Inilah Pemilu Curang dengan Demokrasi Hoax

Inilah Pemilu Curang dengan Demokrasi Hoax
Obsessionnews.com - Selama masih ada UU MD3, jangan harap akan mendapatkan keadilan dari hakim Mahkamah Konstitusi (MK), jangan harap ada Hak Angket di DPR, jangan harap akan ada Pilpres yang jurdil, jangan harap akan  mendapatkan amicus rondo ucul. “Bahkan perubahan politik dan impeachment (pemakzulan) terhadap Presiden Jokowi sulit dilakukan selama masih ada UU MD3,” kata Chris Komari, Activist Democracy Partai Demokrasi Moderen (PDM) dan Rumah Demokrasi Moderen (RDM), Senin (22/4/2024). Karena, ungkapnya, semua anggota DPR pada takut akan ancaman PAW dari ketua umum partai politik yang sudah kongkalikong dengan Presiden dengan bagi-bagi kursi jabatan di Kementerian dan BUMN. “Lingkaran setan ini bisa terulang kembali di era Presiden baru tahun 2024 selama UU MD3 masih ada!” seru Chris Komari. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, itu artinya rakyat sendirilah yang seharusnya  memiliki kekuasaan dan kedaulatan untuk bisa mengoreksi "kesalahan" para pejabat negara dan wakil-wakil rakyat di pemerintahan. Bila ada pelanggaran hukum, politik dan konstitusi yang tidak bisa dibuktikan di pengadilan, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi bisa mencopot pejabat yang bersangkutan di tengah jalan lewat hak recall dan recall election. "Itulah kedaulatan tertinggi rakyat!" serunya. "Itulah pentingnya bagi rakyat Indonesia untuk  memiliki hak recall dan recall election untuk mempertahankan kedaulatan tertingginya," tandas Chris. Ia tegaskan lagi, selama masih ada UU MD3 dan hak recall itu dimiliki oleh partai politik, jangan harap akan ada keadilan, hak angket, impecahment (pemakzulan) terhadap Presiden Jokowi yang banyak melanggar hukum, konstitusi dan tidak mampu menunjukkan ijazah aslinya. Kedua, proses impeachment di Indonesia sudah di manufactured agar sulit dilakukan dan harus melewati Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak memiliki sovereignty dan urusan  impeachment terhadap seorang Presiden. Menurutnya, impeachment adalah hak khusus yang dimiliki oleh DPR sebagai lembaga legislatif untuk bisa mengawasi, mengontrol dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. "MK tidak ada hubungannya dengan proses, prosedur dan mekanisme impeachment," jelasnya. Kalau demokrasi itu HANYA menjalankan PEMILU dan PILPRES, semua negara di dunia ini sudah demokrasi semua. Korea Utara sudah demokrasi, demikian pula dengan Rusia, China, Iran, Libya, Myanmar, Somalia, Sudan, Suriah, Yaman, dan Fak-fak. "Tetapi demokrasi mereka itu hanya tipu-tipu, demokrasi mblegedhes alias hoax karena rakyat dalam menentukan voting dalam surat suara tidak bebas, terpengaruh dan terpaksa  dibawah tekanan dari penguasa, cawe-cawe dari presiden,  juga pengaruh, perintah dan cawe-cawe dari kepala suku," ungkap Chris. Menurutnya, demokrasi mereka itu hanya formalitas tidak memiliki substansi dan nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan pada 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi! "Itulah demokrasi hoax seperti di Indonesia," sindirnya. Di tanah air untuk bisa menjalankan Pemilu yang Jurdil-Luber Berkredem  (jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, berkualitas, kredible dan demokratis) sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, khususnya berdasarkan 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi juga belum mampu! "Terlalu banyak yang ikut cawe-cawe mulai dari Presiden, MK, aparat keamanan, kalapas, kepala daerah, KPU dan Bawaslu,' ungkapnya. Apalagi, lanjutnya, mau mengadopsi dan menjalankan 11 pilar demokrasi dan 14 prinsip-prinsip demokrasi. Terlalu banyak pejabat eksekutif  yang ikut cawe-cawe dan ingin merekayasa hasil Pemilu 2024. "Potensi kecurangan pada Pilpres  2024 itu akan terjadi 99.99% karena indikator kecurangan itu sudah sangat masif," bebernya pula. Lihat saja sendiri