Senin, 29 Mei 23

Perkembangan Metode Deteksi Covid-19

Perkembangan Metode Deteksi Covid-19
* Ahli Virus dari Unsoed apt.Heny Ekowati,MSc.,PhD.

Sejak diumumkan sebagai pandemi pada 13 Maret 2020, Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 menyebabkan krisis kesehatan di seluruh dunia.

 

Covid-19 (virus Corona) merupakan penyakit jenis baru dengan banyak gejala yang muncul dan organ yang terkena. Akibatnya tanda serta gejala yang muncul sangat berbeda antara pasien satu dan pasien lainnya.

 

“Disiplin bermasker, menjaga jarak fisik, dan mengurangi kegiatan di luar rumah untuk bertemu banyak orang adalah salah satu cara yang efektif mencegah peningkatan angka sebaran Covid-19,” ungkap Tim Promosi Unsoed Ir.Alief Einstein,M.Hum. saat pemaparan di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Rabu (21/10/2020).

 

Dosen Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (FIKes) Unsoed apt.Heny Ekowati,MSc.,PhD memaparkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong dunia internasional untuk melakukan pengujian diagnostik melawan penularan virus dan mengurangi jumlah kasus yang tidak terdeteksi.

 

Pengujian (testing) merupakan alat untuk membantu peneliti mempelajari epidemiologi penyakit. Selain itu, diagnosis penting dalam membuat keputusan tepat waktu untuk pengobatan dan isolasi orang yang terinfeksi. Dengan demikian, memperlambat atau menghentikan penyebaran Covid-19.

 

Dikemukakan, pengujian bersama dengan manajemen risiko dan sistem perawatan kesehatan merupakan respon penting dalam kondisi wabah. Contoh luar biasa terjadi di beberapa negara; misalnya, Korea Selatan, dilaporkan menguji sekitar 20.000 warga per hari menggunakan pengujian agresif dengan tes drive-through dan “phone booths tests” (tes bilik telepon).

 

Laporan lain di Jerman pada awal terjadinya pandemi telah melakukan 400.000 tes setiap minggu, yang berkontribusi pada angka kematian terendah akibat Covid-19 di dunia.

 

Namun demikian, sebagian besar negara terkendala dalam pengujian masif Covid-19 karena masalah ketersediaan alat dan bahan untuk penanganan pandemik (misalnya, penyeka khusus, masker wajah, alat PCR, dan reagen).

 

Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan alat diagnostik yang sensitif, akurat, cepat, dan murah untuk penegakan diagnosis dan skrining pasien sehingga isolasi dan pengobatan yang tepat dapat difasilitasi.

 

A. Virus SARS-CoV-2 Penyebab Covid-19

 

Ahli Virus Unsoed, Heny,PhD. menjelaskan bahwa seluruh virus SARS-CoV-2 dan protein strukturalnya, termasuk protein spike (S) glikoprotein, protein amplop kecil (E), protein matriks (M), protein nukleokapsid (N), dan juga beberapa protein tambahan, dapat secara teoritis digunakan sebagai antigen untuk diagnosis Covid-19.

 

Diperkirakan SARS-CoV-2 memiliki 28 protein, dengan ukuran partikel seluruh virus berkisar dari 50 hingga 200 nm. Telah dilaporkan bahwa protein M dan E diperlukan untuk perakitan virus. Protein S sangat penting untuk melekat pada inang sel, di mana reseptor-binding domain (RBD) dari protein S memediasi interaksi dengan enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2).

 

Protein S dan N merupakan biomarker antigen paling penting untuk diagnosis Covid-19, seperti banyak metode deteksi telah dilaporkan untuk mendiagnosis SARS berdasarkan protein S dan N.

 

B. Biomarker atau Indikator Untuk Deteksi Covid-19

 

Doktoral dari Kanazawa University, Jepang Henyi,PhD. mengatakan : “Pada saat ini, deteksi terkait Covid-19 sangat diperlukan untuk mencegah penularan dan penyebaran infeksi. Biomarker dan indikator yang dapat digunakan di antaranya adalah :

 

1. RNA
Genom RNA dengan untai tunggal sense positif dari SARS-CoV-2 mengandung ~ 30 kilobase dan mengkode ~ 9860 asam amino. RNA ini adalah biomarker terpenting untuk diagnosis Covod-19.

 

Target pilihan untuk uji RT-qPCR adalah gen yang tetap dan/atau yang diekspresikan secara melimpah seperti gen spike glikoprotein (gen S), gen protein amplop/selubung (gen E) dan gen protein nukleokapsid (gen N).

 

2. Virus/Antigen
Mikroarai proteom dengan 18 dari 28 protein yang diprediksi dibuat dan digunakan untuk riset penemuan antibodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dalam masa penyembuhan memiliki 100% respon antibodi terhadap proteom, terutama terhadap protein N, S1, ORF9b dan NSP5.

 

Baru-baru ini, teknologi berbasis antigen telah mengarah pada lateral flow-based diagnostic Target deteksinya adalah protein virus. Teknologi ini muncul setelah sebelumnya telah digunakan pada deteksi virus dengue, demam kuning, dan Ebola.

