Spanyol vs Italia di Euro 2020, Unggul Mana?

Italia dijadwalkan menghadapi Spanyol di Wembley, Rabu (7/7/2021) dini hari WIB, dalam pertandingan bertajuk duel dua raksasa Eropa di semi-final Euro 2020. La Roja (Timnas Spanyol) mendominasi rekor pertemuan menghadapi Azzurri (Timnas Italia), khususnya di abad ke-21. Baik Italia mau pun Spanyol merupakan dua negara Eropa yang tergolong sukses di kancah internasional dan sudah pernah saling bertemu dalam beberapa kesempatan. Secara rekor, Spanyol memiliki keunggulan dalam head-to-heal melawan Italia. La Roja mengoleksi 12 kemenangan, 12 hasil imbang dan hanya kalah sembilan kali dari catatan pertemuan mereka dengan Gli Azzurri. Dan, di abad ke-21, mereka bahkan lebih dominan, dengan pencapaian tujuh kemenangan, empat kali seri dan hanya dua kali kalah. Kedua tim terakhir kali bertemu di kualifikasi Piala Dunia 2018, dengan Spanyol menang 3-0 di Santiago Bernabeu lalu disusul dengan hasil imbang 1-1 di Juventus Stadium. Dua hasil yang menyadi awal penyebab Italia gagal lolos ke Piala Dunia tiga tahun lalu karena kemudian mereka kalah di babak play-off kualifikasi dari Swedia. Berikut deretan laga yang patut disoroti di antara kedua tim: Italia 1-1 Spanyol (Florence, 1934) Ini adalah pertemuan pertama kedua tim di laga kompetitif, tepatnya di ajang Piala Dunia 1934. Spanyol sukses menahan imbang tuan rumah 1-1, sebelum Italia mampu memenangkan laga ulangan sehari berselang dengan skor 1-0. Spanyol 0-0 Italia (Milan, 1980) Kedua tim tidak bertemu lagi di sebuah turnamen resmi selama 46 tahun, dan ketika itu terjadi hasil akhirnya sama kuat. Azzurri yang menjamu La Roja di San Siro Milan dalam gelaran Euro 1980 harus puas dengan hasil akhir 0-0. Italia 1-0 Spanyol (Frankfurt, 1988) Delapan tahun berselang mereka kembali bertemu di ajang yang sama yakni Euro yang berlangsung di Jerman. Berlaga di Waldstadion, Frankfurt, Italia memetik kemenangan 1-0 berkat gol tunggal Gianluca Vialli. Italia 2-1 Spanyol (Boston, 1994) Roberto Baggio kemudian mematahkan hati Spanyol ketika ia mencetak gol dua menit jelang waktu normal permainan berakhir di Boston, Amerika Serikat. Azzurri, yang kemudian menjadi runner-up turnamen, mengalahkan Spanyol 2-1 di babak perempat-final Piala Dunia 1994. Spanyol 0-0 Italia (Wina, 2008) 14 tahun kemudian, Spanyol akhirnya mengalahkan Italia melalui drama adu penalti setelah bermain imbang 0-0 di perempat-final Euro 2008. La Roja lalu memenangkan turnamen edisi tahun tersebut dengan membawa generasi emas mereka. Spanyol 4-0 Italia (Kiev, 2012) Kedua tim bertemu lagi, mulanya di fase grup Euro 2012, ketika Cesc Fabregas membatalkan keunggulan Italia yang dibuka oleh Antonio Di Natale untuk mencatat hasil imbang 1-1 di Gdansk. Spanyol dan Italia sama-sama melaju hingga final dan hasilnya jauh lebih meyakinkan bagi La Roja yang menjadi juara dengan menundukkan Azzurri 4-0 di final. Italia 2-0 Spanyol (Paris, 2016) Yang paling segar dalam ingatan adalah pertemuan mereka di Euro 2016 yang berlangsung di Paris. Giorgio Chiellini dan Graziano Pelle mencetak dua gol kemenangan pasukan Antonio Conte di babak 16 besar, sekaligus mengakhiri ambisi Spanyol untuk meraih gelar juara Eropa