Proses di MK, Sandiwara untuk Redam Kemarahan Rakyat?

Obsessionnews.com - Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Prof Dr Eggi Sudjana SH MSi yang juga pengacara senior menyatakan, dirinya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) meski sidang putusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belum digelar. “Itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum dibawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan,” tegas Eggi Sudjana sebelum sidang putusan MK digelar pada Senin,22 April 2014. Namun, jelasnya, dalam proses mengadili perkara, dia juga benar-benar kecewa. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait). “MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan,” ungkap Eggi. Contohnya saja saat MK, jelas dia, akhirnya menanggil 4 menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat Menteri ini dihadirkan atas permintaan pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. “Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?” ujar Eggi mempertanyakan. Ia menilai, kepentingan dihadirkannya 4 menteri adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang Presiden . Yakni penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak Rp560,36 triliun. Menurutnya, fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo-Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo-Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya . Ia pun mempertanyakan, bagaimana fakta bisa terungkap, kalau kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan. Oleh karena itu’lanjut Eggi, terbukti saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar datar saja, normatif tidak subtantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. “Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau Drakor =Drama Kotor persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak advokat 01 dan 03 jadi nothing, kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah,” paparnya. “Belum lagi Hakim Arif Hidayat membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan,” tambahnya. Eggi mempertanyaklan pula, sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol negara? “Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI,” tandasnya. Dalam hal ini, jelas Eggi, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Berdasarkan pasal ini, menurut Eggi, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi. “Kenapa MK memposisikan Jokowi spesial atau dikecualikan? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi, untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkan nya,” katanya. “Tapi aneh yang merasa jago/pendekar hukum yang jadi advokat 01 dan 03 tidak ada yang protes, malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi objektifnya sesungguhnya melecehkan jati diri mereka sebagai advokat jagoan,” kritiknya. Sisi lain, lanjut Eggi, apakah cara seperti ini sudah dirancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga sama, para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga? Apakah hal demikian sudah ada deal agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres?” tanyanya. Lantas Eggi membeberkan, jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK Suhartoyo bila ada publik/WNI yang bertanya tentang persidangan maka hakimnya harus menjawab untuk menjelaskan yang ditanyakan orang itu! “Sedih saya melihat para kuasa hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawaan/arogan hakim MK. Bahkan diam saja ketika Bambang Widjojanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya tunjukkan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK,” ujar Eggi. “Tunjukkan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat!” pintanya. “Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan,” tambahnya. “Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/kriminal pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya gondok banget, karena rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini,” tandas Eggi. (Red)