 

3. Antibodi IgM/IgG
Deteksi antibodi pada pasien SARS-CoV-2 adalah pilihan lain untuk diagnosis Covid-19. Deteksi imunoglobulin M (IgM) merupakan respon imun adaptif pertama selama infeksi virus, sebelum dihasilkan imunoglobulin G (IgG) yang merupakan respon yang bertanggung jawab untuk memori imunologis dan imunitas jangka panjang. IgM dan IgG dapat dideteksi setelah 5 hari menggunakan enzyme-linked immunoassay (ELISA), suatu metode yang umum digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah.

 

4. Sitokin dan Biomarker Lainnya
Pada kondisi dimana pasien dengan gejala tidak dapat dikonfirmasi dengan tes RT-qPCR, penentuan menggunakan biomarker atau indeks lain sangat penting dilakukan.

 

Hal ini bisa membantu diagnosis klinis untuk menghindari keterlambatan dalam isolasi dan pengobatan. Beberapa sitokin diuji dan dianalisis pada pasien Covid-19 dan hasilnya menunjukkan beberapa level sitokin meningkat dibanding levelnya pada infeksi SARS/MERS.

 

Jumlah interleukin-6 (IL-6), IL-10, IL-2 dan interferon-γ (IFN-γ) dalam darah pada kasus parah COVID-19 meningkat dibandingkan kasus ringan. Derajat limfopenia dan badai sitokin proinflamasi lebih tinggi pada pasien Covid-19 kasus berat dibandingkan pada kasus ringan.

 

Hal ini menunjukkan bahwa jumlah/level sitokin terkait dengan keparahan penyakit. Oleh karena itu, sitokin dapat menjadi biomarker sekaligus indikator prognosis pada Covid-19.

 

Biomarker lainnya yang dapat digunakan sebagai penanda adanya virus SARS-CoV-2 di antaranya adalah C-reactive Protein, D-Dimer, Feritin, Prokalsitonin, Troponin, Kreatinin, SGOT, dan SGPT, jumlah sel darah putih, jumlah eosinofil, ratio eosinofil, 2019 new Coronavirus RNA (2019n-CoV) and serum amyloid A (SAA).

 

C. Metode Diagnostik Untuk Covid-19
Collaborative Professor untuk Kanazawa University Jepang (2018 – 2022) Heny,PhD. mengatakan bahwa saat ini, ada tiga jenis metode diagnosis untuk Covid-19 :

 

(1) CT scan dada dikombinasikan dengan gejala klinis; (2) Quantitative realtime reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-qPCR) berbasis deteksi asam ribonukleat (RNA); (3) Lateral flow immunochromatographic strip (LFICS), uji fully automatic chemiluminescence dan deteksi antibodi berbasis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

 

a. Metode CT- Scan Dada
CT scan dada adalah metode yang menggabungkan serangkaian gambar sinar-X yang diambil dari sudut yang berbeda di sekitar dada dan menggunakan pemrosesan komputer untuk membuat gambar penampang (irisan) paru. Diagnosis Covid-19 berdasarkan fitur radiologis telah didefinisikan sebagai diagnostik kriteria. Namun, CT scan adalah teknik diagnostik yang bergantung pada pengalaman dan membutuhkan peralatan medis yang besar. Ini hanya dapat digunakan di beberapa rumah sakit.

 

Terlebih lagi, CT scan memiliki keterbatasan dalam hal membedakan jenis virus dan identifikasinya. Metode ini kurang tepat pada kasus asimtomatik, infeksi pre-simtomatik, dan pada individu dengan gejala ringan tanpa pneumonia. Setiap gambar CT dada perlu dibaca terlebih dahulu oleh seorang ahli radiologi dan kemudian perlu diperiksa oleh radiolog yang lain.

 

Hasil penelitian melaporkan bahwa metode ini memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 96%. Nilai AUC (area under the receiver operating characteristic curve) untuk Covid-19 adalah 0,96 dan 0,95. Ini menunjukkan potensi CT scan sebagai alat diagnostik COVID-19.

 

b. Metode RT-qPCR
Kuantitatif RT-qPCR secara rutin digunakan untuk mendeteksi virus dan hasilnya telah banyak digunakan di seluruh dunia. Namun, RT-qPCR yang saat ini tersedia sensitivitasnya berkisar antara 45% dan 60%.

 

Pengujian berulang diperlukan untuk menegakkan diagnosa. Inkonsistensi dari Fumarate and Nitrate Reduction (FNR) RT-qPCR terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah variasi yang terjadi pada urutan RNA virus, yang selanjutnya mempengaruhi hasil pada penggunaan primer di gen ORF1a/b dan gen.

