
Obsessionnews.com – Seorang ikon dalam perfilman Indonesia, Christine Hakim memulai karier seni perannya pada 1973, tanpa menyangka bahwa kariernya akan berlanjut selama setengah abad. Pada beberapa bulan lalu, Rasa Raya Production, tempat Christine bernaung, merayakan perjalanan panjang perempuan kelahiran Jambi ini melalui program bertajuk “The Journey of Christine Hakim.”
Program tersebut menjadi sebuah perayaan prestasinya dan mencakup beberapa acara, seperti retrospeksi dalam bentuk pemutaran dan diskusi film di lima kota besar Indonesia, yakni Makassar, Medan, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta.
Selain itu, program ini juga mencakup pameran memorabilia yang merupakan kolaborasi dari tiga seniman lokal. The Journey of Christine akan diakhiri dengan peluncuran buku biografi tentang Christine.
Dalam lima dekade kariernya, Christine telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi industri perfilman Indonesia melalui lebih dari 50 film yang dibintanginya. Ia telah memberikan warna dan energi bagi kemajuan ekosistem perfilman Tanah Air. Kehidupan dan kariernya mencerminkan keberagaman budaya Indonesia, yang terus memperkaya warisan budaya negara ini.
Awalnya, Christine tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang aktris. Meskipun pernah menjadi foto model untuk majalah mode dan berjalan di catwalk, ia sebenarnya bercita-cita menjadi arsitek, terinspirasi oleh kakeknya yang bekerja sebagai juru gambar dan ibunya yang mempelajari konstruksi secara otodidak.
“Dari situ muncullah cita-cita ingin menjadi seorang arsitek dan juga seorang psikolog, karena dari kecil senang sekali mengamati karakter-karakter manusia yang berbeda. ‘Oh si ini sifatnya begini, si itu sifatnya begitu’. Pada akhirnya, dua-duanya malah tidak terwujud,” ujar Christine dikutip dari Majalah Women’s Obsession, Kamis (2/11/2023).
Namun, tawaran untuk bermain film datang kepada Christine dari sutradara Asrul Sani untuk film “Salah Asuhan,” yang ia tolak awalnya. Namun, keputusannya berubah ketika ia menerima tawaran dari Teguh Karya untuk berperan dalam film “Cinta Pertama.” Hal ini menjadi awal dari perjalanannya dalam dunia seni peran, yang berujung pada penghargaan Piala Citra untuk film perdananya pada tahun 1974.
Christine mengaku bahwa film “Kawin Lari,” yang disutradarai oleh Teguh Karya, adalah film yang membuatnya jatuh hati pada dunia seni peran. Ia menyadari bahwa dunia perfilman bukan hanya tentang sensasi dan glamor, tetapi juga sarat dengan ilmu pengetahuan. Sejak itu, ia berkomitmen untuk menjadikan film sebagai sarana pembelajaran, karena dalam film, berbagai disiplin ilmu seperti teknologi, psikologi, sosial, dan politik bisa dijelajahi. Film menjadi bangku sekolahnya, dan ia merasa beruntung karena dapat terlibat dalam berbagai aspek ilmu pengetahuan melalui seni peran.
Christine juga memiliki keprihatinan terhadap pandangan masyarakat yang masih menganggap film sebagai hiburan semata. Baginya, film bisa memberikan pembelajaran tentang banyak hal, tidak hanya bagi para aktor, tetapi juga bagi masyarakat umum.
Selama perjalanannya dalam industri perfilman, Christine mengalami banyak tantangan, termasuk krisis global yang memukul industri perfilman pada tahun 1997. Ia merasa sedih karena sedikit orang yang pergi ke bioskop untuk menonton film, dan industri perfilman Indonesia mengalami penurunan drastis. Namun, pada tanggal 1 Juni 1997, Christine mendirikan rumah produksinya sendiri, Christine Hakim Film. Film pertamanya yang dihasilkan, “Daun di Atas Bantal,” disutradarai oleh Garin Nugroho.
Film ini akhirnya mendapatkan pengakuan internasional dengan menerima berbagai penghargaan di festival-festival film, seperti Best Actress dan Best Film dari Asia-Pacific Film Festival 1998, Silver Screen Award Best Asian Feature Film di Singapore International Film Festival 1999, dan Special Jury Prize di Tokyo International Film Festival 1998. Film ini juga membawa Christine ke festival film ternama dunia, Cannes Film Festival, di mana ia tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga mempresentasikan karyanya.
Film “Daun di Atas Bantal” menjadi sarana bagi Christine untuk menyampaikan keprihatinannya terhadap masalah sosial, khususnya anak-anak jalanan yang diwakili oleh karakter dalam film tersebut. Ia menolak tawaran untuk membuat sekuel film tersebut dan memilih untuk menggunakan uangnya untuk membantu anak-anak jalanan.
Karya-karya berikutnya seperti “Pasir Berbisik” pada tahun 2001 juga mendapat pengakuan dan penghargaan di berbagai festival film internasional, termasuk Penghargaan Juri untuk Sutradara Terbaik di Festival Film Cannes tahun 2001. Pencapaiannya tersebut membuat Christine Hakim diundang sebagai juri dalam Festival Film Cannes, menjadikannya aktris Indonesia pertama yang menjadi juri dalam festival prestisius tersebut.
Dalam perjalanan kariernya, Christine telah menjadi panutan dan teladan bagi banyak orang dalam dunia seni peran dan perfilman Indonesia. Ia telah membuktikan bahwa seni peran bukan hanya hiburan semata, melainkan juga sarana untuk menginspirasi, membangun kesadaran, dan menyampaikan pesan-pesan penting kepada masyarakat. Christine terus berkarya dan berkontribusi dalam dunia seni peran Indonesia, memberikan warna dan makna yang mendalam bagi perfilman Tanah Air. (Poy)