Jumat, 19 April 24

KPK Hormati Akil Ajukan Judicial Review UU TPPU ke MK

KPK Hormati Akil Ajukan Judicial Review UU TPPU ke MK

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati upaya M Akil Mochtar yang mengajukan gugatan judicial review atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ke Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut dianggap sebagai hak setiap orang.

“Judicial review adalah hak warga negara maka siapapun punya hak untuk itu,” ujar Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto saat dikonfirmasi, Selasa (12/8/2014).

Bambang tidak keberatan sekalipun salah satu pokok gugatan adalah soal kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan kasus TPPU. Sebab menurutnya, UU KPK sebelumnya sudah sering digugat melalui mekanisme yang sama di MK.

“UU KPK sendiri sudah lebih dari 15 kali digugat judicial review. Jadi jika ada UU TPPU di judicial review tentu bisa saja,” katanya.

Namun demikian, Bambang mengaku, pihaknya akan siap jika UU TPPU digugat dan disidangkan di MK. “Yang perlu dilakukan KPK adalah menyiapkan sebaik dan secermat mngkin bila proses itu kelak dilakukan,” tutut dia

Salah satu penasihat hukum Akil, Adardam Achyar mengatakan, gugatan ini telah didaftarkan pada Senin (11/8) lalu. “Kemarin sudah didaftarkan di Mahkamah Konstitusi (MK),” jelasnya.

Penasihat hukum Akil yang lain, Tamsil Sjoekoer menambahkan, gugatan ini didukung oleh perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua dari lima hakim Tipikor saat membacakan vonis Akil di 30 Juni 2014 silam. “Dissenting opinion hakim ini menjadi salah satu motivasi gugatan,” kata Tamsil.

Akil merupakan terdakwa kasus suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah di MK dan pencucian uang. Sebelumnya dalam persidangan Akil pernah menyatakan keberatan didakwa pencucian uang oleh jaksa penuntut umum KPK. Menurut Akil, Jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan pencucian uang. Dakwaan pencucian uang yang menjeratnya dianggap tidak berkaitan dengan tindak pidana asal yaitu penyuapan.

KPK mengusut dugaan pencucian uang Akil pada kurun waktu 22 Oktober 2010 hingga 2 Oktober 2013 atau saat Akil telah menjadi Hakim Konstitusi. Nilai dugaan pencucian uangnya mencapai Rp 161,080 miliar.
Selain itu, dakwaan keenam, KPK mengusut dugaan pencucian uang Akil pada kurun waktu 17 April 2002 hingga 21 Oktober 2010. Ketika itu Akil masih menjabat anggota DPR hingga akhirnya menjabat Hakim Konstitusi.

Nilai dugaan pencucian uangnya sekitar Rp 20 miliar Menurut Jaksa, pegeluaran maupun harta kekayaan yang dimiliki Akil dinilai tidak sesuai dengan pendapatannya sebagai anggota DPR pada tahun 2002-2004, pada periode 2004-2008, hingga ketika menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi.

Akil telah divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Hakim menyatakan Akil terbukti menerima suap dan melakukan pencucian uang. Atas vonis tersebut Akil mengajukan banding.

Terkait kewenangan KPK melakukan penuntutan TPPU, beberapa hakim majelis pengadilan Tipikor memang kerap berbeda pendapat dengan mengatakan bahwa kewenangan menuntut ada pada jaksa yang bersumber dari Kejaksaan Agung.

Dalam putusan Akil, dua hakim anggota pengadilan Tipikor, Jakarta, yaitu hakim anggota tiga, Sofialdi dan hakim anggota empat, Alexander Marwata menyatakan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait pengenaan pasal pencucian uang terhadap Akil.

Dalam pertimbangannya, Sofialdi mengatakan bahwa tuntutan yang dimintakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima karena surat dakwaan tidak dapat diterima. Mengingat, JPU pada KPK tidak dapat menuntut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sehingga, kata Sofialdi, dakwaan kelima dan keenam tentang TPPU tidak dapat diterima.

Demikian juga, hakim anggota empat, Alexander Marwata juga menyatakan terhadap Akil tidak dapat dituntut dengan UU TPPU. Terutama, jika tidak bisa dikaitkan dengan tindak pidana asal. Selain itu, Alex juga menyatakan perbedaan pendapatnya terkait harta terdakwa yang dimintakan disita untuk negara.

“Dakwaan keenam tentang perbuatan TPPU tahun 2002, dirasa memberatkan terdakwa. Membuat terdakwa sulit mengingat harta yang diperolehnya apalagi jika transaksi tunai. Tetapi, jika terdakwa mengatakan lupa dipandang jaksa tidak logis atau jika tidak sesuai profil lalu harta disita. Jika seperti itu, seharusnya KPK sita harta semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau penyelenggara negara yang hartanya tidak sesuai profil,” ujar Alex.

Atas dasar itulah, Alex menyatakan tidak setuju dengan perampasan harta Akil yang dimintakan jaksa dalam tuntutannya. Terutama, yang diperoleh sebelum terdakwa menjadi hakim MK. “Hakim anggota empat tidak berkeyakinan harta (terdakwa) diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Harus ada dua alat bukti sehingga tidak menimbulkan keraguan,” tegas Alex.

Namun, Ketua Majelis Hakim, Suwidya dalam kesimpulannya tetap menyatakan Akil bersalah menerima uang sekitar Rp 57,78 miliar dan US$ 500 ribu terkait pengurusan perkara sengketa pilkada 10 daerah di MK dan konsultasi perkara sengketa pilkada di lima Kabupaten di Papua. Serta, melakukan TPPU. Sehingga, dijatuhkan hukuman maksimal, pidana penjara seumur hidup.

“Perbedaan merupakan yang memperkaya hukum. Tetapi, majelis menyimpulkan sebagian besar dakwaan penuntut umum telah terpenuhi. Terhadap tuntutan pidana penjara yang diajukan jaksa KPK, majelis sependapat (penjara seumur hidup), mengingat pebuatan terdakwa yang teramat berat,” tegas Suwidya. (Has)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.