Kamis, 25 April 24

Menulis Hingga Akhir Hayat

Menulis Hingga Akhir Hayat
* AH Nasution. (Foto: Istimewa)

Pak Nas  ternyata tak hanya serdadu yang jago mengatur strategi perang gerilya, tapi juga cerdas dalam menuangkan alur pikirnya dalam tulisan. Walhasil, hingga saat ini kurang lebih 80 buku lahir dari pemikirannya. Ia memang merupakan jenderal yang sangat produktif menulis.

Ciri khas tulisan Pak Nas adalah  memiliki pemikiran dan data yang kuat. Hal tersebut dikarenakan Pak Nas menulis sendiri buku-buku tersebut berdasarkan pemikiran dan pengalamannya selama ia menjadi tentara. Sehingga dengan pengalamannya yang cukup lama, Pak Nas sangat memahami dunia militer yang kemudian dituangkan dalam buku-bukunya.

 

Baca juga:

Ayah yang Sempurna

Sarung Kotak Sang Jenderal Besar

Sabar di Pukulan Pertama

AH Nasution: Tuhan Maha Besar! Tuhan Masih Melindungi Saya

Jenderal Besar TNI DR AH Nasution “Sang Penyelamat NKRI”

Mengenang 101 Tahun Jenderal Besar A.H. Nasution

 

Seperti diulas https://historia.id/kultur/articles/nasution-dan-buku-terakhirnya-DWeOR, semangat Nasution dalam menulis terus menyala bahkan ketika dia terbaring sakit dan di pengujung usianya.

Pada tahun 1986, ketika Pak Nas menjalani operasi katup jantung di RSAD Pusat Walter Reed di Washington DC Amerika Serikat ia masih rajin menulis. Dibantu Moela Marboen, seorang dosen di Universitas Indonesia, dan beberapa perwira Dinas Sejarah TNI AD, AH Nasution menerbitkan buku Sekitar Perang Kemerdekaan sebanyak sebelas jilid. Bahan-bahannya dikumpulkan pada 1953-1955. Setelah pensiun pada 1972, Nasution menulis memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas sebanyak tujuh jilid.

Dokter Frits Kakiailatu yang merawat Pak Nas, punya cerita sendiri soal kegigihan Pak Nas dalam menulis. Seperti terungkap di buku “Pak Harto, Pak Nas, dan Saya” yang ditulisnyak, Frits mengakui ketika kesehatan Pak Nas mulai menurun  karena usia tua sehingga mudah terkena segala macam penyakit, Pak Nas masih aktif menulis.

Menurutnya, kejadian yang sangat mengkhawatirkan waktu pendarahan hebat dan berulang kali terjadi sumbatan bekuan, hingga tidak bisa buang air kecil. Secara darurat dilakukan tindakan sistoskopi dengan bius spinal ditambah terapi penenang. Pertolongan itu berhasil menghentikan pendarahan tetapi dia setengah sadar. “Pak Nas menjadi sulit berkomunikasi. Masalahnya, meski berada di rumah sakit, beliau sedang merampungkan bukunya yang terakhir,”

Seorang pencatat selalu berada di samping Pak Nas untuk mencatat ucapan-ucapannya. “Tetapi, tampaknya orang tersebut sulit dan bingung menangkap ucapan dan pikiran Pak Nas. Apa yang didikte Pak Nas sering kacau atau berulang-ulang. Selain itu, pekerjaannya ini sering terhalang kalau kepada pasien harus dilakukan tindakan bius,” kata Frits.

Hari-hari berikutnya, syukurlah keadaan Pak Nas sedikit pulih dari efek bius. Lamanya kira-kira satu setengah bulan. Dia bisa diajak bicara dan pendiktean bukunya bisa diteruskan sampai selesai. Buku tersebut baru diterbitkan setelah sang jenderal bintang lima itu meninggal dunia pada 5 September 2000.

Pada 2008 Yayasan Kasih Adik bekerja sama dengan Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintal AD) menerbitkannya dalam tiga jilid: Kenangan Masa Purnawirana (jilid terakhir memoarnya), Kepemimpinan Nasional dan Pemimpin Bangsa, dan Bersama Mahasiswa, Aset Utama Pejuang Nurani.

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.