Ketika Mimpi Kembali Memanggil

Oleh Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH, M.Kn, Pemerhati Koperasi, UMKM dan Ekonomi Kreatif
Indonesia dikenal sebagai Negara Agraris;Untaian Mutu Manikam yang membentang di katulistiwa menggambarkan kekayaan alam Indonesia yang hijau, dan subur. Gemah Ripah Loh Jinawi menjadi jargon yang pas untuk menggambarkan kekayaan alam Indonesia, bahkan Grup Band Koes Ploes pun terinspirasi dari suburnya tanah Indonesia yang tertuang dalam lagu “Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman”.
Indonesia pada masanya pernah menjadi negara yang mencapai Swasembada Pangan bahkan pernah juga menjadi negara pengekspor beras. Masa-masa itu lambat laun hilang dalam ingatan, gempuran imprortir hasil pertanian beras dan buah-buahan menggerus para petani yang lambat laun menyingkir dari pertarungan antara produk pertanian lokal dengan produk impor, pada akhirnya mereka menepi dan berjuang sendiri.
Keadaan seperti ini berimbas pula kepada antusiasme para sarjana lulusan Fakultas Pertanian, ada masa euforia di mana para lulusannya semangat membangun negeri dan mempertahankan jargon Gemah Ripah Loh Jinawi, sebagian tetap pada jalurnya dan sebagian besar putar arah masuk ke wilayah-wilayah pekerjaan yang jauh dari hiruk pikuk usaha pertanian.
Fenomena ini mendorong penulis untuk berbincang dengan 3 alumni Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran (UNPAD) yang tergabung dalam UMKM ALUMNI, yaitu Kang Asroni (Acong), Kang Muhtar dan Teh Wati Fatimah. Ketiganya awalnya setelah lulus berkarir di luar bidang yang ditekuninya selama kuliah di UNPAD karena dianggap lebih menjanjikan. Akan tetapi ketiganya sekarang berbalik haluan kembali menekuni bidang agribisnis yang ternyata selain memberikan pengasilan juga memberikan rasa nyaman dan tenang dalam hidupnya.
Adalah Kang Asrori, Alumni Fakultas Pertanian tahun 1986 yang kembali menekuni bidang pertanian. Kembali mengolah lahan peninggalan orangtua di Indramayu ternyata mengembalikan semangat dan cita-citanya sewaktu kuliah dulu. Lahan persawahan yang sempat tidak tergarap hanya mengandalkan sewa dari petani penggarap sekarang diolah sendiri oleh Kang Asrori. Tidak ada kendala berarti disaat putar haluan dari seorang wirausaha menjadi seorang petani karena memang jiwa bertani sudah ada dalam dirinya sejak lama.
Kendala yang dihadapi justru dari hal-hal lain yaitu hama;hama wereng banyak menyerang disaat proses pengeringan lahan tidak maksimal dan hama burung disaat padi mulai berbuah. Untuk bibit, pupuk, tenaga kerja dan pemasaran tidak dirasakan sebagai hambatan. Malah untuk penjualan Kang Asrori tidak perlu repot-repot menawarkan karena para pembeli aktif mendatangi sawahnya di masa panen tiba.
Hal ini menimbulkan rasa optimis pada Kang Asrori untuk terus menekuni usaha pertanian padi. Harapan dari Kang Asrori supaya harga dan stok pupuk serta obat-obatan stabil supaya meminimalisir losses sebagai akibat dari adanya hama tersebut.
Alasan Kang Muchtar pada tahun 1988 masuk Fakultas Pertanian karena ingin jadi Insinyur Pertanian, tapi apa mau dikata setelah lulus panggilan menjadi jurnalis di suatu media cetak ternama lebih menarik hatinya, pekerjaan itu ditekuninya hingga 20 tahun (15 tahun sebagai jurnalis dan 5 tahun dibagian Manajemen & Marketing), sampai suatu masa seolah ada kata yang memanggil Kang Muchtar untuk kembali menekuni bidang pertanian;mungkin ini adalah panggilan jiwa.
Panggilan itu begitu kuat seiring dengan menurunnya animo masyarakat terhadap media cetak karena banyak beralih ke media online.
Mundur dari pekerjaannya dan mulai menekuni perkebunan buah-buahan termasuk penjualannya. Kembali ke jurusan yang memang sejak awal dipilih seperti menemukan kembali ke jalan yang benar, dan hidup merasa lebih bermakna selain menjadi lebih sehat dan segar. Perasaan segar itu juga yang menginspirasi brand dari produk Kang Muchtar “Segerrr”.
Ada 6 komoditas menjadi andalan Kang Muchtar yaitu Alpukat Mentega Premium, Gedong Gincu, Jambu Kristal, Markisa, Delima, Sari buah & Madu.
Walaupun menemukan jalan yang lebih nyaman tapi bukan berarti tanpa ada kendala. Kendala yang dirasakan secara mental tentunya Kang Muchtar harus beradaptasi dengan rutinitas hidup baru yang tentunya sangat jauh berbeda dengan apa yang telah dilakoninya selama 20 tahun bekerja di perusahaan media.
