Puisi Denny JA yang Berfalsafah, Berunsur Keagamaan, dan Mempunyai Fungsi Sosial

Oleh: Jasni Matlani, Penerima SEA Write Award (Malaysia) 2015 Pengantar Redaksi: Awal April 2017, akan ada Temu Sastrawan Asia Tenggara di Sabah Malaysia membahas Isu Sosial dalam 24 Buku Puisi Denny JA.Penyelenggaranya Badan Bahasa dan Sastra Sabah, Malaysia. Acara ini dirangkai dalam Festival Penulis Sabah, Sempena.Direncanakan yang akan menjadi panelis sastrawan/ pengamat sastra dari Indonesia, Malaysia, Thailand dan Brunei.Di bawah ini salah satu makalahnya, ditulis oleh Pemenang Sea Write Award Malaysia 2015: Jasni Malani, dengan judul: Puisi Denny JA yang berfalsafah, Berunsur Keagamaan dan Mempunyai Fungsi Sosial.Makalah ini membahas 22 buku puisi Denny JA. Yang tak dibahas makalah ini hanya dua buku puisi Denny JA lain: Atas Nama Cinta dan Roti untuk Hati, yang akan dibahas panelis lain. -000- PENDAHULUAN Karya yang berfalsafah, berunsur keagamaan, dan mempunyai fungsi sosial senantiasa dirayakan merentas zaman di belahan dunia mana saja. Di Indonesia karya sastra seperti ini sudah berkembang sejak awal Abad ke-16, ketika Hamzah Fansuri menjadi buah bibir di kalangan sarjana Nusantara. Mereka memberi label tokoh intelektual dan ahli sufi yang terkemuka kepada Hamzah. Penyair ini juga dianggap perintis tradisi baru dalam penulisan sastra Melayu-Indonesia, khususnya dalam bidang penulisan sastra yang berfalsafah, mempunyai fungsi sosial, dan bercorak Islam Abad ke-16 dan ke-17. Syeikh Hamzah Al-Fansuri berjasa memperkenalkan syair ke dunia Melayu, dan menjadikan syair sebagai bentuk pengucapan baru yang turut memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu. Hamzah juga dikenal berjasa mengintegrasikan konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk melalui seni. Karyanya terus hidup merentas zaman dan wilayah. Malah, menjadi bunga rampai sastra Melayu warisan Islam yang sangat penting. Seterusnya, karyanya menjadi penanda penting kepada transisi sastra Melayu yang dipengaruhi Hindu-Buddha sebelumnya. Karya sastra sedemikian terus memberi corak hidup masyarakat Nusantara. Pada akhirnya, karya itu mengalami transisi perubahan, seiring perkembangan dakwah Islamiah, melalui penyebaran ilmu dan kesusastraan Islam yang muncul di permukaan ketika itu. Syeikh Hamzah Al-Fansuri telah menghasilkan beberapa karya syair yang penting. Beberapa di antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Burung Unggas, Syair Dagang, Syair Burung Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair Ikan Tongkol, Syair Burung Pipit, dan Syair Perahu. Semua karya itu menjadi titik tolak perkembangan sastra, khususnya genre puisi yang mengangkat falsafah dan keagamaan. Hamzah menyorot fungsi sosial yang dominan kepada masyarakat Nusantara ketika itu melalui karyanya. Puisi yang mengemban misi seperti itu tidak pernah putus, dan terus berkembang. Penyair selanjutnya yang mengemban misi ini di antaranya Abdul Hadi WM, WS Renda, dan banyak lainnya. Sehingga pada saat ini, bentuk puisi menjadi lebih beragam. Di tangan Denny JA, penyair yang dikatakan menjadi penggagas gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi ini, puisi menjadi semacam satu bentuk pengucapan yang dibumbui sinisme, sindiran, dan provokasi berkait agama dan sosial. Denny JA menghasilkan 22 buku puisi esai, yaitu Burung Trilili - Bertengkar Untuk Persepsi;Naga Seribu Wajah - Khayalan Menjadi Kebenaran;Karena Kucing Anggora - Hal Sepele menjadi Pokok;Kisah Kitab Petunjuk - Yang Tercetak Kalahkan Yang Hidup;Mencari Raja di Raja - Yang Ada dan Yang Ilusi;Sidang Raya Agama - Yang Tampak dan Yang Hakekat;Balada Wahab & Wahid - Islam vs Islam;Menyelam Ke Langit;Terkejut Oleh Riset - Bahagia dan Agama;Dua Wajah Ahli Agama;Hikmah Singapura - Agama di Sekolah;Lotre Kehidupan - Mujur dan Malang;Mimpi Sepeda Ontel - Berani Beda;Pengurusan Bahagia - Api dan Abunya;Balada Aneta - Kesadaran dari kesalahan;Robohnya Menara Kami - Pemurnian Agama atau Sinerji;Ambruknya Sang Raksasa - Gagasan vs Rupiah;Barat Lebih Islami - Substansi atau Label;Berburu Bahagia - Kisah Timun, Telur dan Rempah;Mawar Yang Berdarah - Persepsi vs Realita;Ustaz Yang Gay - Nurture vs Nurture;dan Berburu Tuhan - Petuah Tiga Guru, yang kesemuanya mencerminkan keintelektualan penyair, mengungkapkan falsafah dan keagamaan, seterusnya mengedepankan fungsi sosial yang menuntut tafsiran mendalam dan sangat luar biasa. Bentuk penyampaiannya, walaupun mudah dan komunikatif, tetapi sudah jauh berubah dibandingkan bentuk syair Syeikh Hamzah Al-Fansuri. Syair Hamzah lebih dekat kepada bentuk puisi tradisi yang terikat kepada rentak, musik, skema, rima, dan aturan suku kata. Di tangan Denny JA puisi mengalir bebas seadanya, dengan bahasa yang lumrah, digunakan sehari-hari dan sampai pada khalayak pada waktu yang cepat, malah tidak menjadikan kesusastraan sebagai dunia eksklusif bagi pengarang saja dan menggunakan bahasa yang sukar difahami. Sebaliknya, puisi yang dihasilkan Denny JA, jelas maknanya, menumbuhkan kesadaran sosial, mempunyai visi, falsafah, keunggulan, hasanah, dan sesuai dengan tuntutan zamannya. Denny JA mencoba mencerna keunggulan sastra bangsa Indonesia, dengan pesan dan sindiran atau sinisme sosial yang tajam. Selain itu, puisi Denny JA menuntut renungan yang dalam terhadap agama. Renungan itu intinya, agama semestinya berfungsi menyatukan umat, mengikat tali ukhuwah, dan bukan memecahbelahkan, atau melebarkan ruang diskriminasi, tetapi membangun secara bersama, saksama, dan bertoleransi. Apabila sastra memiliki keunggulan dan kekuatan sendiri dalam menyatakan hal demikian, maka dunia pasti mencari dan melihat sastra bangsa Nusantara yang seperti itu. Sama seperti Barat yang akur dan merendahkan dirinya menelaah realisme magis di Amerika Latin. Begitu juga dunia yang suatu ketika dahulu menggilai pascakolonialisme, akhirnya terpaksa belajar dan memahami pemikiran besar orang yang berasal bukan dari belahan Barat seperti Edward Said. Justru, Denny JA dalam 22 bukunya ini seperti memberikan isyarat, pesan yang berguna untuk menjadikan kita lebih mempertimbangkan, bijaksana, untuk menjadikan agama sebagai elemen menyatukan, bertoleransi, dan bukan memecah-belahkan. Hal ini dilihat Denny JA sebagai sesuatu yang positif sisi kemanusiaannya, dan perlu dijaga sebaik mungkin. Denny JA tidak mengangkat perkara yang remeh temeh di sekeliling kita, yang terjadi sehari-hari. Memang hakikat realitinya, siapa saja boleh memilih menjadi apa saja di dunia ini menurut pemikirannya. Namun, tetap terbuka ruang bagi kita memperkuatkan diri, berpegang kepada falsafah dan faham yang membudaya dan menjadikan kita lebih humanis, toleran, dan tidak berbunuhan antara satu sama lain. Agama Islam dan agama lain juga sebenarnya tidak mengajarkan begitu dan menolak semua