Mau BPJS Kesehatan Sukses? Lakukan Ini!

Mau BPJS Kesehatan Sukses? Lakukan Ini!
Jakarta, Obsessionnews – Apresiasi terhadap BPJS Kesehatan patut diberikan. Namun, Center of Reform on Economics (Core) Indonesia mengingatkan ada beberapa kelemahan pada implementasi BPJS yang bukan semata-mata terkait proses akad, tapi juga persoalan teknis serta non teknis. Beberapa kelemahan tersebut antara lain kapasitas infrastruktur layanan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang terbatas, alokasi anggaran pemerintah, kebijakan fiskal, mekanisme kontrol, serta minimnya kerjasama dengan asuransi swasta. Akhmad Akbar Susamto, Ekonom Core Indonesia mengatakan, ada lima langkah penting yang kudu dilakukan agar BPJS Kesehatan mampu menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Kapasitas infrastruktur layanan kesehatan serta SDM menurut Akbar melalui siaran pers yang diterima obsessionnews.com, kudu segera ditingkatkan. Soalnya, saat ini jumlah rumah sakit (RS) yang menjalin kerjasama dengan BPJS cuma sebanyak 1.704 unit. Sedangkan RS yang tercatat di Kementerian Kesehatan mencapai 2.248 unit. Bagi RS milik pemerintah, kata Akbar, keterbatasan jumlah tenaga medis terutama dokter spesialis serta fasilitas membuat banyak pasien kesulitan mencari rujukan yang mampu menangani keluhan. “Keterbatasan jumlah tenaga medis dan paramedis terutama dokter spesialis dan fasilitas kesehatan membuat banyak pasien mengalami penderitaan lebih berat bahkan meninggal dunia,” tulis Akbar. Soal alokasi anggaran guna menyediakan layanan kesehatan juga perlu ditambah. Pada APBN-P 2015, dana yang disiapkan cuma Rp 20,3 triliyun. Asumsinya, kata Akbar, didasarkan pada cakupan penduduk miskin sebanyak 88,2 juta jiwa dengan perkiraan sebesar Rp 19.225 per orang selama setahun. Pada tahun yang sama, anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya Rp 51,3 triliyun atau 2,6 % dari total APBN-P sebesar Rp 1.984 triliyun. World Health Organization (WHO) mencatat, pada 2012 lalu, belanja kesehatan pemerintah Indonesia mencapai 39,6% dari total biaya. Namun, tetap saja lebih rendah ketimbang Malaysia sebanyak 55,2%, Thailand 79,5%, dan Cina 56%. Konsekwensi dari minimnya dana, dari 109 RS milik pemerintah provinsi, baru 20 unit yang ditetapkan sebagai rujukan. “Dengan jumlah pengguna BPJS yang terus berkembang dari tahun ke tahun, apabila tidak diimbangi dengan dukungan anggaran yang memadai, akan berpotensi untuk semakin menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dengan sistem BPJS,” jelas Akbar. Perubahan fiskal guna mendorong berkembangnya jasa kesehatan murah juga perlu dilakukan. Contohnya kata Akbar, pajak dan bea masuk obat-obatan serta alat kesehatan masih tinggi. Sebagian besar, dikenai tariff 5%. Akibatnya, pengadaan masih tak terjangkau. Terakhir, otoritas BPJS kudu memanfaatkan besarnya permintaan jasa asuransi swasta guna member ruang bagi para pemain swasta serta meningkatkan dana iuran. Caranya, menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta dan memasukkan unsur iuran dalam pembayaran biaya asuransi. Sehingga, masyarakat berpenghasilan tinggi yang menggunakan layanan asuransi non pemerintah dapat berpartisipasi dalam subsidi silang. “Setidaknya terdapat beberapa keuntungan dari menarik partisipasi orang kaya, yaitu meningkatkan dana yang tersedia dari iuran peserta, menghindari risiko double claim antar asuransi, maupun menjadi daya tarik bagi pemain swasta di sektor kesehatan untuk bergabung dengan BPJS,” jelas Akbar. (Mahbub Junaidi)