Secara sosial dan kultural juga harus menghadapi sistem bisnis dan perdagangan komoditas buah-buahan yang sejak awal sudah dibangun dengan sistem yang tidak adil, rapuh dan kacau balau. Kacau karena petani sebagai produsen tidak mendapat keuntungan sepadan dengan jerih payahnya, konsumen tidak mendapatkan produk berkualitas, sedangkan pedagang cenderung pragmatis dan kurang bertanggungjawab;kendala Ini ditanggapi oleh Kang Muchtar sebagai tantangan yang harus dibenahi.
Karena pada dasarnya respons pasar terhadap buah lokal khususnya untuk beberapa komoditas sangat bagus. Sayangnya, tidak dibarengi dengan kecukupan suplai, sebagaimana kenyataan klise suatu produk UMKM tidak terjaga kontinuitas produksi, belum ada standarisasi produk, dan juga abainya perhatian pemerintah dalam memberikan dukungan dan perlindungan bagi para pelaku bisnis komoditas buah lokal malah terkesan ada kecenderungan pembiaran buah lokal bertarung head to head dengan buah impor, pemerintah seolah menjadi penonton melihat siapa pemenangnya.
Pembiaran yang dirasakan menumbuhkan sikap apatis, Kang Muchtar tidak berharap kepada kebijakan pemerintah apalagi sebagai seorang mantan jurnalis memiliki pengamatan bahwa pemerintah dirasa kurang peduli dengan komoditas buah-buahan lokal. Tapi selalu ada harapan, selalu ada cahaya di ujung jalan, berharap kepada para pelaku usaha mulai dari petani, pengembang, dan pedagang agar bisa bersinergi membangun masa depan pertanian, khususnya sektor buah-buahan lokal.
Lain lagi cerita Teh Wati Fatimah. Alumni Fakultas Pertanian angkatan 1997 satu ini menceritakan alasan masuk Fakultas Pertanian karena orang tuanya dulu bekerja di BULOG. Harapannya setelah lulus Sarjana Pertanian dapat meneruskan profesi orang tua untuk berkiprah di BULOG, namun apa mau dikata, setelah lulus Teh Wati, malah lebih asik berkecimpung di dunia financial tepatnya menekuni profesi sebagai Wealth Advisor.
Seperti yang dialami oleh Kang Muchtar, Teh Wati mengalami hal yang sama. Ada panggilan jiwa yang akhirnya menekuni dunia perberasan tepatnya sejak Covid-19 di saat diterapkan WFH dan PSBB yang menyebabkan Teh Wati pulang kampung. Kebetulan panen raya dan beras petani dihargai sangat murah, muncullah ide untuk membantu pemasarannya.
Ternyata kegiatan barunya ini memberikan manfaat, dengan membantu penjualan beras terjadi simbiosis mutualisme saling membantu antara petani yang mendapat manfaat karena berasnya laku dengan harga yang bagus. Teh Wati pun mendapat keuntungan bisa buat tambahan khususnya di masa Covid-19, tapi sebagaimana lazimnya suatu usaha pasti memiliki kendala.
Kendala terbesar yang dirasakan adalah transportasi, karena beras yang diambil langsung ke penggilingan-penggilingan kecil yang letaknya memang di pelosok sehingga menyulitkan pengambilan beras. Tetapi kendala terbesar adalah ketidakpastian harga, beras dihargai dengan sangat murah banyaknya program Bansos yang melibatkan orang-orang "bermain" di dalamnya membuat harga beras menjadi ditekan sangat murah.
Di pasaran, beras menjadi kurang laku/jarang ada yang membeli karena banyak yang menerima beras Bansos. Jadi kalau pun ada yang membeli harganya sangat murah. Kecuali untuk pembelian partai besar dengan tonase ribuan ton yang biasanya dikuasai pemilik penggilingan besar.
Padahal respons masyarakat terhadap beras jenis ini sangat bagus karena memang beras ini ditanam dari benihnya dipilih yang bagus, beras baru giling rasanya juga lebih manis pulen tanpa pemutih dan tanpa dipoles. Hasil penggilingan sudah langsung dikonsumsi masyarakat sekitar, hanya sedikit yang dilempar ke luar daerah.
Sebagai seorang Sarjana Pertanian yang kembali berkiprah di bidangnya, Teh Wati berharap ke depannya Indonesia dapat kembali Swasembada Beras, sehingga petaninya makmur. Pertanian di Indonesia lebih mendapat perhatian dari pemerintah karena bagaimana pun juga Indonesia hingga saat ini masih dikenal sebagai Negara Agraris.
Pengembangan Iptek di bidang pertanian hendaknya ditingkatkan termasuk manajemen dan penasaran produknya, bagaimana caranya menjadikan produk pertanian di Indonesia sekelas dengan produk pertanian impor bahkan kalau bisa lebih. Idealnya produk pertanian ini dikelola dari hulu ke hilir dan benar-benar digarap dengan baik kepemilikan lahan, ketersediaan semprotan alat sarana produksi tani yang terjangkau dan terdistribusi dengan baik, pengolahan dan pemasaran produk pertanian yang baik sehingga tidak ada lagi istilah petani ‘nanem rugi’ karena hasil panen melimpah tetapi harga jatuh.
Untuk usahanya sendiri, Teh Wati ingin membuat brand sendiri untuk produk beras sehat beras pecah giling yang masih banyak kandungan nutrisinya bagus untuk penderita diabetes. Obrolan yang menginspirasi ini membuat saya bersenandung, “tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman”. (Has)





























