Pembangunan Pelabuhan Wajib Terkombinasi dengan Transportasi Massal Lain

Banda Aceh, Obsessionnews - Keinginan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh, pemerintah kabupaten (pemkab), dan pemerintah kota (pemkot) se-Aceh untuk menyejahterakan masyarakatnya sangat besar. Keinginan yang begitu besar itu memiliki tantangan yang begitu kompleks. Tanpa dukungan dari masyarakat dan cendekiawan Aceh tampaknya upaya itu akan tertidur dalam perjalanan. Aceh adalah daerah kaya sumber daya alam. Aceh memiliki kesempatan yang besar untuk memiliki kawasan industri, pertambangan dan jasa. Ketiga sektor tersebut bila dapat dikelola dengan baik maka dalam waktu dekat Aceh akan menjadi daerah yang makmur. “Berbicara sumber daya alam, kawasan industri, dan jasa di sektor transportasi, maka moda transportasi adalah termasuk bagian terpenting yang mempengaruhi ketiga sektor tersebut. Selama ini sektor ini cenderung tidak begitu diperhatikan keterkaitannya, sehingga ketika survei didatangkan hal ini selalu menjadi hambatan,” kata Syahril, pemerhati transportasi laut dan kepelabuhanan kepada obsessionnews.com di Banda Aceh, Kamis (26/3). Menurut lulusan program pendidikan Magister (S-2) IBM Jakarta Jurusan Manajemen Transportasi Laut ini, untuk membangun kawasan industri itu pemerintah harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan dasar bagi kawasan itu. Misalnya ketersediaan keamanan, ketersediaan kebutuhan listrik, ketersediaan sarana transportasi yang baik dan ekonomis seperti pelabuhan, kereta api, dan sebagainya. “Kebutuhan-kebutuhan dasar seperti ini wajib disediakan pemerintah. Akses transportasi akan sangat mempengaruhi kesinambungan usaha pabrik untuk waktu jangka panjang. Transportasi yang memenuhi standar, terutama transportasi yang ekonomis, efektif dan efisien itu yang sangat diharapkan,” tuturnya. Ia menambahkan, seluruh investor
baik dari luar dan dalam negeri menginginkan keuntungan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah berbenah untuk masa depan yang gemilang 50 tahun mendatang. Infrastruktur pelabuhan seyogyanya segera direncanakan dengan baik dan matang, minimal untuk kawasan pantai barat Aceh yang memiliki tiga pelabuhan dengan kedalaman sampai 40 meter. Dengan kedalaman ini jenis kapal Malaccamax yang draf aman sampai 20 meter dapat berpartisipasi. Hal ini sangat penting karena mobilisasi bahan baku bisa dalam jumlah yang besar dan pengangkutan hasil tambang bisa langsung dari Aceh ke luar negeri. Syahril mengungkapkan, pembangunan pelabuhan selama ini harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan untuk jangka waktu 50 tahun ke depan. Untuk itu pembangunan pelabuhan harus lebih baik dari sebelumnya. Pilihan kedalaman kolam pelabuhan sebagai faktor utama yang harus diperhatikan karena sangat berdampak pada kemampuan menerima perubahan kebutuhan wilayah masa depan yang akan bangkit sangat signifikan. Di samping itu juga area pelabuhan wajib terkombinasi dengan transportasi massal lain, seperti kereta api, perbaikan teknologi bongkar muat, serta perangkat pendukung lain, sehingga pelabuhan di Aceh di masa akan datang dapat terkombinasi dengan moda moda transportasi massal antar provinsi sebagaimana diwacanakan oleh pemerintah saat ini. Fenomena yang sangat dramatis terkait masalah pelabuhan terjadi di daerah-daerah. Dalam sektor kepelabuhanan daerah tidak mampu menunjukkan semangat reformasi di era otonomi ini. Pemimpin di kabupaten/kota malah seperti ketakutan dengan hadirnya sebuah pelabuhan, seakan-akan terbebani dengan perawatannya seperti yang terjadi dalam kasus pelabuhan umum Sinabang, Kabupaten Simeulue. “Pemerintah daerah tidak perlu risau dengan adanya pelabuhan yang dikelola oleh daerah melalui badan usaha daerah, karena peran pelabuhan untuk membangun daerah akan sangat menentukan. Bila pemerintah daerah menguasai pelabuhan, maka kebijakan yang berdampak baik bagi investor
