Pemilu 2024 di Indonesia Terburuk di Dunia

Obsessionnews.com – Aktivis demokrasi dari Activist Forum Tanah Air (FTA) Chris Komari menilai Pemilu Legislatif di Indonesia yang paling buruk di dunia, tidak ada kontestibilitas kandidat, hanya kontes baleho dunggu yang misleading. Juga Pemilihan Presiden (Pilpres) terburuk dan banyak kecurangan.
“Karena dipastikan ada kontestibilitas antar kandidat, baik secara langsung atau tidak langsung dan dijamin minimal ada dua putaran. Banyak yang bilang ke saya kalau Caleg yang tidak punya duit sulit menang di Pileg, karena sekarang pemilih ikut mata duitan, tidak ada serangan fajar tidak ada suara,” ungkap Chris Komari, Kamis (29/2/2024).
Baca juga: Bawaslu Komitmen Awasi Proses Rekapitulasi Berjenjang Pemilu 2024Pileg di Indonesia paling buruk di seluruh dunia, lanjutnya, bukan hanya tidak demokratis tetapi juga tidak ada kontestibilitas dengan konstituen dan antara kandidat. “Pemilihan anggota legislatif tetapi tidak ada debat dan dialog secara terbuka antara para Caleg dengan rakyat sebagai konstituen, pemilih dan pemegang kedaulatan tertinggi,” tutur dia.
“Bagaimana rakyat bisa memilih wakil rakyat yang terbaik bila rakyat tidak mengetahui program kerja para Caleg, tidak mengetahui masing-masing kualitas para Caleg dan hanya dicekoki dengan jutaan baleho dunggu yang misleading?” ujarnya mempertanyakan.
Menurutnya, Pemilu dan Pilpres di Indonesia tidak bermutu sama sekali, bukan hanya tidak berkualitas, tidak kredibel dan tidak demokratis tetapi juga banyak kecurangan, banyak rekayasa dan cawe-cawe dari penguasa, khususnya Presiden Joko |Widodo (Jokowi) dan semua struktural kekuasaan yang ada di bawah eksekutif.
Pertama, jelasnya, manipulasi hasil Pilpres 2024 dengan IT KPU itu lebih kompleks dari sekadar membuat data errors secara acak sana sini untuk menciptakan kemenangan pasangan tertentu sebesar 58%, dengan menciptakan set up (programing) agar semua hitungan Situng KPU dan kemenangan Pilpres 2024 tetap menunjukkan total persen 100%.
Kedua, yang lebih sulit dibuktikan adalah kecurangan di beberapa provinsi tertentu yang sudah dikuasai oleh Plt kepala daerah yang bekerja sama dengan struktural kekuasaan di bawah kepala daerah untuk memanipulasi hasil Pilpres dalam formulir C dengan memanfaatkan 52 juta DPT siluman dan DPT yang tidak jelas.
“Khususnya untuk provinsi dan daerah pemilihan di pegunungan daerah terpencil yang tidak banyak penjaga TPS dan rakyatnya juga tidak terlalu peduli dengan Pilpres, atau pejabat daerah setempat sudah dikondisikan dengan memberikan bansos, sembako dan serangan fajar.
Ketiga, kalau ada rekap KPU di beberapa provinsi, 5 provinsi atau 10 provinsi yang diprotes, maka KPU akan memperbaiki rekap itu dan tetap bisa memenangkan Capres yang dipilihnya.
Karena KPU pusat masih memiliki 52 juta DPT siluman yang bisa dimasukkan ke dalam sistem Situng KPU di berbagai formulir C yang tersebar di 28 provinsi lainnya. “Memanipulasi hasil Pilpres 2024 dengan Situng KPU jauh lebih mudah, tinggal memanipulasi data,” tandasnya.
Keempat, hal ini merupakan kelemahan dari sistem sentralisasi pemilu yang dipusatkan di satu tempat, yakni di KPU pusat karena kemenangan Pilpres itu akan mudah ditentukan oleh komisioner KPU pusat lewat IT KPU.
Kelima, itu sistem pemilu ngaco dan tidak demokratis yang sudah dia protes dari dulu. “Bahkan dua tahun sebelum pemilu 2024 dilakukan, saya sudah menulis artikel dengan memberikan saran dan solusi cukup komprehensif untuk membuat komisioner KPU benar-benar netral dan independen dengan mengubah komposisi keanggotaan komisioner KPU dan Bawaslu pusat,” tambahnya. Keenam, Pemilu yang baik itu harus didesentralisasi (decentralized) sehingga lebih sulit dimanipulasi dan direkayasa. Ketujuh, bahkan pemilu di Amerika Serikat juga mengunakan system decentralized elections yang ditentukan dan ditetapkan di masing-masing negara bagian (state). “Tapi respons saya terima mayoritas berbunyi begini: Kita harus menang Pilpres dulu, harus ganti Presiden supaya ada perubahan!, Bagaimana mau menang melawan ‘maling’ yang sudah berpengalaman maling hasil Pilpres dua kali?,Maling Pilpres yang ketiga kalinya lebih canggih dan rapi,” bebernya. Kedelapan, sekarang orang sibuk dan bingung dengan hak angket karena semua anggota DPR masih takut dengan ancaman mutasi dari jabatan di DPR dan takut ancaman PAW dari ketua umum partai politik. “Selama kedaulatan tertinggi rakyat masih dikuasai oleh oligarki politik, khususnya ketua umum partai politik, hak angket itu sulit dijalankan dan kalau toh berjalan, akan banyak transaksi di belakang pintu untuk menggagalkan hak Angket,” paparnya. Kesembilan, hal itu akan beda sekali bila kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan rakyat memiliki mekanisme untuk bisa mempertahankan kedaulatan tertingginya dengan mencabut mandat rakyat di tengah jalan kepada pejabat negara, kepala daerah dan anggota legislatif yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat. “Itulah kunci dari sistem pemerintahan demokrasi dan pemilu yang berkualitas, kredibel dan demokratis,” tegasnya. (Red)