menurutnya, angka Rp271 triliun (perhitungan awal) adalah kerugian ekologis akibat kerusakan lingkungan, sementara pasal yang digunakan untuk menjerat tersangka menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Baca juga: Pasca Insiden Konstruksi Kejagung, MRT Jakarta Kini Telah Kembali Beroperasi Normal "Angka itu berulang kali ditegaskan sebagai kerugian ekologis, menggunakan peraturan Menteri Lingkungan Hidup. Namun, untuk tindak pidana korupsi, ini sudah salah kamar," kata Andi dikutip dari Antara, Jumat (14/6/2024). Diketahui, empat dari 21 tersangka korupsi timah merupakan pejabat di CV VIP, yaitu Tamron Tamsil alias Aon (TN) sebagai pemilik manfaat CV VIP;Hasan Tjhie (HT) alias ASN sebagai Direktur Utama CV VIP;Kwang Yung alias Buyung (BY) sebagai mantan Komisaris CV VIP;dan Achmad Albani (AA) sebagai Manajer Operasional Tambang CV VIP. Andi menilai, angka kerugian negara yang dipublikasikan membuat opini publik berasumsi bahwa para tersangka adalah penjahat besar. Sebelum nilai kerugian negara hasil perhitungan BPKP diumumkan pada 29 Mei, publik menerima informasi tentang angka kerugian sebesar Rp271 triliun akibat kerusakan ekologi. "Bahasa sederhana saya seperti ini, bapak pakai aturan dalam FIFA untuk pertandingan tinju. Ketika dipukul petinjunya jatuh, malah dikasih kartu merah, kan itu yang terjadi," ujar Andi. Andi juga mengkhawatirkan penerapan Permen LHK No 7/2014 dalam kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia hukum Indonesia. "Ke depan, atas nama kerusakan lingkungan, kalau perhitungan ini dipakai, siapa pun perusahaan bisa dipidanakan," katanya. Penanganan perkara korupsi timah ini juga berdampak pada para pekerja tambang milik kliennya yang terpaksa berhenti bekerja akibat pembekuan rekening perusahaan oleh Kejaksaan Agung. "Masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari bekerja sebagai karyawan CV VIP sekarang harus menahan lapar akibat tidak adanya aktivitas perusahaan yang berjalan," kata Andi. Baca juga: Kejagung Segera Limpahkan Perkara Dugaan Korupsi Timah ke Pengadilan Selain itu, aset perusahaan lain berupa kebun kelapa sawit juga ikut dibekukan, sehingga para pekerja di kebun milik CV VIP pun terkena imbasnya. Kedua perusahaan itu memiliki sekitar 600 pekerja masing-masing. Saat ini, para pekerja tambang dan kebun kelapa sawit milik kliennya menggantungkan hidup pada keluarga yang bekerja di tambang milik perusahaan lain yang masih beroperasi. "Anak-anak yang bersekolah menjadi terlantar akibat orang tua mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Apakah pemerintah tidak bisa melihat dengan nurani dan memperhitungkan nasib masyarakat di Bangka?" kata Andi. Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adrianto, menyatakan nilai Rp300 triliun merupakan kerugian negara riil akibat tambang timah ilegal dalam kasus korupsi tersebut. Angka tersebut akan didakwa sebagai kerugian negara dalam persidangan. Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi, Agustina Arumsari, menjelaskan, nilai kerugian Rp300 triliun disebabkan oleh kelebihan pembayaran harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp2,85 triliun, pembayaran biji timah ilegal sebesar Rp26,649 triliun, dan kerusakan lingkungan sebesar Rp271,06 triliun. Kerusakan ekologis tersebut dianggap sebagai bentuk kerugian keuangan negara karena berdampak pada penurunan nilai aset lingkungan. "Dalam konteks neraca sumber daya alam dan lingkungan, kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang ilegal menurunkan nilai aset lingkungan secara keseluruhan," jelas Agustina. (Antara/Poy)