akan sangat mudah diambil, misalnya gratis biaya sandar tambat dan berlabuh bagi kapal investor dan sebagainya. Hal ini penting untuk diingat, karena peran sebuah pelabuhan untuk pembangunan wilayah sangatlah penting,” kata Syahril. Ada beberapa pelabuhan saat ini sedang dibangun di Aceh. Pola pengembangan pelabuhan pelabuhan itu hanya sanggup menampung kapal ukuran 6000 Gross Tonnage (GT) dengan kedalaman dermaga di bawah 14 meter, seperti di Pelabuhan Malahayati Krueng Raya, Pelabuhan Krueng Geukuh Lhokseumawe, Calang, dan Melaboh. Kedalaman pelabuhan yang sudah ada tersebut tidak mampu menampung partisipasi kapal jenis Malaccamax, Suezmax, dengan draf aman sampai 25 meter. “Keterbatasan kesempatan kapal kapal besar ini akan mengisolasi kesempatan kita lebih baik dari sebelumnya. Dan kalau hal ini dipertahankan, maka kita sangat tidak siap menerima perubahan di masa akan datang. Dan harapan untuk memakmurkan rakyat Aceh akan berliku- liku tak berkesudahan,” pungkasnya. (Agung Sanjaya)
baik dari luar dan dalam negeri menginginkan keuntungan. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila pemerintah berbenah untuk masa depan yang gemilang 50 tahun mendatang. Infrastruktur pelabuhan seyogyanya segera direncanakan dengan baik dan matang, minimal untuk kawasan pantai barat Aceh yang memiliki tiga pelabuhan dengan kedalaman sampai 40 meter. Dengan kedalaman ini jenis kapal Malaccamax yang draf aman sampai 20 meter dapat berpartisipasi. Hal ini sangat penting karena mobilisasi bahan baku bisa dalam jumlah yang besar dan pengangkutan hasil tambang bisa langsung dari Aceh ke luar negeri. Syahril mengungkapkan, pembangunan pelabuhan selama ini harus disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan untuk jangka waktu 50 tahun ke depan. Untuk itu pembangunan pelabuhan harus lebih baik dari sebelumnya. Pilihan kedalaman kolam pelabuhan sebagai faktor utama yang harus diperhatikan karena sangat berdampak pada kemampuan menerima perubahan kebutuhan wilayah masa depan yang akan bangkit sangat signifikan. Di samping itu juga area pelabuhan wajib terkombinasi dengan transportasi massal lain, seperti kereta api, perbaikan teknologi bongkar muat, serta perangkat pendukung lain, sehingga pelabuhan di Aceh di masa akan datang dapat terkombinasi dengan moda moda transportasi massal antar provinsi sebagaimana diwacanakan oleh pemerintah saat ini. Fenomena yang sangat dramatis terkait masalah pelabuhan terjadi di daerah-daerah. Dalam sektor kepelabuhanan daerah tidak mampu menunjukkan semangat reformasi di era otonomi ini. Pemimpin di kabupaten/kota malah seperti ketakutan dengan hadirnya sebuah pelabuhan, seakan-akan terbebani dengan perawatannya seperti yang terjadi dalam kasus pelabuhan umum Sinabang, Kabupaten Simeulue. “Pemerintah daerah tidak perlu risau dengan adanya pelabuhan yang dikelola oleh daerah melalui badan usaha daerah, karena peran pelabuhan untuk membangun daerah akan sangat menentukan. Bila pemerintah daerah menguasai pelabuhan, maka kebijakan yang berdampak baik bagi investor
akan sangat mudah diambil, misalnya gratis biaya sandar tambat dan berlabuh bagi kapal investor dan sebagainya. Hal ini penting untuk diingat, karena peran sebuah pelabuhan untuk pembangunan wilayah sangatlah penting,” kata Syahril. Ada beberapa pelabuhan saat ini sedang dibangun di Aceh. Pola pengembangan pelabuhan pelabuhan itu hanya sanggup menampung kapal ukuran 6000 Gross Tonnage (GT) dengan kedalaman dermaga di bawah 14 meter, seperti di Pelabuhan Malahayati Krueng Raya, Pelabuhan Krueng Geukuh Lhokseumawe, Calang, dan Melaboh. Kedalaman pelabuhan yang sudah ada tersebut tidak mampu menampung partisipasi kapal jenis Malaccamax, Suezmax, dengan draf aman sampai 25 meter. “Keterbatasan kesempatan kapal kapal besar ini akan mengisolasi kesempatan kita lebih baik dari sebelumnya. Dan kalau hal ini dipertahankan, maka kita sangat tidak siap menerima perubahan di masa akan datang. Dan harapan untuk memakmurkan rakyat Aceh akan berliku- liku tak berkesudahan,” pungkasnya. (Agung Sanjaya)




























