Sabtu, 20 April 24

Kaltim Ideal Jadi Ibu Kota Baru Indonesia

Kaltim Ideal Jadi Ibu Kota Baru Indonesia
* Pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. (Foto: Kapoy/beritaborneo)

Jakarta, Obsessionnews.comWacana pemindahan ibu kota kembali muncul di bumi nusantara setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengumumkan di Istana Negara pada Senin (26/8/2019). Jokowi mengumumkan ibu kota akan pindah ke sebagian di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Namun tahukah Anda, ternyata wacana perpindahan ibu kota sudah ada dari zaman dahulu, pada saat pemerintahan Presiden Soekarno (Bung Karno). Untuk tahu lebih dalam lagi tentang pemindahan ibu kota ini, tim obsessionnews.com akan mengulas sedikit tentang hal tersebut.

Pemindahan ibu kota pernah dilakukan oleh pemerintah dari Jakarta ke Yogyakarta pada Januari 1946. Hal itu dikarenakan situasi yang tak menentu menjelang Agresi Militer Belanda yang menyebabkan ibu kota harus segera diselamatkan. Barulah setelah dirasa aman, ibu kota dikembalikan ke Jakarta.

Pada 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengirimkan surat melalui kurir yang mempersilakan apabila pemerintah RI bersedia memindahkan ibu kota RI ke Yogyakarta atas jaminan mereka berdua. Tawaran ini pun segera disambut baik oleh Bung Karno dan kawan-kawan yang segera membahas persiapannya keesokan harinya dalam sidang kabinet tertutup.

Operasi Rahasia Pemindahan Ibu kota dengan Kereta Api

Mengingat seluruh penjuru kota telah diawasi ketat oleh pasukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) dan Sekutu, maka dipikirkanlah cara paling aman untuk melakukan proses evakuasi tersebut. Akhirnya dipilihlah transportasi Kereta Api, mengingat jalur-jalur keretalah yang masih dianggap relatif aman. Jalur yang dilalui, yakni Pegangsaan Timur – Manggarai – Jatinegara – Bekasi – Cikampek – Cirebon – Purwokerto – Kroya – Kutoarjo – Yogyakarta. Maka disusun satu rencana nekat.

Pada tanggal 3 Januari 1946 jelang tengah malam, sebuah gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 buatan Henschel (Jerman) dan dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng) yang terletak di pinggir rel KA antara Stasiun Manggarai dan Gambir. Diharapkan, tentara Sekutu atau NICA akan menyangka kereta tersebut hanyalah kereta biasa yang langsir menuju stasiun Manggarai.

Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, mereka menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong. Seandainya mereka ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat.

Dan Soekarno sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian.

Maka pada 4 Januari 1946 dini hari, kereta api tersebut membawa Bung Karno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan. Rombongan tersebut pada akhirnya berhasil mencapai kota Yogyakarta dengan selamat. Pengelolaan dan pengendalian keamanan kota Jakarta selanjutnya diserahkan kepada Panglima Divisi Siliwangi, Letnan Kolonel Daan Jahja, yang merangkap sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta.

Tiba di Yogyakarta

Setiba di Stasiun Tugu, rombongan dijemput langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta dan segenap rakyat kawula Yogyakarta.

Mereka berarak-arakan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro. Kegiatan roda pemerintahan harus segera berjalan. Hal ini akan lebih mudah dilakukan di Yogyakarta karena tata pemerintahan di Yogyakarta saat itu telah terkoordinasi dan tertata dengan rapi. Hal ini belum tentu bisa dilakukan di daerah lain karena saat itu kondisi di daerah lain belum sebaik dan seaman situasi kota Yogyakarta.

Kraton Yogyakarta juga menanggung biaya operasional para pejabat RI selama berada di Yogyakarta. Kas Negara RI saat itu dalam kondisi sangat buruk, bahkan boleh dikatakan sedang kosong. Untuk pembiayaan ini, jumlah yang dikeluarkan oleh kas Kraton diperkirakan mencapai 6 juta gulden. Jumlah uang yang tidak sedikit pada waktu itu. Dengan modal itu, pemerintahan RI yang masih sangat belia bisa terus menjalankan roda pemerintahannya.

Istana Kepresidenan yang berlokasi di Gedung Agung yang ditinggalkan Jepang tidak memiliki perabotan dan peralatan rumah tangga yang memadai, maka Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman menyediakan berbagai perabotan dan peralatan secara lengkap, agar kegiatan pemerintahan bisa berjalan semestinya.

Selain itu, pihak Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman juga memberikan tempat penginapan kepada segenap jajaran pejabat tinggi dari Jakarta yang ikut hijrah ke Yogyakarta. Mereka ada yang tinggal di lingkungan Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman, selain di rumah-rumah penduduk. Hal ini juga diikuti rakyat Yogyakarta dengan menyumbangkan tenaga, makanan dan harta benda.

 

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2 3 4

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.