ketiga secara beruntun. https://youtu.be/m8-qUqt5BPw Peta Kekuatan Gelandang timnas Italia, Nicolo Barella (24 tahun), mengungkapkan bahwa ia terinspirasi lini tengah Spanyol saat menjuarai Euro 2012. Sergio Busquets dan Jordi Alba menjadi dua pemain Spanyol yang tersisa dari skuad edisi sembilan tahun lalu. Yang menarik, keduanya membantu La Roja menggilas Italia pada pertai final dengan skor 4-0! “Skuad Spanyol yang memenangkan Euro memiliki permainan kolektif dengan komposisi lini tengah yang hebat,” ucap Barella dalam sesi temu pers pralaga. “Xavi dan Iniesta menginspirasi semua orang, bukan hanya saya, meski dengan karakteristik yang berbeda,” tutur pemain Inter Milan itu. “Hari ini [masih] ada Busquets, yang telah menjadi salah satu yang terbaik di dunia, selama bertahun-tahun,” tambahnya. Meski begitu, Italia tetap difavoritkan melaju ke final. Gli Azzurri telah menang beruntun dalam 13 laga terakhir dan belum terkalahkan di lintas ajang sejak September 2018! Pelatih Timnas Italia Roberto Mancini berpengalaman membangun reputasi sebagai pembaharu. Fiorentina dan Lazio adalah dua tim dengan kesulitan finansial, tetapi dibawanya menjuarai Coppa Italia 2002 dan 2004. Pindah ke Inter Milan, Mancini menghapus kemarau gelar klub sejak 1989 dengan menjuarai Coppa Italia 2005. Setelahnya, Scudetto pun diraih. Skuad yang dibangun Mancini untuk Nerazzurri menjadi fondasi kokoh bagi Jose Mourinho saat memenangi triplete pada 2010. Lalu, bersama Manchester City Mancini sukses memenangi gelar Liga Primer musim 2011/12. Kesempatan menangani timnas Italia tiga tahun lalu adalah tawaran yang diterima tanpa pikir panjang oleh Mancini. Mancini butuh memperbaharui arah kompasnya setelah periode minor bersama Galatasaray dan Zenit St Petersburg;begitu pun pula dengan Italia yang butuh kalibrasi setelah gagal lolos ke Piala Dunia untuk kali pertama dalam 60 tahun. Tiga puluh delapan purnama berselang dan 32 pertandingan tak terkalahkan, rasanya Mancini dan Italia menuju ke arah yang tepat. Keanggunan Italia dimulai sejak hari pertama Euro 2020. Permainan atraktif mereka, “Tikitalia”, menjadi bahan perbincangan publik dan pengamat, penggemar dan bukan penggemar. Saat kesulitan mengadang, kekuatan karakter muncul. Dua laga sulit beruntun melawan Austria dan Belgia membuktikan Italia layak diunggulkan sebagai tim favorit juara turnamen ini. Di semi-final Euro 2020, Selasa 6 Juli, di Wembley mereka dijadwalkan menghadapi Spanyol untuk memperebutkan satu tiket ke laga puncak. Layaknya kisah epik dalam kesusastraan dunia, figur pelatih di pihak lawan pun tengah berjuang melengkapi destinasinya. https://youtu.be/aOr6lOV3w5w Di pihak lawan, pelatih Timnas Spanyol Luis Enrique berhasil membina para bintang sepak bola seperti pemain senior pujaan fans AS Roma dan Celta Vigo, Francesco Totti dan Borja Oubina. Begitu juga ketika Enrique menangani Barcelona. Xavi, Gerard Pique, bahkan Lionel Messi tidak memperoleh keistimewaan. Bagi Enrique, seorang pelatih harus mengambil keputusan paling sulit dalam menentukan yang terbaik bagi tim. Sekali pun itu harus melabrak nilai-nilai lama. Karakter Enrique pas dengan yang dicari federasi Spanyol setelah insiden pemecatan