Hehamahua Ungkap Kronologi Rusaknya KPK

Hehamahua Ungkap Kronologi Rusaknya KPK
Obsessionnews.com - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai Jokowi wajar diberi gelar "Presiden Pembohong." Sebab, salah satu tema kampanyenya, baik dalam Pilpres 2014 maupun 2019, Jokowi berjanji akan mendukung KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia. Faktanya, ungkap Hehamahua, Jokowi melantik Firli sebagai Ketua KPK. Padahal, Jokowi tahu bahwa, Firli sudah dijatuhi hukuman bersalah oleh Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK.]     Baca juga: KPK Perpanjang Penahanan Dua Tersangka Korupsi BPPD Sidoarjo     "Bahkan, untuk memudahkan Firli menghancurkan KPK, Jokowi mengamputasi kewenangan KPK dengan mengamandemen undang-undangnya," kata Hehamahua, Kamis (18/4/2024). Diungkapkan, UU No 19/2019 ciptaan Jokowi tersebut menjadikan KPK sebagai bawahan langsungnya. Hasilnya, pimpinan KPK bisa dicucuk hidung, mengikuti selera Jokowi dan oligarki pendukungnya. Sebab, lanjutnya, KPK yang tadinya lembaga negara yang independen diubah Jokowi menjadi institusi ASN. Pada waktu yang sama, Jokowi adalah pimpinan tertinggi ASN. Apalagi, budaya ASN, senantiasa mengucapkan, “siap laksanakan” terhadap apa pun perintah atas. Menurut Hehamahua, hal ini sangat berbeda dengan budaya KPK. Sebab, dalam Kode Etik KPK yang lama, pegawai dilarang melaksanakan perintah atasan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. "Itulah sebabnya, berdasarkan SOP di KPK, seorang pegawai rendahan di Direktorat Pengawasan Internal (PI) dapat memeriksa Ketua atau Wakil Ketua KPK yang diduga melanggar Kode Etik," tegasnya. Hal ini, lanjut dia, belum pernah terjadi di Kepolisian dan Kejaksaan. Sebab, seingatku, Kompolnas belum pernah memeriksa Kapolri, apalagi sampai menjatuhkan sanksi. "Hal yang sama berlaku di Kejaksaan. Komisi Kejaksaan belum pernah memeriksa Jaksa Agung. Apalagi, memberi sanksi terhadapnya," tandas dia. "Di KPK, sebelum undang-undangnya diamandemen Jokowi, setidaknya tiga kali pimpinan KPK diperiksa oleh Komite Etik setelah mendapat hasil pemeriksaan dari PI," tambahnya. Tito, Jokowi, dan Buku Merah Tito Karnavian saat menjabat Kapolda Metro Jaya, ramai dipergunjingkan pers. Sebab dia diduga menerima gratifikasi berupa sejumlah uang berkaitan dengan impor daging ketika menjadi Kapolda Metro Jaya. Hehamahua menambahkan, kasus yang terkenal dengan istilah “buku merah” ini tidak berlanjut serius. Ada rasa “ewu pakeu” di antara bawahan dan atasan. Bawahan itu ada di KPK dan dengan sendirinya mereka yang secara formal bertugas dalam institusi Polri. "Lalu, apa hubungannya dengan Jokowi? Ya, Jokowi waktu itu gubernur DKI ketika terjadi kasus dugaan gratifikasi yang diterima Tito. Mungkin sebagai orang timur, Tito “kulon nuwun” ke Jokowi sebagai bosnya di DKI waktu," ungkapnya pula. "Apalagi, waktu itu, hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta menyebut, adik ipar Jokowi terlibat dalam kasus penyuapan pembebasan pajak di Ditjen Pajak," ungkap Hehamahua. Menurutnya, mungkin itulah mata rantai mengapa Tito menjadi Kapolri dan seterusnya menjabat Menteri Dalam Negeri ketika Jokowi menjadi Presiden. "Apakah mungkin hal ini merupakan politik dagang sapi, balas budi atau saling menyandera. Silakan tanya rumput yang bergoyang di kota Solo," sindir Hehamahua. Firli Dipecat dari Deputi Penindakan KPK Hehamahua membeberkan, pada suatu hari (2018) dia menerima undangan dari Direktorat PI KPK. "Saya diundang sebagai ahli untuk didengar keteranganku mengenai dugaan pelanggaran Kode Etik oleh Firli Bahuri, Deputi Penindakan KPK," ungkapnya. Pegawai PI, sebelum mengajukan pertanyaan, menayangkan dua video singkat. "Saya terperanjat. "Ini bukan pelanggaran Kode Etik tapi tindak