peran hakim MK yang merekayasa keputusan (ruling) MK  meloloskan Gibran Rakabuming untuk bisa menjadi cawapres. "Lihat sendiri sepak terjang Mendagri dan Presiden dalam merekayasa Pilkada  yang diundur 2,5 tahun dengan mengangkat ratusan Plt kepala daerah yang harus disetujui oleh Presiden," tambahnya. Lihat sendiri peran, sepak terjang dan tindakan para pejabat di pemerintahan baik di pusat hingga di daerah yang banyak membuat kesalahan di lapangan. "Bila semua aset kekuasaan struktural yang ada di dalam genggaman kekuasaan penguasa (eksekutif ) diarahkan dan dikerahkan untuk mempengaruhi LSM dan mengarahkan publik memilih capres  tertentu, itu semua sudah menjadi tanda-tanda kecurangan Pilpres dan Pemilu  2024," paparnya.   Solusinya apa? Dua tahun sebelum Pemilu  2024 dilakukan, para aktifis FTA sudah memberikan solusi secara detail dan comprehensive agar KPU dan BAWASLU dibuat benar-benar NETRAL dan INDEPENDEN (mandiri) dengan cara mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU dan BAWASLU. "Supaya terjadi self-controlled, checks and balances dalam TUBUH internal KPU dan BAWASLU, Maka komposisi keanggotaan komisioner KPU dan anggota BAWASLU harus ditambah minimal 2 orang yang mewakili masing-masing partai politik yang lolos PEMILU 2019 dan ikut PEMILU 2024," jelas Chris Komari. Bahkan, ungkap dua, 3 bulan sebelum hari PEMILU 2024, aktivis FTA masih memberikan solusi agar KPU dan BAWASLU bisa benar-benar dibuat NETRAL dan INDEPENDENT. Tetapi, lanjutnya, tidak ada yang peduli dan merasa lebih paham tentang demokrasi. Argumentasi publik khususnya para pendukung Capres 01 (AMIN) SELALU mengatakan: "Kita harus menang dulu, harus ada pergantian Presiden, baru semua perubahan yang dituntut oleh FTA itu bisa terjadi dan dilaksanakan..." Really.....??? Ia pun mempertanyakan, bagaimana mungkin akan bisa menang PILPRES dan PEMILU 2024, bila semua asset kekuasaan struktural yang ada dalam genggaman kekuasaan penguasa dipakai untuk ikut cawe-cawe merekayasa PILPRES dan PEMILU 2024 dengan berbagai cara, tricks dan kecurangan yang berlapis-lapis.....??? Ia tegaskan, kecurangan PEMILU dan PILPRES 2024 itu akan sulit dibuktikan di pengadilan, karena semua aktor dibalik kekuasaan struktural itu sudah pengalaman 2x merekayasa hasil PILPRES. "Kecurangan di TPS-TPS itu saya rasa kecil karena banyak MATA yang melihatnya," kata Chris. "Kecuali di TPS-TPS yang tidak ada PEMILU, seperti di daerah pegununugan dan pedalaman di IRIAN JAYA, dimana semua surat suara di coblos oleh pegawai KPPS yang sudah menerima SEMBAKO, SERANGAN FAJAR dan perintah dari kepala suku setempat," tambahnya. Chris Komari memaparkan kecurangan-kecurangan yang terjadi berikut: 1). Kecurangan yang terbesar itu di masa perjalanan dari A ke Z yang harus melalui 24 huruf check points dari B hingga Y, baik itu di KPU Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan PUSAT. 2). Permainan dan potensi kecurangan itu ada pada DPT yang tidak jelas dan tahun 2024 ini ada sebanyak 52 juta DPT yang nggak jelas, 2x lipat dari DPT tidak jelas tahun 2019. 3). Kecurangan terbesar adalah kolaborasi kekuasaan struktural di belakang Presiden Jokowi, termasuk ratusan PLT yang menjadi kepala daerah dan petugas KPPS, KPU, BAWASLU dan POLISI setempat. 4). Potensi kecurangan yang lain adalah permainan antar anggota komisioner KPU pusat dengan para Hackers yang sudah dipesan dan dibayar untuk memenangkan calon tertentu dengan sengaja diberikan access ke IT KPU. 5). Tahun 2024 ini ada DPT yang tidak jelas sebanyak 52 juta orang, meskipun untuk membuktikan hal itu tidak mungkin bisa dilakukan tanpa memiliki access ke semua DPT KPU dan Mendagri. Tetapi ingat, kata dia, jika tidak ada bukti nyata, bukan berarti kejahatan tersebut tidak dilakukan. "Itulah perlunya kedaulatan tertinggi rakyat, agar rakyat memiliki kontrol terhadap lembaga, kantor, departmen dan Komisi yang melayaninya," tuturnya. (Red)