bentuk kebencian agama. Bahkan, di dalam sistem politik Islam, setiap manusia itu, dia beragama Islam atau tidak, tetap mempunyai hak tersendiri dan hak itu mesti dilindungi. Begitu juga, dalam pembentukan sebuah negara Islam, (1993) yang dirintis buat pertama kalinya melalui “Piagam Madinah”, hak istimewa orang Islam dan mereka yang bukan Islam senantiasa terjaga, selagi mereka patuh kepada sunnah dan wahyu Allah. Sehingga banyak peristiwa di mana Rasulullah SAW sendiri berpesan dan menunjukkan contoh berlaku yang baik, tentang bagaimana seharusnya berhubungan antara sesama insan, atau berhubungan dengan Khalik. Justru itu, puisi esai karya Denny JA ini walaupun mudah dan komunikatif sifatnya, tetapi berhasil memperdalam renungan, seterusnya mengekalkan keamanan, keharmonian bersama, menghapuskan kekerasan, ketidakadilan, serta turut mempertahankan hak golongan yang lemah dan miskin. Sebagian besar, karya puisi esai Denny JA --yang termuat dalam 22 buku yang berwarna warni berserta lukisan terbitan Inspirasi.co (PT Cerah Budaya Indoneesia), yang dipublikasi antara tahun 2015-2016 itu-- sesungguhnya menuntut renungan tentang keberadaan kita sebagai manusia di dunia fana ini. Malahan, ajaran agama apa pun yang mendasari kehidupan --yang sepatutnya menyatukan kita tanpa melihat warna kulit, bangsa, dan agama ini-- harus dilihat dengan kaca mata jernih. Juga tanpa praduga, dengan idealisme membangun, sesuai dengan momentum kebersamaan sejagat, fisikal, dan rohani. Masyarakat Indonesia harus melihat dunia dengan cermin yang lebih adil, seimbang, dan membangun secara luar biasa. Mereka harus bangkit dari segala kobobrokan sosial, yang sebenarnya bukan bersumber dari agama. Kebobrokan itu terjadi karena sikap, persepsi, dan perwatakan manusia itu sendiri, yang selalu lari dan menghindar dari kebaikan dan kebenaran yang ditegakkan agama. Apa lagi keboborokan sosial, bahana politik yang menghukum, adalah karena ulah dan tingkah manusia yang senantiasa bersekongkol dengan sisi gelap hidup dan dunia pribadinya. Bagi Denny JA, sebagai penyair, beliau melihat semua itu dengan agenda besar serta komitmen kepenulisannya. Kemudian beliau melihat skenario itu menjadi pertanda penting sastra bangsanya, dengan tidak mengintertekstual atau memparodi sastra lainnya di belahan dunia ini secara sembrono. Sebaliknya kita harus membina jati diri dan produksi sendiri dan membiarkan dunia menjadi konsumer terhadap teks yang dikerjakannya itu.
- Burung Trilili Bertengkar Untuk Persepsi
- Naga Seribu Wajah-Khayalan Menjadi Kebenaran
- Karena Kucing Anggora - Hal Sepele Menjadi Pokok
- Kisah Kitab Petunjuk - Yang tercetak kalahkan yang hidup
- Mencari Raja di Raja - Yang Ada dan Yang Ilusi
- Sidang Raya Agama - Yang Tampak dan Yang Hakekat
- Balada Wahab & Wahib-Islam vs Islam
- Menyelam Ke Langit
- Terkejut Oleh Riset - Bahagia dan Agama
- Dua Wajah Ahli Agama
- Hikmah Singapura - Agama di Sekolah
- Lotre Kehidupan-Mujur dan Malang
- Mimpi Sepeda Ontel-Berani Beda
- Pengurusan Bahagia-Api dan Abunya
- Balada Aneta-Kesadaran dari kesalahan
- Robohnya Menara Kami - Pemurnian Agama atau Sinerji
- Ambruknya Sang Raksasa-Gagasan vs Rupiah
- Barat Lebih Islami - Substansi atau Label
- Berburu Bahagia-Kisah Timun, Telur, dan Rempah
- Mawar Yang Berdarah-Persepsi vs Realita
- Ustaz Yang Gay-Nurture vs Nurture
- Berburu Tuhan - Petuah Tiga Guru





