mendadak Julen Lopetegui menjelang Piala Dunia 2018. Spanyol gagal total di turnamen itu. Pada penunjukannya sebagai seleccionador, Enrique menjanjikan sebuah evolusi, bukan revolusi. Menangani timnas Spanyol memang seperti menempatkan diri dalam posisi sulit. Harus siap-siap menjadi pelanduk di tengah dua gajah yang saling beradu. Maksud analogi dua gajah itu adalah Madrid dan Barcelona. Tetapi, Enrique bukanlah pelanduk. Para pemain langganan timnas mulai mendapat persaingan dengan muka-muka baru. Tidak hanya Real Madrid dan Barcelona, para pemain dari klub lain pun mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing. Terbukti ketika Enrique mengejutkan orang-orang saat mengumumkan skuad Euro 2020. Tidak ada satu pun pemain Real Madrid di dalamnya. Skuad Spanyol adalah salah satu yang termuda di antara tim peserta lain dengan rata-rata usia 26,5 tahun. Enrique memanggil 24 pemain dari 16 tim yang berbeda. Manchester City menjadi pemasok terbanyak dengan empat pemain;setelahnya hanya Barcelona, Atletico Madrid, dan Villarreal yang mengirim dua perwakilan atau lebih. Sesuai yang dijanjikan, Spanyol terus berevolusi. Di Nations League 2018/19, La Roja mengukir hasil gemilang dengan mengalahkan Inggris 2-1 di Wembley;lalu Kroasia 6-0. Namun, mereka kemudian menelan kekalahan beruntun dari lawan-lawan yang sama dengan skor identik 3-2. Hasil itu menggagalkan langkah ke final four. Spanyol mampu memperbaiki pencapaian pada ajang yang sama musim 2020/21 setelah di antaranya menghancurkan Jerman 6-0. Mereka akan kembali menjumpai Italia pada babak semi-final, Oktober mendatang. Spanyol pun tidak konsisten dalam turnamen ini. Dua pertandingan pertama berakhir sama kuat. Tak ayal, tim dihantam kritik hebat. Alvaro Morata sampai menerima ancaman mati dari fans. Persis di ambang kegagalan yang spektakuler itu, Spanyol mampu bangkit melawan Slowakia. Kiper Martin Dubravka berkontribusi dengan memberikan gol bunuh diri sebelum pasukan Enrique menang besar, 5-0. Kritik tidak serta-merta mereda. Kemenangan demi kemenangan seperti hanya menundanya, termasuk ketika Spanyol mampu mengatasi perlawanan Kroasia dan Swiss melebihi waktu normal pertandingan. Spanyol menggilas kenaifan Kroasia 5-3 dan penyelamatan Unai Simon saat adu penalti mencuri perhatian publik terhadap penampilan heroik Yann Sommer. Namun, Spanyol seperti kehilangan efektivitas. Pola operan pendek yang mereka tampilkan seakan tidak berarti tanpa konversi peluang. Publik Spanyol mungkin tidak optimistis dengan peluang timnya, tapi Enrique enggan mengompromikan etos kerjanya. Spanyol tetap menerapkan permainan tekanan tinggi, distribusi bola yang cepat, mempertahankan bentuk tim, dan sebanyak mungkin menciptakan peluang. Enrique memang bukan pelanduk, pendiriannya sekeras karang. Italia kini menunggunya di depan mata. Pertemuan Mancini dan Enrique seperti dua konsep kehidupan yang saling berhadapan. Keanggunan la dolce vita dan kegarangan vida brava. Tidak ada panggung yang lebih sempurna daripada Wembley untuk menyaksikannya. (Goal.com/Red) Prediksi Skor: Italia 2- 0 Spanyol (WhoScored) Italia 2- 1 Spanyol (Sportskeeda) Italia 2-1 Spanyol (Sportsmole) https://youtu.be/mjWQxZngarc