 

Pengaruh variasi urutan RNA virus dapat diminimalkan dengan metode amplifikasi mismatch-tolerant yang akan sangat membantu untuk meningkatkan sensitivitas dan keandalan deteksi RNA. Faktor lain yang mengurangi keakuratan dan konsistensi tes RT-qPCR adalah prosedur pengambilan sampel, karena viral load bervariasi pada site anatomi yang berbeda. Untuk mempersingkat waktu tes dan ekstraksi RNA, dikembangkan metode carboxyl groups (PC)-coated magnetic nanoparticles (pcMNPs) untuk ekstraksi RNA virus.

 

Dibandingkan dengan ekstraksi RNA dengan metode tradisional column-based nucleic acids extraction, metode pcMNPs menggabungkan lisis virus dan pengikatan RNA menjadi satu langkah, sehingga mempersingkat waktu dari > 2 jam menjadi hanya sekitar 30 menit. Metode pcMNP ini menghasilkan sensitivitas 10 salinan dan linearitas lebih tinggi dalam deteksi RNA virus SARS-CoV-2.

 

Teknologi lain pada pengembangan PCR adalah teknologi Digital PCR (dPCR). Teknologi ini dapat meningkatkan sensitivitas dan akurasi diagnosis Covid-19 secara signifikan. Batas deteksi, Limit of Detection (LOD), dari dPCR, setidaknya 10 kali lipat lebih rendah daripada RT-qPCR. Sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi metode dPCR berturut-turut adalah 90%, 100% dan 93%.
Pengembangan lainnya adalah metode berbasis amplifikasi isotermal, loop-mediated isothermal amplification (LAMP).

 

Metode LAMP ini mengamplifikasi asam nukleat dalam waktu singkat dengan menggunakan DNA polimerase dengan aktivitas perpindahan rantai primer, yang dirancang khusus di bawah suhu konstan 60–65 °C.

 

Metode ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai point of care test (POCT). POCT adalah suatu metode pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di dekat atau disamping tempat tidur pasien. Secara lebih luas POCT adalah uji laboratorik yang dilaksanakan oleh petugas yang berlatar belakang pendidikan bukan laboratorik klinis atau dapat dilakukan oleh penderitanya sendiri.

 

Metode LAMP juga dapat digunakan untuk mendeteksi sampel yang tidak dimurnikan secara langsung. Salah satu deteksi cepat COVID-19 juga didasarkan pada pengembangan metode berbasis LAMP dengan sensitivitas 97,6% dan waktu pembacaannya ~ 30 menit.

 

Selain LAMP, metode amplifikasi isotermal lainnya adalah amplifikasi lingkaran bergulir, rolling circle amplification (RCA); amplifikasi asam nukleat berbasis urutan, nucleic acid sequence-based amplification (NASBA), amplifikasi rekombinase polymerase, recombinase polymerase amplification (RPA), amplifikasi perpindahan ganda, multiple displacement amplification (MDA) dan Helicase-dependent amplification (HDA) dapat digunakan untuk deteksi asam nukleat berbasis POCT.

 

Deteksi RNA lainnya adalah menggunakan teknologi CRISPR (clustered regularly interspaced short palindromic repeats) merupakan teknologi deteksi mencapai tingkat attomolar (10-18).

 

Deteksi berbasis lateral flow assay menggunakan CRISPR-Cas12 adalah metode dengan biaya rendah, sensitivitasnya adalah 90% dan spesifisitas adalah 100% dibandingkan dengan RT-qPCR. Seluruh waktu pengujian ini adalah 45 menit, sebaliknya, RT-qPCR membutuhkan waktu 4 jam.

 

c. Metode Deteksi Antigen/Antibodi
Tes antibodi serologis penting untuk pasien yang bergejala, namun negatif dalam pengujian RT-qPCR. Deteksi adanya IgM pada pasien menunjukkan pasien baru terpapar oleh virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Sementara itu deteksi IgG mengindikasikan bahwa pasien telah terpapar virus lebih lama.

 

Protein nukleokapsid SARS-CoV-2 rekombinan (rN) dan protein spike (rS) digunakan sebagai antigen dalam ELISA untuk deteksi IgM / IgG pada Covid-19. Strip dengan metode LFICS telah dikembangkan dan disetujui di China untuk diagnosis Covid-19.

 

Teknologi ini dapat digunakan sebagai alat diagnosis di tempat perawatan karena portable dan murah. LFICS terdiri dari bantalan sampel (SP), bantalan konjugasi (CP), membran nitroselulosa (NC), dan sumbu / bantalan penyerap dan cara mirip dengan tes kehamilan. LFICS berbasis koloid emas nanopartikel (Au NPs), yang juga dikenal sebagai uji imunokromatografi emas koloid, colloidal gold immunochromatographic assay (CGICA), dapat mendeteksi IgM dan antibodi IgG secara bersamaan pada sampel darah dalam 15 menit.

 

Sebuah studi menunjukkan bahwa secara keseluruhan sensitivitas uji LFICS adalah 88,66% dan spesifisitas 90,63%. Menggabungkan deteksi RNA dan antibodi total bisa meningkatkan sensitivitas diagnostik menjadi 99,4%, dibandingkan dengan tes RNA saja (67,1%). (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.