pidana," respons Hehamahua. "Pegawai PI itu juga terkejut menyaksikan reaksiku. Kujelaskan bahwa, menurut pasal 36 UU KPK, insan KPK dilarang berhubungan dengan tersangka, calon tersangka, saksi, calon saksi, dan keluarganya yang sedang dalam pengawasan KPK," jelasnya. Padahal, menurutnya, video yang ditayangkan pegawai PI itu menunjukkan Firli berpelukan akrab dengan TGB, gubernur yang sedang diawasi KPK. Akhirnya, lanjut dia, Firli diberhentikan dari Deputi Penindakan atas beberapa kesalahan yang dilakukan. Namun, Firli langsung ditarik Polri dan ditunjuk sebagai Kapolda Sumsel. Maklum, Kapolri dan Firli berasal dari daerah yang sama, Sumsel. Firli, Agen Jokowi ? Hehamahua memaparkan, Firli sewaktu lolos sampai ke tahap “fit and proper test” di DPR, Pimpinan KPK secara resmi mengirim surat ke DPR dan Presiden. Pimpinan KPK meminta Firli tidak ditetapkan sebagai Komisoner KPK. "Sebab, beliau telah dijatuhi hukuman bersalah oleh Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK. Namun, baik Komisi III DPR maupun presiden, tetap menetapkan Firli sebagai Ketua KPK," paparnya. Menjawab pertanyaan pers saat itu, Hehamahua mengatakan, ada dua kemungkinan. Pertama, sebagai mantan Deputi Penindakan KPK, Firli mengetahui kasus-kasus yang menjerat, baik Pansel maupun anggota Komisi III DPR. Kemungkinan kedua, Firli ditunjuk sebagai Ketua KPK agar bisa menutupi kasus yang menyeret Tito, dan ipar Jokowi, baik sewaktu masih di DKI maupun ketika sudah menjadi presiden dan Menteri. Firli, Harun Masiku, dan Jokowi Harun Masiku, anggota PDIP yang bukan tokoh, apalagi selebiriti. Namun, sudah lebih tiga tahun, belum berhasil ditangkap. Hehamahua pun mempertanyakan, apakah hal tersebut disebabkan kasus Harun Masiku terjadi di daerah pemilihan Sumsel, provinsi Firli. Ataukah kasus Harun Masiku ini melibatkan partai koalisi Jokowi? "Bandingkan dengan Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Penguasa waktu itu, Demokrat. Beliau juga seorang anggota DPR yang terkenal. Namun, hanya dalam waktu kurang lebih empat bulan, KPK dapat menangkapnya. Sebab, presiden SBY serius membantu KPK untuk menangkap Nazaruddin. Padahal, Nazaruddin adalah Bendahara Umum partainya SBY sendiri," bebernya Kasus Harun Masiku ini, menurut Hehamahua, merupakan bukti telanjang bahwa, Jokowi memang tidak punya komitmen untuk memberantas korupsi. Masyarakat lalu paham, mengapa KPK tidak memproses kasus korupsi yang melibatkan ipar Jokowi, Gibran, dan Kaesang. Tupai Itu pun Terjatuh Ada adagium, “tiada kejahatan yang sempurna.” Setiap kejahatan akan meninggalkan jejaknya. Peribahasa Melayu mengatakan, “sepandai-pandai tupai melompat, akan jatuh juga.” "Hal itulah yang berlaku terhadap Firli. Sekian banyak kesalahan yang dilakukan, baik ketika menjadi Deputi Penindakan maupun semasa menjabat Ketua KPK. Beliau menjaring Menteri Pertanian menjadi tersangka. Namun, beliau sendiri ditetapkan pula sebagai terangka," sindir Hehamahua. Masyarakat bertanya, mengapa Firli belum ditahan? Apakah sekarang beliau juga buron? Rentetan pertanyaan lain menyusul: Apakah kalau Firli dimajukan ke Pengadilan, akan terbongkar kasus-kasus yang melibatkan Jokowi, ipar Jokowi, Tito, Prabowo, Gibran, dan Kaesang. "Padahal Prabowo dan Gibran sekarang menjadi capres/cawapres serta Kaesang akan maju menjadi gubernur di salah satu provinsi strategis," tegas Hehamahua. Menurut dia, bola panas itu sekarang berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK ingin Indonesia dipimpin presiden dan wakil presiden yang diduga keras terlibat kasus korupsi, maka gugatan 01 dan 03 ditolak. Namun, lanjutnya, jika 5 dari 8 anggota MK saja ingin Indonesia bebas dari brutalnya korupsi era Jokowi ini, paslon 02 didiskualifikasi. "Semoga!" harapnya. (Red)